Kamis, 06 Desember 2007

Jalan-Jalan Sekeluarga ke Tenggarong, Kaltim

Jalan-Jalan Sekeluarga ke Tenggarong, Kaltim

 

Sekali waktu kami jalan-jalan ke luar kota, ke Kota Raja Tenggarong. Kalau ke Samarinda itu sudah biasa dan hanya ibukota provinsi biasa. Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kertanegara yang sebelum era reformasi wilayahnya sangat luas –lebih dari wilayah Jawa Barat- meliputi Kutai Timur, Kutai Barat dan Bontang. Sekitar tahun 1998 keluar peraturan pemerintah yang membagi menjadi beberapa kabupaten dan kota.

 

Kami naik mobil sekeluarga, istri, 3 anak klas 5, 4 SD dan play group. Jarak Bontang-Samarinda sekitar 135 km dan bisa ditempuh sekitar 2,5 jam dengan mobil melewati jalan berkelok bekas hutan. Bila dilanjut ke Tenggarong tinggal menambah waktu sekitar 30-an menit untuk menyusuri jalan beton sepanjang sekitar 40 km melewati Jl. Kodri Oning arah Barat Laut.

 

Jalannya sangat mulus dan berkelok. Tak banyak kendaraan lain sehingga mobil bisa dipacu. Kiri kanan hanya pemandangan bukit. Beberapa gersang, beberapa ada ilalang dan pepohonan. Satu dua bangunan mulai dikerjakan. Ini memang jalan baru. Dulu kalau ke Tenggarong dari Samarinda melewati Jembatan Mahakam 1 yang menghubungkan Samarinda dan Samarinda Seberang. Menyusuri jalan ke Balikpapan, lalu di sebelum Loa Janan berbelok menyusuri jalan di pinggir Sungai Mahakam menuju Tenggarong. Jaraknya lebih jauh. Sekarang dengan jalan mulus seperti tol tetapi berkelok mengikuti tektur tanah.

 

Di ujung jalan mulus ada beberapa warung-warung sebelum sampai jembatan Mahakam II yang bercat kuning dan kalau malam terlihat indah dengan lampunya. Di atas terlihat kereta gantung melintas-lintas. Seperti kereta gantung yang ada di Taman Mini Indonesia Indah. Anak-anak sudah bersorak ingin menaikinya. Masuk jembatan dikenai biaya retribusi Rp1000. Retribusi ini diatur oleh Perda. Di koran Kaltim pernah muncul polemik tentang boleh tidaknya retribusi ini karena biaya jembatan ada yang bilang melalui APBN (Anggaran Pembangunan Belanja Nasional). Patut diapresiasi, jembatan dan taman terlihat bersih dan asri. Ada bangunan sangat megah di sekitar taman keluar jembatan. Di sisi kanan terlihat Jam Bentong (besar) yang merupakan sumbangan Pupuk Kaltim berwujud tugu besar dengan jam di atasnya. Seperti jam gadang di Bukittinggi hanya lebih pendek dan bentuknya sederhana. Sebuah bangunan seperti pavilyun besar menyapa dan ingin mengatakan, ”Ini bangunan megah milik provinsi dengan APBD terbesar di Indonesia.” 

 

Berbelok ke kanan kami menyusuri jalan di pinggir Sungai mahakam, Jl. KH A Muksin. Jalan sangat mulus dan di pinggirnya ada trotoar yang tertata baik. Untuk kebersihan dan kerapihan patut dihargai. Tenggarong pernah beberapa kali mendapat penghargaan Adipura, penghargaan di bidang kebersihan untuk tingkat kota kecil. Memang terlihat kota kabupaten kaya. Dulu tempat ini belum serapi sekarang. Banyak penginapan di pinggir sungai tersebut. Sekitar tahun 1994 saya pernah menginap di sekitar sini sewaktu melihat even perta budaya Erau. Sekarang sudah berubah sama sekali. Tak jauh dari jembatan ada Gedung perkantoran Pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara. Bangunan nampak megah dan tertata rapi. Kabarnya, biasanya pendopo Kabupaten ini ramai oleh antrean masyarakat meminta sumbangan kepada Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani HR, tetapi sejak Syaukani dipenjara karena menjadi terdakwa kasus korupsi oleh KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) kantor ini menjadi lenggangg. Masih di jalan yang sama tak jauh dari situ berdiri tak kalah gagahnya Gedung DPRD. Wakil rakyat dari Partai Golkar mendominasi parlemen ini. Di seberang Sungai Mahakam ada Pulau Kumala dengan bangunan megah juga. Patung Lembuswana –berwujud hewan seperti singa tetapi bersayap burung- berdiri gagah seakan menyapa para tamu yang datang. Pantas saja ini kabupaten yang APBD sekitar Rp1,2T. Pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah) kebanyakan dari sektor daerah penghasil minyak dan gas. Ada juga tambang batu bara dan kayu. Nampaknya itu jalan yang paling baik dan sebagai pusat pemerintahan. Di sepanjang jalan itu banyak kantor-kantor, toko, dan beberapa penginapan.

 

Saya sudah beberapa kali ke Tenggarong. Dulu melihat pesta budaya Erau. Pesta adat Erau merupakan festival seni budaya dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Selain upacara adat kerajaan sebagai sajian utama event ini, juga dapat disaksikan beraneka macam pertunjukan seni budaya lokal dari suku Dayak maupun Kutai, juga kesenian tradisional nusantara maupun mancanegara dan pameran. Erau dilaksanakan pada tiap bulan September dalam rangka memperingati hari jadi kota Tenggarong.

 

Udara terik dan AC mobil bisa sepenuhnya menetralkannya. Yang utama sudah sekitar jam 13 lebih dan perut minta diisi he..he... Sekitar 2 km dari jembatan, kami mampir di sebuah warung makan di pinggir jalan tersebut. Warungnya bersih dengan bangunan tembok bagus. Yang punya nampaknya orang Banjar. Menunya komplet. Dari ikan2an, soto, dan beberapa lauk rumahan. Ikan patin bakarnya sedap. Dibakar panas dan aromanya menghias. Lemaknya mengumpul di tengah. Ditambah nasi hangat, sambal dan ditunjang perut yang lapar. Wah! Di sungai Mahakam dulu banyak ikan patin dan hasil tangkapan ikan patin di alam lebih lezat rasanya. Sekarang yang ada kebanyakan ikan patin budi daya.

 

Kami mencari penginapan di sekitar situ. Ada Hotel Fatma tak jauh dari situ dan masih di pinggir sungai Mahakam di depan tempat penyeberangan perahu ke Pulau Kumala. Hotelnya sederhana dengan tempat perkir yang luas. Ada dua bangunan dengan 2 lantai dengan lebih dari 50 kamar. Kebetulan hanya ada satu kamar yang kosong dengan tarif Rp165.000 per malam termasuk sarapan. Kami check ini. Kamar ini ukuran medium karena ada kamar dengan rate di atasnya dan juga di bawahnya. Kamarnya sederhana dengan TV, AC dan kamar mandi di dalam. Letaknya di lantai 2 di pinggir jalan persis sehingga pemandangan Sungai Mahakam terlihat jelas. Baru masuk kamar dan menaruh tas-tas, anak saya sudah komentar, ”Kok kamarnya begini. Masih bagus Hotel Mesra.” Asem tenan! Anak saya yang baru klas 4 SD sudah punya standar hotel bintang 3. Waduh!

 

Kami istirahat sebentar sambil lay down di kamar AC mengurangi panasnya udara. Mobil mondar-mandir tak ada hentinya di jalan depan hotel. Nampaknya jalur jalan padat. Mulai mikir-mikir obyek yang akan dikunjungi. Anak-anak sudah merengek minta naik perahu ke Pulau Kumala. Ada museum, planetarium, P Kumala dll. Karena panas bila ke Pulau Kumala, kami lalu ke museum di Jl. Diponegoro yang jaraknya sekitar 1 km. Museum di pinggir sungai Mahakam hanya menyeberangi jembatan anak sungai.

 

Museum Mulawarman dan Planetarium.

Museum berwujud gedung berwarna putih barlantai satu dengan parkir luas di halamannya. Di depannya ada taman dan tanaman rumput dengan hiasan patung Lembuswana dicat kuning keemasan berdiri. Museum Mulawarman terletak di Jalan Diponegoro dan dibuka setiap hari (kecuali Senin) mulai jam 08.00 hingga 16.00. Pengunjung di hari libur itu cukup banyak. Bangunan ini merupakan bekas keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang dibangun pada tahun 1936. Didalam museum berisi beraneka macam koleksi benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan Kutai Kartanegara, benda-benda budaya dari daerah Kutai, koleksi keramik kuno, koleksi uang kuno, alat pintal kain, senjata, beberapa perlengkapan tradisi dan masih banyak lagi. Ada benda-benda peninggalan Kesultanan Kutai seperti tahta kerajaan, mahkota kerajaan, foto-foto raja dan aneka pernik kerajaan lainnya yang bisa bercerita tentang Kerajaan Kutai.

Di ruangan lain, ada replika prasasti Yupa yang menyeritakan tentang keberadaan Kerajaan Mulawarman sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Hanya saja untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci, pengnjung mesti menyewa tenaga pemandu di museum. Buku-buku atau brosur yang memuat seluk-beluk museum juga tersedia, namun hanya bisa didapat pada jam kerja. Akibatnya, jika berkunjung ke Museum Mulawarman pada sore hari, maka informasi hanya bisa didapat melalui pemandu museum. ''Karena kantor museum sudah tutup, kami tidak bisa memberikan brosur,'' kata salah seorang pemandu di museum itu.

Museum Mulawarman berada di tepi Sungai Mahakam. Museum ini adalah bekas istana Kesultanan Kutai yang kemudian dibangun kembali oleh Belanda pada 1935 atau pada masa kekuasaan Sultan Kutai XIX, Sultan Aji Muhammad Parikesit. Sultan Parikesit wafat pada 1959 dan kini diteruskan oleh Sultan Aji Muhammad Salehudin XX. Mulawarman sendiri adalah nama raja pada kerajaan Hindu pertama yang berdiri pada abad V Masehi.

Kerajaan Kutai Kertanengara berdiri pada abad XII. Raja pertamanya adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, dengan istana kerajaan berada di kawasan Kutai Lama. Bangunan istana kerajaan yang terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung dibangun oleh Raja AM Sulaiman pada 1840. Sayangnya, istana kerajaan ini musnah terbakar. Namun, foto istana itu masih tersimpan dengan baik dan dapat kita lihat di Museum Mulawarman.

Walau merupakan kerajaan Islam, Kutai Kertanegara tetap memelihara hubungan baik dengan penduduk setempat utamanya Suku Dayak yang beragama Kristen. Hubungan yang harmonis itu berlangsung hingga saat ini. Menyaksikan sisa-sisa kejayaan Kesultanan Kutai, termasuk makam para raja dan keluarganya yang ada di dekat museum, sungguh merupakan bahan renungan yang berharga. Setidaknya, kita bisa mengenang betapa besar perjuangan dan pengorbanan para pemuka Islam itu dalam menyebarkan dan mendakwahkan agama.

Kami juga mengunjungi Planetarium yang bersebelahan dengan museum. Anak-anak sudah senang karena bisa melihat animasi planet-planet seperti di Planetarium TIM, Jakarta. Tetapi sayang sekali sudah tutup. Infonya pemutaran sudah berlangsung pagi tadi dengan 2-3 pemutaran. Untuk siang tak ada lagi karena pengunjungnya sedikit. Menurut petugas perlu pengunjung sekitar 20 orang supaya cukup untuk pemutaran atau ada yang mau booking sebesar Rp 400.000 sekali putar.

 

Menurut info di Tenggarong ada juga museum kayu di Kec. Tenggarong ke arah jalan  Spontan. Museum Kayu terletak disekitar Waduk Panji Sukarame. Museum ini menyajikan koleksi beraneka macam hasil hutan di Kalimantan Timur. Disamping itu juga terdapat 'monster' buaya ganas yang telah diawetkan yang penah memakan korban manusia di Sangatta, Kutai Timur.

 

 

Pulau Kumala

Kami berkesempatan mengunjungi pulau besoknya, saat matahari belum seberapa tinggi. Kami tempuh dengan naik perahu di tempat penyeberangan, depan hotel dengan tarif Rp20.000 sekali antar. Lalu masuk arena bermain. Kami mengelillingi pulau dengan naik mobil dengan biaya Rp20.000. Kami melihat-lihat beberapa fasilitas yang ada.

 

Inilah kompleks bermain paling mewah di Tenggarong. Pulau Kumala merupakan sebuah pulau kecil seluas 76 hektar, terletak ditengah-tengah sungai Mahakam di wilayah kota Tenggarong. Kami sampai di bawah patung Lembuswana. Di dekatnya ada kolam air mancur yang sudah tidak beroperasi lagi. Beberapa fondasi bangunan patung lembuswana mulai retak dan rusak. Sayang sekali tempat sebagus ini mulai tidak terawat. Hal ini sehaluan dengan perawatan fasilitas lain. Ada puluhan cottage dengan fasilitas lengkap tak terpakai juga. Menurut informasi, sewa cottage itu semalam sekitar Rp750.000. Lha kalau sewa segitu siapa yang kuat membayar kecuali perusahaan atau orang bule? Kalau masyarakat biasa atau pribadi kemungkinan memakai fasilitas tersebut kecil. Lagian tidak ada yang jualan makanan di pulau tersebut. Siapa yang yang mau menginap?

 

Ada bangunan pura juga dibiarkan merana. Tak ada aktivitas di situ. Kabarnya akan dibangun fasilitas ibadah beberapa agama. Lagi-lagi pertanyaannya, siapa yang bisa memanfaatkan? Kegiatan pengurukan lahan masih juga berlangsung. Beberapa truk besar lalu lalang. Menurut teman saya yang bekerja di Tenggarong, sudah 2 bukit dipakai untuk menimbun pulau ini. Beberapa tanaman lain sudah ada dan mulai ditanam kelapa tetapi belum terlihat kesuburan tumbuhnya. Ya ini memang daerah rawa, awalnya. Pernah terdengar sebagai tempat alami monyet berhidung mancung, bekantan. Sky Tower dimana para pengunjung dapat menikmati panorama kota Tenggarong dari ketinggian 75 meter dan cable car atau kereta gantung yang menghubungkan Tenggarong Seberang dengan Pulau Kumala sepanjang 1 km.

 

Kami menikmati sky tower dengan sekitar 6 penumpang saja, padahal kapasitasnya bisa sampai 30-an orang. Asyik juga melihat kota Tenggarong dari tempat tinggi dan berputar. Lagu Ruang Rindunya Letto mengiringi dalam ruang berpendingin tersebut. Pulau Kumala terlihat lengkap dari udara. Menurut petugas, Sky Tower ini teknologinya dari Jerman dan hanya ada di Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara. Di Singapura dan Malaysia saja tak ada. Operator ditraining khusus untuk mengoperasikan alat ini. Bila ada yang rusak, harus memanggil ahli dari Jerman. Listriknya memakai gen set sendiri. Tapi lagi-lagi pikiran saya terusik, berapa listriknya? Apa menguntungkan? Tiket per orang hanya sekitar Rp7000. Berapa kerugian yang ditanggung dengan sekali naik?

 

Ada fasilitas lain, tranpoline, Bom-bom Car, Komedi putar, dan tempat penjualan souvenir sudah bisa dinikmati. bahkan Kabarnya, berbagai macam fasilitas akan dikembangkan adalah arena permainan anak dan keluarga, akan dibangun semacam kebun binatang, lintasan kereta api keliling pulau, Aquarium Pesut Mahakam, Lamin atau rumah adat suku Dayak Kenyah, Modang, dan replika Lamin Mancong dari Tanjung Issuy, cottage dan lain sebagainya.

  

Pembangunan Pulau Kumala menghabiskan dana ratusan miliar rupiah untuk pelbagai kegiatan fisik di daerah wisata yang diharapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR sebagai Dunia Fantasi kedua di Indonesia. Tapi, berusaha menikmati malah membuat sedih. Berapa dana yang telah dikeluarkan tetapi tidak relevan dengan pemanfaatannya. Memang. Sebagian masyarakat sudah dapat menikmati tetapi rasanya masih terlalu kecil untuk ukuran fasilitas sebesar ini. Kabarnya APBD Tenggarong masih menganggarkan milyaran rupiah tiap tahun untuk biaya pemeliharaan fasilitas ini. Inikah salah satu potret otonomi daerah?

 

Menikmati Malam di Jembatan Mahakam

Kami kembali ke hotel sambil melihat pemandangan sungai dari jendela kamar. Perahu lalu lalang. Beberapa orang membunuh waktunya dengan memancing. Menjelang sore pedagang makanan kaki lima mulai berbenah, menata tempat di areal parkir, pinggir sungai Mahakam. Wah betapa nikmatnya makan malam di sini sambil menikmati lampu gemerlap di Pulau Kumala? Melihat Jembatan Mahakan di waktu malam? Tapi, ya ampun. Saya mengurungkan niat makan malam di sini karena ada seorang pedagang mengambil air sungai yang keruh tersebut sebagai bahan mencuci gelas piringnya.

 

Di areal parkir tersebut menjelma menjadi areal bermain anak. Anak saya merengek saja. Dengan tarif Rp5000, anak menikmati mainan mobil atau sepeda motor mini dengan penggerak tenaga accu. Dengan tarif sama pula dia menikmati permainan mandi bola. Beberapa pedagang lain juga menggelar dagangannya. Matahari mulai surut dan adzan magrib memanggil dari mushola kecil di pinggir sungai dengan hotel. Suaranya sangat keras.

 

Malamnya, kami menikmati pemandangan lampu jembatan Mahakam di depan kantor kabupaten. Dari jauh deretan lampu menghiasi jembatan sehingga membentuk gambar rangka jembatan membayang pada permukaan air di bawahnya. Indah sekali. Sangat kontras dengan warna di sekitarnya yang gelap hitam. Seperti jembatan di Amerika. Tak menyangka, ini di pedalaman Kalimantan. (Sunaryo Broto)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar