Kamis, 20 Desember 2007

Bulan Di atas Ka'bah

Pertemuan di Kebun Raya

Kumpulan Cerita Pendek

 

Sunaryo Broto

Cetakan Pertama, Juli 2007

Penerbit :

Kecubung Press

Jl. Kecubung No. 33 PC VI Pupuk Kaltim

Bontang, Kalimantan Timur

 

 

Cerpen : Sebuah Batu di Tubuhku

oleh Sunaryo Broto

Tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Sesuatu yang diciptakan Allah pasti ada gunanya. Kalau belum, mungkin manusia belum mengerti apa maknanya.

Sebuah batu diciptakan Allah pasti ada gunanya. Batu bisa dipakai sebagai bahan bangunan, sarana jalan dan banyak fungsi lainnya. Memang ini bukan sembarang batu. Hanya batu kecil sebesar biji kacang tanah yang selalu kerasan di tubuhku, tepatnya di organ ginjalku. Aku baru mereka-reka apa fungsi sebenarnya batu tersebut. Aku baru mengkaji apa maksud Allah memberi batu di tubuhku. Kalau sampai sekarang aku belum mengetahui fungsinya mungkin itu karena keterbatasan saya sebagai manusia saja. Aku masih berusaha untuk mengerti.

Cerita batu ini sebenarnya sudah lama ngendon di tubuhku. Entah kapan mulainya saya sendiri tak tahu. Mungkin sudah 15 tahunan lebih. Awalnya waktu saya mahasiswa tahun ke dua. Aku menderita sakit radang saluran kencing sampai 4-5 kali masuh rumah sakit. Sakitnya minta ampun. Sakit yang begitu terasa di pinggang kiri bagian dalam. Terasa nyeri melilit-lilit. Sakit yang paling sakit yang pernah kurasakan. Kalau bisa pingsan saat itu saya pilih pingsan saja. Waktu pertama kali merasakan sakit sekitar jam 22.00. Awalnya kutahan saja dan bertanya-tanya sakit apa ini sambil mengaduh tak karuan. Karena sudah larut dan rasa sakit itu tetap tak hilang, seisi rumah jadi begadangan menungguku. Paginya baru bisa ke dokter. Setelah diberi obat tetap saja sakit itu tak berkurang. Lalu diberi pengantar ke rumah sakit dan langsung ke rumah sakit. Sial, di rumah sakit penuh semua. Terpaksa dengan tidur di lorong zal dan peluh berleleran menahan sakit aku tahan saja.

Saat itu terasa sekali betapa nikmatnya sehat. Ingin aku seperti orang-orang yang tidak berpunya sekalipun tetapi tanpa rasa sakit itu. Pikiranku membayang kesana ke mari. Ada teman bermainku masa kecil dari anak yang tak berpunya. Saudaranya ada beberapa yang jadi pencuri atau tukang becak. Ada juga yang menjadi tukang jualan nomor lotere. Sekolahnya amburadul, mungkin hanya sampai SMP dan sering main ke mana-mana. Tapi dia juga kreatif. Kalau memancing sering dapat ikan banyak lalu dijual. Mencari jengkerik juga pintar, sering dapat banyak dan dijual. Cari burung dengan ketapel, sering dapat burung bagus dan dijual. Kadang juga mengamen lagu-lagu ndangdut dengan teman-teman lainnya. Dia bisa memainkan alat musik kendang. Namanya Mul tapi karena sering pilek dijuluki dengan nama Meler. Rasanya tak ada rasa sedih di wajahnya. Semua persoalan keluarga dianggap ringan saja. Dia sering bermain ke rumahku. Cukup saya tanggap si Meler ini seluruh berita dan cerita di kampung sudah kuketahui. Pengin aku jadi si Meler saja. Tanpa sekolah, tanpa banyak uang tetapi tetap ceria. Tanpa rasa sakit di pinggang. Pikiran bolak-balik ke masa kecilku. Kuingat yang indah-indah dengan peluh tetap berleleran. Menjelang siang rasa sakit itu berkurang.

Batu itu berulah tidak sampai segitu saja. Ada 4-5 kali sewaktu mahasiswa harus merasakan tidur di RS Yogya dan Solo. Batu itu berulah dan memberikan rasa sakit lagi yang teramat sangat. Kembali saya berguling-guling merasakan rasa sakit itu di kamar kost. Istilah kedokterannya kolik. Tiap kali sakit menyerang langsung dibawa ke rumah sakit lalu diberi obat penghilang rasa sakit, setelah itu dirawat 2-3 hari dan kalau tidak menyerang sepertinya sehat. Aku biasanya langsung pulang. Aku sampai hafal betul nama obatnya karena merupakan benda penolong, Buskopakompesitium. Entah bagaimana tulisan dan spelingnya. Mungkin seperti penderita kecanduan narkoba yang ketagihan lalu diberi obat penawarnya. Beberapa perawat sampai hafal mukaku setiap kali dibawa ke rumah sakit. "Lha ini kan pasien kemarin yang barusan pulang," begitu komentarnya.

Mungkin sedikit banyak studyku juga terganggu. Beberapa mata kuliah tertinggal dari teman-teman satu angkatan. Pernah dalam satu semester saya hanya lulus praktikum saja, mata kuliah lainnya tak ada yang lulus karena tidak cukup absennya. Itupun dengan nilai pas-pasan. Gara-garanya saya tidak dapat menyelesaikan praktikum wajib dengan jumlah 6 kali. Karena sakit saya hanya bisa praktikum sebanyak 5 kali. Itupun yang 2 kali praktikum susulan tersendiri. Untuk menempuh kekurangannya saya menghadap kapala laboratorium sambil menunjukkan surat-surat berobat dari rumah sakit bahwa saya tidak bisa praktikum karena sakit. Saya mau praktikum sendiri dengan waktu tersendiri. Kepala Lab. Mengijinkan tetapi karena waktunya mepet hanya cukup 2 kali tambahan. Saya memohon meminta lagi satu kali praktikum sendiri. Dia tidak memperbolehkan. Saya sampai ngotot bahwa saya tidak bisa karena sakit. Tetapi tetap kepala lab. tidak memperbolehkan dengan konsekwensi nilaiku menjadi jumlah 5 kali praktikum dibagi 6. Saya sampai ingat betul profil kepala lab. tersebut, orangnya gemuk, berkaca mata, naik sepeda motor tua, dan namanya Pak Bambang. Saya tidak akan lupa akan ketidakbaikkannya.

Saya istirahat lama di rumah dan tidak masuk kuliah. Saya sempat merasa "depresi" bila membayangkan kuliah di Yogya. Saya banyak berada di rumah sendiri. Sampai teman-teman di Yogya "membezuk" saya karena sudah lama tak kelihatan di sekolahan. Ada yang "mengganjal" perasaan bila saya teringat Yogya. Ada "kegelisah-kegelisahan" yang terus terjadi. Bahkan saya berniat keluar kuliah saat itu. Ternyata selain efek fisik, rasa sakit itu menimbulkan juga efek psikologis.

Setelah sekian kami dirawat dan dirotgen dinyatakan sakit infeksi saluran kencing tetapi belum muncul batunya. Therapinya setelah diberi obat harus olah raga, diet rendah kalsium dan minum yang banyak.

Setelah itu, gaya hidup saya menjadi berubah. Saya membeli peralatan masak air. Kemana-mana membawa botol minuman. Konsekwensinya kencing saya menjadi banyak dan saya dikenal sama teman-teman kalau dolan kemana-mana yang dicari pertama adalah toiletnya. Aktivitas sayapun menjadi berkurang. Saya dulunya hobi naik gunung menjadi berkurang.

Ulah batu masih berlanjut setelah sekian lama tak muncul. Saya telah lulus dan bekerja. Ada sekitar lima tahunan setelah itu. Sewaktu cek kesehatan tahunan kelihatan kalau batu itu sudah membesar sebesar biji rambutan yang kecil. Kembali saya harus hadapi rontgen BNO IVP yang harus treatment terlebih dahulu dengan perut dikuras isinya.

Gara-gara batu itu aku harus merasakan operasi untuk pertama kalinya. Aku memilih operasi karena kata dokter kalau sudah operasi batu itu akan diambil dan tidak akan tumbuh lagi. Operasi dinyatakan berhasil dan batu sebesar biji rambutan di tubuhku sudah diambil semua. Aku disuruh diet dan minum banyak. Ternyata harapan tak terulang lagi sakitku itu terlalu muluk. Batu itu masih tetap saja menyenangi tubuhku dan bersarang lagi bertambah besar. Kali ini sebesar biji kacang tanah. Aku terapi ESWL –menghancurkan batu dengan gelombang pendek- pertama kali. Aku sudah trauma operasi. Aku pilih terapi yang lebih kecil resikonya. Aku harus mengerang lagi terapi ESWL. Rasa sakit yang teramat sangat hingga aku mengingat cerita bagian dari novel Jangan Ambil Nyawaku dari Mira W. Aku sangat mengingat nasihatnya. Bila anda merasakan sakit yang teramat sangat bayangkan rasa sakit itu dengan mengingat-ingat kejadian yang paling menyenangkan. Bayangkan tempat sakit tersebut menjadi sesuatu yang menyenangkan. Aku mengingat si sakit di novel yang mengerang kesakitan karena chemoterapi. Dia masih bertahan sampai rambut gugur satu per satu hingga gundul. Dia masih bertahan. Saya toh baru terapi ESWL. Saat itu istriku baru mengandung anak ke dua. Aku membayang anakku besok kalau lahir gemuk, lucu, ceria. Mudah makannya. Mudah diajak bercanda. Saya bayangkan bayi-bayi yang gemuk lucu seperti di TV. Seperti itu besok anakku. Dia tersenyum padaku. Pipinya padat berisi. Senyumlah hibur bapakmu saat ini. Aku praktekkan dan rasanya tak salah dr. Mira W mengatakan itu. Waktu satu setengah jam menjadi sedikit berkurang. Aku pasrah seusai terapi. Sakit adalah sesuatu yang tak enak. Menjadi pasien adalah menjadi terdakwa. Disuruh apa saja sama dokter harus mau meskipun untuk disakiti dan harus membayar. Kesehatan memang mahal.

***

Saat itu aku masih menjalani tahapan terapiku. Aku terapi ESWL yang kesepuluh di RS Surabaya. Bosan juga dibuatnya. Ternyata setelah ESWL pertama aku tidak menjaga diet dan memperbanyak minum air putih. Tahu-tahu batu sudah sebesar dua buah biji jagung. Aku harus menjalani serangkaian terapi ESWL lagi. Tahap pertama aku lima kali ditembak ESWL. Batu hanya pecah secara fragmentasi dan harus diulang lagi ESWL. Setelah dicek hasilnya ternyata masih perlu terapi ESWL lagi. Aku pindah rumah sakit atas saran doktemya ke rumah sakit yang mempunyai alat ESWL terbaru.

 

Aku jalani lagi terapi tahap dua setelah evaluasi 2 bulan. Masih diperlukan lagi 4 kali tembakan ESWL. Aku mengerang lagi di ranjang rumah sakit. Aku rasain lagi obat penghilang rasa sakit, obat penenang dan obat biusnya. Bila diterapi untuk mengurangi rasa sakit saya ajak dokternya ngobrol hal-hal ringan untuk mengurangi rasa sakitku. Hingga di akhir terapi, hasil foto rontgen menunjukkan bahwa batu itu telah hancur dan keluar. Tinggal 2 butir kecil selebar 3 mm.

Sampai sekarang aku masih mengkaji, apa sebenarnya maksud Tuhan memberiku sebungkah batu di tubuhku. Aku belum merasakan fungsinya secara fisik bahkan malah lebih banyak menyakitkanku. Batu itu telah menyita sebagian hari-hariku. Menyita sebagian pikiran dan mengurangi sebagian makanan kegemaranku. Batu itu telah menuntun aku dari satu dokter ke dokter lainnya, dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Kalau dulu aku ingin tidur pada banyak hotel di beberapa kota di Indonesia tetapi sekarang ditambah dengan tidur di rumah sakit. Bukan sebuah keinginan tetapi keterpaksaan. Siapa sih yang ingin dirawat di rumah sakit? Meskipun dirawat pada klas VIP, seorang pasien tetap pasien. Dia terdakwa dan tak dapat apa-apa. Dia harus menurut apa yang dikatakan dokter. Dia harus mengangguk apa yang dikatakan perawat.

Hanya kesadaran-kesadaran baru mulai tumbuh dalam relung hatiku. Bahwa kesehatan adalah anugerah yang sangat besar dari Tuhan maka harus mensyukurinya. Keseimbangan tubuh harus dijaga karena kalau terganggu akan berpengaruh pada kesehatan. Nafsu makan harus dijaga jangan sampai semua makanan disantap.

Yang lebih utama, batu tersebut sudah menjadi bagian dari jalan hidupku. Sudah mewarnai sebagian hidupku. Sudah memberi pelajaran padaku. Memberi rasa sakit dan kesadaran baru. Memberi pengetahuan sedikit tentang fungsi alat-alat tubuh dan bagaimana mensyukurinya.

Mungkin akan lain jadinya bila dalam tubuhku tak ada batu. Aku bisa mendaki beberapa gunung lagi waktu mahasiswa. Kuliahku bisa lebih cepat aku selesaikan. Aku sudah melanglang buana ke tempat mana. Pergi ke mana, dengan siapa. Dan lain-lain. Tapi Tuhan ternyata memberi ujian lain. Diberinya aku batu yang sangat setia bersemayan dalam tubuhku. Dan juga jalan hidupku menjadi lain karena ibu anak-anakku adalah asisten dokter internis yang mengoperasi batuku dulu. Mungkin itu hikmah yang kurasakan nyata. Saat ini.

Dan jangan lupa, anakku yang kubayangku gemuk, lucu dengan pipi padat dan tawa ceria ternyata menjadi kenyataan. Sebagai kenangan dan harapan kusisipkan namanya, Oksalani, nama dari jenis batu yang setia di tubuhku, Kalsium Oksalat. Yaya, nama anakku tersebut sudah tumbuh menyenangkan. Sebaliknya batu oksalat di tubuhku tetap saja tumbuh dan merisaukan. Tuhan, bisakah itu dihentikan?

Bontang, Oktober 2002

 

 

Cerpen : Bulan Di atas Ka’bah

Oleh Sunaryo Broto

 

Sewaktu di Masjidil Haram waktu malam, entah kenapa saya senang sekali memandang bulan di atas Ka’bah. Bila thawaf pada malam hari, saya suka mengamati bulan sabit yang mengerucut ke kanan di antara sudut-sudut Ka’bah. Bahkan kadang saya sampai memiring-miringkan kepala atau menunduk untuk mencari sudut pandang Ka’bah dengan bulan sabit yang paling tepat. Serangga-serangga kecil beterbangan berputar-putar berkilat ditimpa sinar lampu. Terasa kontras warnanya, langit dan Ka’bah berwarna hitam pekat, bulan sabit berwarna putih dan kilatan serangga bergerak berputar-putar melengkapi indahnya komposisi. Sedang aroma suara jemaah berdzikir, berdo’a, bermunajat, berdengung menambah lain suasana. Saya merasa berbahagia berada di tengah arus pusaran thawaf dan komposisi nyata ini. Saya nikmati dan syukuri arus putaran ini. Entah sampai kapan. Setidaknya sewaktu memunaikan ibadah Haji. Saya ingat lukisan Jeihan Sukmantoro yang berjudul Bulan di atas Ka’bah, langit berwarna hijau biru gelap dengan bulan sabit terang di atas Ka’bah yang membentang.

 

Itu salah satu yang menjadikan saya senang sekali thawaf. Senang merasakan dan menikmatinya. Mungkin perasaan dalam diri saya sendiri tak terlalu besar tetapi saya merasakan imbas dari perasaan orang lain yang begitu mempengaruhi suasana perasaan saya. Saya suka “menelenggamkan” diri. Menikmati diantara perasaan orang-orang yang pasrah menyerahkan diri. Kalau ada kesempatan diantara shalat wajib saya melakukan thawaf. Saya ikut putaran diantara orang-orang yang berserah diri. Memang kadang berdesakan, tetapi kalau kita iklas dan hanya mencari ridho Allah semata kita tidak akan emosional menyikapinya. Bahkan saya terkadang tak mencoba bergerak, alias mengikuti gerakan massa saja. Saya pasrahkan pada arus massa.

 

Kadang saya suka membayangkan, katanya tepat di atas Ka’bah entah di langit ke berapa juga berlangsung arus putaran mengelilingi Ka’bah yang dilakukan para malaikat. Saya tarik garis lurus ke atas dari Ka’bah. Di mana ya daerah itu? Memang dari bayangan saya, bila bola bumi kita lihat dari jauh, titik posisi Ka’bah di bola bumi sepertinya di tengahnya. Apa benar? Kabarnya begitu.

 

Hampir tiap kali ke Masjidil Haram saya jumpai bulan itu tersenyum di atas Ka’bah. Sepertinya mengundang untuk menikmati gambar komposisinya. Saya bayangkan bagaimana indahnya bila bulan utuh besar pada waktu purnama di atas Ka’bah di waktu malam. Langit hampir tak pernah ada mendung. Tapi sayang, saya belum pernah melihatnya. Yang terjadi sepanjang waktu adalah arus putaran jemaah. Arus putaran jemaah itu, kapan berhentinya? Rasanya hanya waktu sholat wajib saja thawaf itu berhenti. Pada saat adzanpun arus putaran itu masih tetap saja berputar. Hanya pada saat sholat saja berhenti total. Begitu salam diucapkan, arus putaran berjalan lagi. Luar biasa. Siapa yang menggerakkan? Apa sekedar jiwa-jiwa pasrah?

 

***

Pada saat saya berobat di RS Surabaya, HP saya berbunyi dari istri.

“Mas, ada kemungkinan saya disuruh mendampingi jemaah haji sebagai dokter pendamping. Mas mau haji tahun ini sebagai muhrim saya karena syaratnya harus ada muhrimnya ?” Istri saya memang dokter di perusahaan.

Tanpa pikir panjang saya menjawab,”Oke, saya didaftarkan saja”. 

Mulailah konsentrasi sebagian pikiran saya ke arah haji. Saya membaca buku-buku tentang haji yang telah saya persiapkan sebelumnya. Saya ikuti manasik hajinya. Saya catat hal-hal yang penting. Saya tak ingin melewatkan perencanaan ini.

 

Saya bersyukur bisa mengikuti haji tahun ini. Sesuatu yang lebih cepat dari rencana saya semula. Setelah merasa mampu dari segi finansial saya memang bertekad untuk memenuhi rukun Islam yang kelima yaitu haji ke Baitullah. Saya menganggap haji adalah perjalanan spiritual dan ada segi travelingnya,. Tepatnya traveling yang spiritual. Kurang apa? Karena saya suka traveling, sayapun merencanakannya. Saya menunggu saja, mempersiapkan diri dan menekan alasan-alasan subyektif dalam diri.

 

 

***

 

Saya adalah seseorang yang rasional. Segala sesuatu saya perhitungkan betul rasionya. Juga sewaktu beribadah. Saya pertimbangkan waktunya. Kapan harus mulai thawaf, kapan waktu untuk umroh, di mana harus menaruh sandal supaya tidak hilang, dari pintu mana harus masuk dan keluar. Bahkan sampai berapa kira-kira efektifnya, saya pertimbangkan betul.

 

Tapi suatu saat rasionalitas saya benar-benar runtuh. Saya sudah tak mau berpikir rasional. Lebih tepatnya saya tak mampu saat itu. Tidak selamanya harus mengandalkan rasionalitas.

 

Siang, menjelang sore kami –saya bersama satu rombongan- berangkat untuk melontar jumroh dan mabit di Mina. Kami memang tidak menempati tenda yang sudah disediakan karena letaknya jauh dari tempat melempar jumroh. Kami, dari maktab naik bis ke Aziziah lalu berjalan menuju Mina. Kami mencari kapling di pinggir jalan –biasanya dekat dengan tempat melempar jumroh- untuk home base sementara melempar jumroh dan mabit. Saat itu saya di tengah rombongan berjalan menuju tempat kaplingannya. Karena istri saya tertinggal maka saya menunggu sebentar dengan resiko ditinggal rombongan depan. Tak dinyana rombongan belakang ternyata tak lewat jalan yang saya tempuh. Sampai lama saya menunggu dan mencarinya. Di sekitar lokasi jumroh, orang datang bagai bah dengan maksud yang sama. Sukar untuk mencari rombongan saya. Saya tak terlalu kawatir karena saya pegang HP, juga beberapa teman lainnya. Tapi diluar rasio saya ternyata HP tidak berfungsi. Tidak ada sinyal sama sekali. Padahal sewaktu akan berangkat kita test dulu sama-sama. Ya sudah saya harus menjalani hal ini. Saya masih mencoba mencari-carinya karena rombongan berseragam siapa tahu akan terlihat pakaiannya. Tapi setelah lama mencarinya tetap tak terlihat. Saya beristirahat, sambil berpikir. Saya sholat sunat tobat di pinggir jalan dan memohon ampun. Akhirnya saya telusuri satu per satu rombongan dan bisa menemukan setelah terpisah sekitar 2-3 jam.

 

Melihat Ka’bah, rasionalitas saya tak pernah surut. Setiap thawaf selalu saya pandangi Ka’bah dengan perasaan lain. Semacam perasaan menyelidik. Ada apa ini? Mengapa orang-orang begitu menghiba di depan Ka’bah. Ada yang mengusap-usap sorbannya dengan segala perasaannya. Ada yang memeluknya sambil meneteskan air matanya. Ada yang hanya berdiri dengan menempelkan tubuh bagian depannya sambil berdo’a. Ada seseorang terguguk menangis tersedu-sedu di depan Ka’bah. Air matanya beruai. Sampai saya pandangi jemaah itu dari dekatnya. Saya heran, mengapa saya tak mengalami perasaan seperti itu? Apa salah saya? Apa belum saatnya? Saya mengusap dinding Ka’bah karena ingin mengusapnya. Dindingnya hitam mengkilat dan permukaannya kasar. Saya mencium dinding karena hanya ingin merasakan baunya yang penuh aroma parfum. Entah siapa yang memberinya. Saya mencium Hajar Aswad karena Nabi menyuruh seperti itu. Saya peluk karena saya memang ingin memeluknya. Saya putari Ka’bah karena ritual ibadah mengharuskan seperti itu. Dalam hati juga, ada semacam perasaan “iri”, mengapa saya tak merasakan hal itu. Ingin juga saya merasakan hal itu. 

 

Sewaktu umrah ke sekian akhirnya saya juga mengalami hal yang hampir sama. Ada jemaah dari daerah lain tetapi masih satu kloter meninggal dunia. Dia berumur sekitar 50 tahunan. Badannya sehat dan belum pernah ada problem tentang kesehatannya. Dia sudah sering sekali thawaf dan sudah berhasil mencium Hajar Aswad 3 kali. Ini sebuah “prestasi” tersendiri bagi jemaah haji. Bagaimana sulitnya menjangkau Hajar Aswad, jemaah begitu berjubelan ingin melakukan hal sama. Mengapa sampai meninggal? Kabarnya dia meninggal di Hijir Ismail karena kelelahan. Wah! Mengapa itu bisa terjadi? Dia sehat dan begitu berpengalaman memutari Ka’bah mengapa bisa kelelahan. Apa karena dia berlebihan dalam beribadah, khususnya dalam upaya mencium Hajar Aswad yang masuk kategori sunat saja. Mungkinkah dalam meraihnya telah menciderai jemaah lain? Ada apa dengan Ka’bah? Apa ini termasuk rahasia Allah? Rasionalitas saya tak berlaku lagi. Saya menyerah. Saya tak kuat. Entah mengapa perasaan saya, badan ini menjadi lemas. Saya thawaf dengan perasaan lemas. Tidak power full seperti biasanya. Mungkin tersedot oleh “wibawa” Ka’bah itu. Saya lemas, tetapi saya jalani perlahan putaran thawaf sambil memohon ampun pada Allah. Saya berdo’a dalam sekali. Saya lakukan Sa’i. Saya hayati betul. Bagaimana penderitaan Siti Hajar dalam suasana sendirian di padang tandus, tak ada makanan dan minuman, sedang dia dan bayinya kehausan. Dia berlari ke sana kemari mencari air minum. Dia berlari dari Bukit Safa dan mondar mandir ke Bukit Marwa. Perjuangan seorang ibu yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan anaknya. Saya terlarut dan tak terasa saya menangis. Air mata mengalir begitu saja. Saya nikmati saja. Belum bisa menangis di depan Ka’bah, tak apa menangis di dekat Marwa. Tetapi setelah itu, terasa sekali badan sudah tak lemas lagi. Saya sudah merasa kuat seperti biasa.   

 

***

 

Suatu waktu saat thawaf lagi tak kulihat bulan itu. Saya cari tak juga bertemu. Sepertinya mendung baru bergayut. Mendung begitu pekat. Dan ternyata benar, dini hari Mekkah hujan sangat deras. Esoknya telapak kaki bisa menikmati sisa air hujan di beranda Ka’bah. Sekali-kali menikmati guyuran hujan di Mekkah.

 

Di lain waktu. Bulan itu masih saja tersenyum. Saya melambai dalam hati. Mengucapkan syukur yang teramat dalam. Bahwa sampai sekarang masih bisa menikmati bulan di atas Ka’bah. Meski belum bisa berasyik masyuk dengan berderai air mata di depan Ka’bah. Saya ingat sajaknya Goenawan Muhamad yang berjudul Dingin Tak tercatat yang saya tuliskan di pengantar buku Laporan Penelitian sewaktu mahasiswa. …Tuhan, kenapa bisa bahagia.

 

Suatu waktu saya masih berharap dapat kembali lagi ke dekat Ka’bah. Bulan itu tetap saja tersenyum untuk menghias panorama sekitar Ka’bah. Jemaah tetap saja thawah. Jemaah tetap saja berdzikir. Sangat banyak. Lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Dan saya di sudutnya menangis terguguk sambil berkata, Tuhan kenapa bisa bahagia?

  

 

 

Cerpen : Sebuah Tiang Bernama Abulubaba

Oleh Sunaryo Broto

 

Sore itu sehabis sholat Ashar. Saya masih di Masjidil Haram menunggu sholat magrib. Untuk mengisi waktu saya membaca Al-Qur’an yang banyak disediakan di situ. Atau membaca buku yang saya bawa. Atau menulis sesuatu pada buku kecil yang saya bawa juga. Atau berdzikir kalau capek, atau rebahan saja.

 

Karena letak Maktab saya yang termasuk jauh di daerah Jarwal maka saya harus menyiasati keadaan. Dari pada pulang ke Maktab, saya menunggu saja di Masjid. Ada untungnya juga tinggal di Maktab jauh. Kita malah banyak menunggu di Al-Haram. Itu keuntungan tersendiri karena dapat mengaji, dzikir atau membaca daripada ngobrol saja di Maktab. Suasananya sejuk. Mau minum air zam-zam juga tersedia banyak di galon-galon yang ditaruh di beberapa tempat.

 

Saat itu saya menunggu sholat Magrib di lantai 1 Masjidil Haram. Tiba-tiba jemaah di sebelah saya mengajak bicara. Dia lebih tua dari saya, sekitar lebih dari 40-an tahun.

“Mas dari mana ?”.

Saya menoleh, ternyata di dekat saya juga jemaah Indonesia. Jemaah Indonesia gampang dikenali dari sosoknya yang kecil dengan wajah Melayu. Ada yang lebih khas lagi, ada tas kecil dengan gambar bendera merah putih dan bertuliskan Indonesia dengan sabuk membelit pinggang atau leher. Sama juga dengan jemaah Turki yang gampang dikenali dengan baju seragamnya dengan bendera kebangsaannya..

“Dari Yogya, Mas sendiri ?”

Sebuah pertanyaan pembuka untuk urusan komunikasi lebih lanjut. Sepertinya kalau sudah tahu asalnya sudah bisa meraba. Nama tak begitu penting rasanya.

“Saya dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Maktab saya di Jarwal”

“Lho, sama. Di sektor VII, No : 100 ?”

“Betul mas. Kita satu gedung. Tapi biasa, kita memang tak pernah bertemu. Biasanya yang akrab adalah yang satu kloter”

“Iya, meski satu gedung tapi beda lantai. Kita juga merasa belum kenal jadi ya ndak pernah ketemu.”

 

Sesaat kami terdiam. Lalu dia bertanya.

“Mas tahu, tiang tobat di sini?”

“Rasanya tiang tobat itu di Masjid Nabawi, di tiang Abulubaba…”

“Ada apa, saya mencoba memancing pembicaraan lebih lanjut”

“Saya ingin tobat mas,” Dengan wajah memelas dia menjawab. Setelah basa-basi sebentar tak dinyana dia langsung bercerita banyak hal kepada saya. Saya juga tak menyangka akan ada orang bercerita sebegitu panjangnya. Sepertinya tumpah begitu saja.

 

Ceritanya kurang lebih begini : Saya lahir di suatu daerah di Jawa Timur. Bapak tentara dan ibu rumah tangga biasa. Saya kuliah di sebuah akademi pertanian di Bandung. Saat itu ada tawaran dari TNI bahwa dicari tenaga penyuluhan pertanian untuk ditempatkan di Timor Timur. Saya  tertarik dan mendaftar. Lalu saya mengikuti pelatihan macam-macam. Juga pelatihan kemiliteran. Singkat kata lalu kami –berombongan dengan mahasiswa lainnya- berangkat ke Timor-Timur untuk bertugas sebagai penyuluh pertanian. Bayangan saya, nanti saya akan memberi pengetahuan praktis kepada penduduk setempat tentang bercocok tanam secara sederhana. Saya juga sudah mempersiapkan beberapa buku yang diperlukan. Juga sekiranya nanti memberi penyuluhan. Apa tugas kami setelah di sana? Ternyata perang! Bagaimana kami tidak ingin perang? Kami bertugas di suatu daerah, untuk membuat semacam penyuluhan untuk penduduk. Di tengah acara tiba-tiba kami diserang oleh segerombolan orang bersenjata. Kami lari terbirit-birit saling bersembunyi. Suara senapan mesin saling menyalak. Suasanan menjadi kacau balau. Hingga suatu saat, ada seorang teman saya roboh bersimbah darah di dekat saya. Saya masih sempat membopongnya untuk membuat perlindungan. Darah tetap mengalir berlelelah. Saya bingung dan cemas. Tak bisa berbuat lain kecuali memegang badannya. Kata-kata berhamburan saja untuk membuat dia bahagia. Akhirnya nafasnya tinggal satu-satu dan meninggal dia dalam pelukan saya. Darah membasahi baju dan badan saya. Baru sekali itu saya memdekap orang sampai di penghujung mautnya. Suara senapan saling menyalak masih terasa. Beberapa mayat bergelimpangan. Juga satu dua senapan. Apa yang harus saya perbuat saat itu? Saya coba ambil senapan sambil berlindung. Saya pandangi saja senapan itu. Senapan saya otak-atik untuk mencoba menembak. Meskipun sudah dilatih kemiliteran tetapi saya belum pernah menembak orang betulan. Menggigil badan saya. Takut bukan kepalang. Saya pikir saat itu saya akan mati juga seperti teman saya tadi. Akhirnya saya mulai berpikir, apa yang dapat saya lakukan? Tiada lain ikut berperang sekalian. Ya berperang juga. Kalau tidak akan mati juga. Saya beranikan diri untuk menembakkan senapan ini. Suara dan getaran mesin senapan tak saya pedulikan. Dengan tubuh gemetar saya tembakkan. Saya muntahkan semua peluru ke arah gerombolan penyerang. Saya tidak tahu apakah mengenai orang atau tidak. Yang penting saya berbuat, satu untuk mempertahankan diri. Yang kedua untuk membalaskan kematian teman saya.

 

Tak lama kemudian serangan agak reda. Kemudian tidak ada tembakan sama sekali. Regu penolong pada datang. Kami menjadi sibuk lagi berbenah. Yang meninggal, yang sakit diangkut dengan mobil. Yang masih bisa berjalan, dituntun. Saya berjalan terseok-seok. Seakan tak percaya bahwa saya telah berperang. Tubuh saya dipapah dan dinaikkan mobil. Saya masih belum percaya bahwa ternyata saya masih hidup. Saya telah mendapat pengalaman yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Malamnya saya tidak bisa tidur. Saya mengenangkan peristiwa yang baru saja berlalu. Terutama kejadian yang menimpa teman saya. Dia meninggal di pelukan saya. Saya masih simpan kalungnya dan akan saya berikan kepada keluarganya besok kalau saya sudah selesai melaksanakan tugas ini. Waktu merembet sangat pelan.

 

Manusia memang diciptakan dengan pikiran dan dia harus bisa mengatasi masalahnya sendiri. Tak perlu waktu lama untuk merenung terus. Akhirnya saya seperti yang lainnya, ikut berperang. Sebab kalau tidak menyerang, kita yang diserang. Jadi awalnya saya sebagai mahasiswa ditugasi untuk membuat penyuluhan akhirnya harus berperan sebagai tentara. Saya latihan tiap hari. Latihan fisik dan beberapa pengetahuan lain. Malah kami sudah diberi pakaian tentara dan sebuah senapan. Sepertinya kami sudah menjadi tentara.

 

Awalnya saya hanya membantu-bantu saja. Tugas penyuluhan masih kadang dilakukan tetapi dengan kesiapan yang lain. Untuk jaga-jaga. Jadi peristiwa yang terjadi pertama itu, berulang dan berulang lagi. Sudah banyak kurban baik diantara teman-teman saya atau kaum penyerang. Saya tidak tahu untuk apa kita harus saling serang menyerang. Yang saya ketahui, saya harus mempertahankan diri. Kalau tidak menyerang ya diserang. Siapa penyerangnya sudah susah membedakan. Semua penduduk berpotensi untuk menjadi penyerang. Pernah dalam sebuah serangan, saya harus memberondong senapan dan membunuh semua penduduk di desa itu. Banyak diantaranya wanita dan anak-anak. Saya masih ingat saja tatapan matanya. Tapi saya tak peduli. Saya pikir bila tidak saya menembak, besok bisa saja mereka menembak saya.

 

Hingga akhirnya tugas yang mencemaskan itu selesai. Saya tak melanjutkan kuliah dan saya mencoba peruntukan lain. Saya merantau ke Kalimantan untuk sebuah usaha. Tak terasa juga ternyata sudah lama saya berkecukupan dan akhirnya harus menunaikan ibadah haji untuk menemani ibu saya yang ingin berhaji. Tanpa persiapan banyak saya mengikuti arus berhaji saja. Tak juga ada persiapan khusus melakukan itu. Manasik pun tak urut juga mengikutinya. Tetapi setelah di Mekkah semuanya jadi berubah. Saya seperti tersadar, kenapa saya bisa seperti ini. Saya merasa Tuhan sangat menyayangi saya sehingga diberi kesempatan sampai ke Baitullah. Berhari-hari saya sholat lima waktu di Masjidil Haram. Hanya bila lapar dan kantuk saja saya pulang ke maktab untuk sekedar makan dan istirahat dan berbenah lainnya.

 

Tapi akhir-akhir ini saya kembali resah. Tiba-tiba saya teringat peristiwa di Timor Timur sekian puluh tahun lalu. Saya masih ingat bagaimana saya memberondongkan peluru dan tubuh-tubuh tak berdosa berserakan, mengaduh, mengejang maut. Ya Allah, saya berdosa. Saya ingin tobat.  Hal inilah yang menjadikan saya ingin bertobat. Saya dengar di Masjidil Haram ada tiang tobat. Saya ingin tobat di situ…

 

Tak terasa dia memberondong terus dengan ceritanya. Wajahnya memelas dan beberapa butir air matanya tumpah. Saya masih saja asyik masyuk mendengarkan ceritanya. Heran juga saya, tiba-tiba bertemu seseorang yang menumpahkan cerita. Sepertinya saya sebagai sahabat baiknya. Saya anggap saja sebagai tambahan cerita lain dan anggap saya sahabat baiknya. Saya pun menikmatinya sebagai pendengar.

 

Tak terasa matahari mulai beringsut ke peraduannya. Gerakan Thawaf di kejauhan masih saja nampak putarannya. Jemaah sholat Magrib sudah mulai berdatangan. Memang kalau ingin sholat dengan shaf depan harus berangkat lebih dulu sebelum adzan berkumandang.

 

Akhirnya saya bilang ke jemaah dari Balikpapan.

“Kalau ingin tobat sebenarnya di manapun juga bisa. Kalau mau tobat di sini juga bisa. Terserah bapak.”

“Tapi saya ingin di tiang tobat…”

“Kalau tiang itu namanya tiang Abulubabah di Masjid Nabawi,  Madinah. Di dekat tiang Aisyah. Disebut itu karena dulu dipakai Abulubabah untuk tobat di masa Rosul. Biasanya setelah di Mekkah nanti akan ke Madinah untuk program Arbain…”

 

Suasana diam sebentar. Saya lihat wajahnya termangu. Mungkin ingat peristiwa di Timor-Timur yang sekarang sudah menjadi Negara tersendiri.

“Terima kasih. Mau mendengarkan cerita saya. Itu sudah melegakan saya…”

 

Dia pamit dan berjalan ke depan mencari shaf lain. Jamaah pun mulai padat mengisi shaf. Saya tetap saja duduk sambil membereskan sajadah. Di sini gelaran sajadah bisa berarti tempat kapling untuk sholat. Seolah masih tak percaya. Kejadian memang bisa beraneka ragam. Dan menimpa siapa saja. Saya bersyukur tidak mengalami cobaan yang tidak begitu berat. Tapi, ya Allah, apapun yang telah terjadi, saya tetap mau tobat. Tidak perlu menunggu di tiang Abulubaba, tetapi di sini. Di mana saja.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar