Jumat, 21 Desember 2007

Menggagas Kebon Raya Kaltim

 

Di Kaltim (Kalimantan Timur) terkenal dengan pohon pasak bumi yang katanya dapat meningkatkan vitalitas bagi penggunanya. Di beberapa penjual souvenir di daerah Kaltim juga dijual akar dan kayu dari pohon pasak bumi. Bahkan Tim sepakbola PS Pupuk Kaltim kadang disebut dengan Tim Pasak Bumi. Pasak Bumi sudah identik dengan Kaltim. Tetapi siapa yang pernah melihat pohon pasak bumi di Kaltim ? Apa nama latinnya ? Tak banyak penduduk Kaltim sendiri yang pernah melihat pohon yang telah menjadi identitas Kaltim tersebut.  

 

Berapa usia terlama pohon di hutan Kaltim ? Siapa yang bisa menjawab pertanyaan tersebut ? Departemen Kehutanan dan Perkebunan, TNK (Taman Nasional Kutai) atau Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman ? Atau siapa ? Ada cerita yang masih dalam bahasa konon kabarnya, usia pohon ulin yang berdiameter lebih dari 2,5 m di Wilayah Sangkimah, TNK adalah lebih dari 100 tahun. Adakah pohon lain yang lebih tua usianya dari pohon itu ? Tak ada catatan pasti. Dan setelah itu sampai seberapa lama pohon tersebut bisa hidup ? Tak ada juga yang bisa menjamin.

 

Wilayah hutan Kaltim tercatat sebagai wilayah hutan terbesar di Indonesia atau sekitar 11 % dari total wilayah hutan di Indonesia. Di hutan Kaltim juga yang merupakan hutan tropis basah terkenal kaya akan spesies hutannya. Terlebih dengan keanekaragamhayatinya. Siapa yang akan menjaga spesies-spesies hutan ini tak akan punah ? Siapa yang sudah mendokumentasikannya ? Adakah yang sudah melakukan study terhadapnya ? Menurut petugas Jagawana yang ada di Sangkimah sewaktu penulis ke sana beberapa tahun lalu, katanya ada peneliti dari Jepang yang meneliti di wilayah Sangkimah. Berapa persen yang sudah diteliti dan didokumentasikannya ? Tak ada jawaban pastinya. Juga bagaimana kelanjutan dari penelitian tersebut.

 

Di Kebon Raya Bogor (KRB) ada tanaman yang tercatat usianya lebih dari 150 tahun yang merupakan pohon tertua di KRB. Tepatnya pohon tersebut ditanam pada tahun 1823 yaitu Litchi chinensis. Semua terdokumentasi dan terjaga dengan baik. Kalau dilihat dari diameternya, pohon ulin di Sangkimah jauh lebih besar diameter pohonnya tetapi karena tidak ada catatan pasti belum tahu usia sebenarnya. Ini hanya sekedar contoh. Masih banyak hal-hal lain yang positif mengiringi keberadaan sebuah Kebun Raya.

 

Indonesia merupakan daerah asal dari hampir 10 persen spesies tumbuhan dunia. Hanya dalam satu hektar hutan dataran rendah dapat memiliki lebih dari 200 spesies pepohonan. Tetapi ironisnya hanya memiliki 4 Kebun Raya yaitu Kebun Raya Cibodas, KRB di Jawa Barat, Kebun Raya Purwodadi di Jawa Tengah dan Kebun Raya Eka Karya di Bedugul, Bali. Bandingkan dengan Eropa yang memiliki 523 kebun raya.

 

Kalau di Bogor bisa, kenapa di Kaltim tidak bisa ? Bila KRB memiliki tanaman dari seluruh dunia, Kebun Raya Cibodas memiliki koleksi tanaman dataran tinggi, Kebun Raya Purwodadi memiliki jenis tanaman yang sesuai dengan iklim musim kering-hujan, setidaknya KRK (Kebon Raya Kaltim) bisa juga dengan koleksi tanaman perkayuan yang memang merupakan salah satu kekayaan hutan Kaltim.

 

Kebon Raya Bogor

Belanda menjajah Indonesia bukan hanya mewariskan keburukan tetapi ada juga kebaikannya. Setidaknya dengan adanya warisan KRB. KRB atau dulu disebut ‘s Lands Plantentuin oleh Pemerintah Belanda didirikan oleh Casper Georg Carl Reinwardt, seorang Jerman yang pindah ke Amsterdam, Belanda dan mempelajari ilmu pasti alam dengan spesialisasi Botani dan Ilmu Kimia. Pada tahun 1817, Reinwardt diangkat menjadi Kepala Usaha Pertanian, Kesenian dan Pengetahuan untuk Jawa dan Pulau di sekitarnya. Reinwardt tertarik menyelidiki tumbuhan yang digunakan secara luas oleh orang Jawa untuk keperluan rumah tangga dan obat-obatan dan mengumpulkannya dalam suatu kebun botani di Buitenzorg (nama Bogor waktu itu). Beliau lalu menambah koleksinya dengan tumbuhan dan biji-bijian dari Semenanjung Malaya dan menjadikan Bogor sebagai pusat pengembangan pertanian dan hortikultura.

 

Pada tanggal 18 Mei 1817, lahan seluas 47 hektar yang berbatasan dengan Istana Gubernur Belanda ditetapkan sebagai Kebun Raya dan Reinwardt diangkat sebagai Direktur pertama Kebun Raya Bogor sampai tahun 1822. Koleksinya saat itu 900 tumbuhan. Katalog tanaman Kebun Raya yang pertama (914 spesies) dipublikasikan oleh C. L. Blume (Direktur KRB, 1822-1826) yang menjadi dasar katalog yang masih dipergunakan hingga saat ini. Tahun 1842 dibuka perpustakaan sebagai Bibliotheca Bogoriensis dan Tahun 1844 dibuka Herbarium Bogoriensis. Pada tahun 1844 pula terbit katalog tanaman yang terdaftar lebih dari 2800 spesies. Setelah itu, selama bertahun-tahun ribuan tanaman menambah daftar koleksi KRB.

 

KRB memiliki peran penting dalam memperkenalkan dan pembudidayaan tanaman flamboyan (Delonix regia) dari Singapura, tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) dari Afrika Barat, tanaman ubi kaya (manihot esculenta) dari Pulau Batam, tanaman kina (Cinchona sp) dari Peru sebagai obat malaria. Juga tanaman Eucalyptus dari Australia, tembakau, jagung dan kopi dari Liberia disebarkan ke seluruh wilayah Indonesia. Di KRB juga merupakan salah satu koleksi terlengkap anggrek di Indonesia.

 

Sekarang KRB disamping sebagai lembaga ilmiah dan tempat pembudidayaan tanaman juga menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat. Luas KRB mencapai 87 ha. Koleksinya terdiri dari 20.000 jenis tanaman yang tergolong dalam 6.000 spesies. Ada pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika. Di KRB juga tempat penyelamatan spesies-spesies langka dan komunitas burung yang saat ini sangat susah mencari habitatnya. KRB berperan juga sebagai paru-paru kota Bogor yang menyerap polutan udara.  

 

Kebon Raya Kaltim, Mengapa tidak ?

Kondisi hutan Kaltim adalah kondisi hutan yang sudah porak poranda dibabat habis oleh keserakahan sebagian manusia. Areal hutannya makin lama makin mengecil berganti dengan pemukiman dan aktivitas manusia. Bencana hutan sampai kebakaran hutan melanda hampir tiap tahun. Ditambah lagi dengan terjadinya perambahan hutan besar-besaran yang melanda TNK pada khususnya dan hutan Kaltim pada umumnya. Nyaris tak terdengar ada upaya penyelamatan hutan dengan program perencanaan matang dalam jangka panjang.

 

Akibat dari penggudulan hutan hampir semua mengakui bahwa tidak ada baiknya, diantaranya adanya banjir, tanah longsor, hilangnya keanekaragam hayatinya, terputusnya jaring-jaring kehidupan hutan dll. Dikawatirkan bila kondisi hutan terus-menerus dirusak oleh manusia ada spesies tertentu yang akan punah. Kalau punah berarti anak cucu kita tak dapat mengambil manfaat dari spesies yang diciptakan Tuhan untuk kegunakan manusia. Mereka hanya akan tahu dari buku bahwa dulu di Kaltim atau Indonesia ada spesies tanaman tertentu yang merupakan pohon asli hutan tropis basah. Itupun kalau sudah ada yang mendokumentasikannya. Kalau belum sempat terdokumentasi malah lebih parah, generasi mendatang tak akan pernah tahu ada spesies tertentu. Bila ada yang punah maka generasi sekarang ikut berdosa pada generasi mendatang karena tak bisa melindungi spesies yang diwariskan pada generasi berikutnya.  

 

Era otonomi daerah sekarang sebenarnya bukan hanya menyangkut perimbangan keuangan pusat-daerah tetapi juga menyangkut kemandirian sebuah daerah. Diharapkan dengan pembagian dana pusat ke daerah pembangunan daerah dapat lebih maju. Diharapkan daerah mempunyai kemadirian ide, gagasan terhadap kemajuan daerahnya sendiri. Proyek dan perencanaan daerah akan dipikirkan dan ditangani sendiri oleh daerah.

 

Ada baiknya dalam era kemandirian daerah ini kita membuat sesuatu kegunaan bagi daerah. Kita seharusnya tidak hanya berebut saja pada dana perimbangan dengan daerah lain tetapi kita bahu membahu membuat sesuatu yang pantas dikenang untuk anak cucu besok. Sesuatu yang pantas dikenang sebagai ciri khas daerah dan dapat membuat fungsi yang positif untuk masyarakat. Salah satunya adalah memunculkan ide untuk membuat KRK (Kebon Raya Kaltim) sebagai wacana awal. Format KRK bisa saja analogi dengan Kebon Raya yang sudah ada dengan nuansa khas daerah yang bersangkutan.   

 

Sebagai embrio awal sebenarnya cukup lengkap di Kaltim ini. Di Kaltim tersedia hutan seluas 21.143.849 ha (data tahun 1990) termasuk wilayah TNK seluas 200.000 ha. Mungkin luas tersebut sudah berkurang dengan adanya aktifitas manusia. Berapa diperlukan lahan untuk sebuah Kebun Raya ? Mengacu KRB luas awalnya hanya 47 ha maka untuk penyediaan lahan hutan tidak menjadi masalah. Terlalu kecil dibanding luas lahan hutan yang dirambah masyarakat. Kalau ingin menggunakan wilayah Sangkimah yang ada pohon ulin tertuanya juga memungkinkan. Di sana juga ada beberapa pohon tua, label-label nama pohon, lintasan jalan dan sungai sangkimah yang membelahnya.

 

Penulis belum tahu banyak hubungan antar lembaga tetapi setidaknya sebagai institusi yang dekat dengan Kebon Raya, ada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan TNKnya. Ada lembaga ilmiah pendidikan yaitu Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman di Samarinda. Sumber Daya Manusia mungkin bisa dicarikan di Kaltim atau outsourcing dari luar. Dana ? Diambilkan sedikit dari dana perimbangan keuangan daerah atau dari manapun yang tak mengikat. Kabarnya Kaltim kaya akan SDA (Sumber Daya Alam) dan tentunya akan banyak memperoleh dana dari SDA tersebut. Di wilayah Kaltim juga banyak industri sehingga memungkinkan mengikutsertakannya sebagai sponsor.

 

Kelak, bila KRK bisa terwujud tentunya akan dapat memberi manfaat pada banyak segi. Suatu saat bila ingin melihat pohon ulin, kapur, meranti, bangkirai, pasak bumi atau seperti apa wujud tanaman rotan  besok anak-anak kita tidak perlu jauh-jauh pergi ke Bogor karena di Kaltim sudah tersedia Kebon Raya yang cukup komplet dengan tanaman keras khas Katulistiwa. Mungkin juga dia bisa bercita-cita sebagai ahli botani untuk penyelamatan spesies-spesies langka di Kaltim. Apa harus menunggu dijajah lagi oleh asing untuk mewujudkan mimpi tersebut ?

 

*) Dimuat di Kaltim Post Th. 2000-an

 

2 komentar: