Jumat, 21 Desember 2007

Pram dan Saya

Pram dan Saya.

 

Sebut saja Pram, atau ketik Pram di yahoo atau google akan keluar ratusan artikel tentang dia. Dia bukan hanya satu nama saja, tapi sebuah ikon orang tertindas yang tak punya rasa takut, menghayati betul perannya sebagai penulis sehingga bisa mendokumentasikan pikirannya dalam berbagai peristiwa yang menimpanya. Kebetulan banyak peristiwa besar dalam langkahnya maka karyanya juga bukan karya ecek-ecek. Dia sempat dikirim ke Pulau Buru sebagai tahanan politik selama lebih dari 13 tahun, tetapi malah lahir karya monumentalnya tetralogi Pulau Buru. Dia juga menjadi sastrawan penting yang mendokumentasikan karya pada era penjajahan Jepang dalam Buku Perburuan. Banyak sekali karya dia lahir dari balik penjara. Dia satu-satunya novelis Indonesia yang dicalonkan sebagai penerima penghargaan Nobel Prize dalam bidang sastra. Karyanya begitu berderet dan banyak mendapat penghargaan. Karya dia juga yang paling banyak diterjemahkan dalam bahasa asing diantara penulis Indonesia, lebih dari 40 bahasa dunia. Namanya mendunia dan tetap kontroversi. Tak akan habis saya menceritakan tentang karyanya. Saya hanya akan menceritakan ketersinggunggannya dengannya dan tentunya banyak orang lain dan tokoh besar yang banyak bersinggunggan juga dengannya.

 

Saya mengenal namanya sewaktu istirahat sakit masa mahasiswa tahun kedua-ketiga. Semua terjadi secara tak sengaja. Saya harus istirahat di rumah setelah sakit infeksi saluran kencing. Awalnya yang saya lakukan adalah doing nothing. Mau ngapain istirahat ini? Apakah bengong saja. Majalah dan koran sampai lecek dibacanya. Saya buka buku2 di lemari dan ketemulah buku koleksi kakak saya yang ditaruh di lemari tersebut. Beberapa novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah karya Pramudya Ananta Toer dan penerbit Hasta Mitra. Saya baca dan tak pernah berhenti setelah itu. Saya baca 3 buku novel sampai tamat. Sebuah novel yang mengasyikkan dan membuat diri merasa tergugah. Tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh, kiprah dan perjalanan hidupnya begitu berarti. Perbincangannya begitu menyentuh dan enak dikenang. Beberapa percakapan dan kalimatnya yang bagus saya catat di buku harian. Nama Pram begitu lekat di kepala sampai kuliah saya yang jurusan eksakta tidak seberapa saya minati lagi. Saya mulai gandrung pada beberapa tokoh sosial. Minat sastra dan dunia jurnalistik menggelitik saya. Saya baca juga buku biografinya bapak pers Indonesia Tirto Adi Suryo yang berjudul Sang Pemula karangan Pram. Buku tersebut yang diadaptasi dalam tetralogi novel Bumi Manusia. Lalu saya masuk Majalah Balairung. Bergaul dengan teman-teman pers mahasiswa membuat wawasan bertambah. Bersama teman-teman kuliah menerbitkan Majalah Mahasiswa Teknik Kimia, Entropi. Kegiatan tersebut saya lakukan karena minat saya menjadi berubah. Saya menjadi lebih peduli pada dunis tulis menulis.

 

Novel keempat, Rumah Kaca saya nikmati dalam foto copian dalam format ketikan yang sudah tidak jelas hasil pinjaman seorang teman. Perlu penajaman mata dan konsentrasi untuk membacanya karena formatnya sudah tak jelas. Rasanya tak ada di pasaran buku tersebut. Beberapa kali saya minitikkan air matanya waktu membaca kisah tragis si tokoh Minke, yang mengadopsi dari kisah Sang Pemula. Belum apa-apa saya mempunyai keinginan kalau besok punya anak pertama dan laki-laki akan saya beri nama, Tirto Adi Suryo. Sebuah nama yang indah bagi saya. Semacam kenangan akan semangat perubahan.

 

Nama Pram tetap saja lekat. Bahkan cenderung “mengganggu” pemikiran dalam arti yang positif. Saya menjadi mempunyai keinginan untuk selalu berguna pada lingkungan sesuai bidang yang saya kuasai. Untuk selalu memanfaatkan waktu dimana saja dan menikmatinya. Pram ditempatkan dimana saja bisa menghasilkan karya. Mencoba untuk tidak menyerah pada keadaan. Mencoba membuat karya-karya diantara waktu yang ada. Prinsip saya, waktu diisi dan tidak diisi tetap saja berlalu, mengapa kita tidak mengisinya pada hal yang positif. Beberapa karya lainnya saya cari dan saya baca tuntas. Saat itu belum banyak toko buku yang menjualnya. Saya dapat Nyanyi Sunyi (I & II) dan Arus Balik dari teman saya, seorang wartawan. Saya fotocopi buku Bukan Pasar Malam dan Cerita dari Djakarta di Pusat Dokumentasi HB Yasin, Jakarta. Cerita dari Djakarta pesenan teman saya yang juga pembaca buku setianya yang tinggal di Sangatta. Buku Bukan Pasar Malam masih asli kepunyaan HB Yasin yang masih ada coret-coretan catatatnya. Cerita dari Blora, Yang Terempaskan dan Dari Tepi Kali Bekasi dll dari Toko Koperasi Gelanggang UGM, Yogyakarta. Cerita dari Blora membuat saya membayangkan sebuah keluarga di Blora dan kecintaan seorang ibu –dengan segala keterbatasannya- terhadap masa depan anaknya. Saya membaca Bukan Pasar Malam dengan perasaan terharu dan saya baca berulang-ulang. Bagaimana perasaan anak terhadap bapaknya yang sakit parah padahal sewaktu kecilnya mendapat pendidikan yang sangat keras. Saya membaca Arok Dedes dengan terkagum pada ingatan dan daya fantasinya. Sebuah cerita fiksi yang lebih hebat dari cerita sebenarnya. Saya kawatir, bahwa fiksi ini nantinya malah menjadi cerita sejarah. Saya nikmati karya Pram sebagaimana seorang pembaca buku menikmati makanan rohaninya.

 

Hingga suatu saat sewaktu dinas di Jakarta saya membaca Harian Kompas bahwa ada acara di TIM (Taman Ismail Marzuki) 6 Pebruari 2005 dalam rangka ulang tahun Pram. Saya datangi acara itu dan saya bertemu Pram, tokoh saya yang karyanya sudah banyak saya baca. Yang menjadi moderator ternyata Taufik Rahzen, kakak kelas saya di Yogya dan pernah berdiskusi sewaktu berkunjung ke Bontang. Saya sapa Taufik dan bersalaman sambil bertanya kabar. Saya salami Pram dan saya ucapkan selamat ulang tahun. Saya potret wajahnya dengan kamera HP. Jelas, dia tidak kenal saya. Baginya, saya hanya satu dari banyak penggemar dia. Terlebih di ruangan itu, saya hanya salah satu dari ratusan orang yang menyalami dia. Banyak pengunjung dan saya heran beberapa anak baru gedhe. Kesan saya, Pram sudah tua dan mulai rapuh. Bahkan dia mengaku mulai pikun. Gula darahnya naik sampai 400-an tetapi dia dapat mengatasinya dengan makan bawang. Cucunya belasan dan dia tidak ingat nama-nama cucunya tapi dia masih ingat orang yang membuat tuli telinganya, Kopral Sulaiman. Dia masih bicara lantang tentang harapannya pada kaum muda. Tentang pemberantasan korupsi dan tentang Aceh. Nama Aceh mengawali item ensiklopedi yang tengah disusunnya. Kabarnya bahan bakunya saja sudah beberapa meter tebalnya. Kesan saya yang lain, dia masih “sombong”, tinggi hati bahkan cenderung atheis karena dia mengaku tak percaya doa. Dia melakukan usahanya sendiri tanpa doa.

 

Setiap orang ada sisi baik dan buruknya. Terlepas dari sisi buruknya, saya tetap respek pada dia dalam hal ketekunan menulisnya. Dia dokumentasikan segala hal dalam perjalanan hidupnya. Dia pergunakan fantasi pikirannya untuk menyusun cerita. Dia telah berbuat dan membelanjakan waktunya untuk banyak hal. Hasil karyanya yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 40 bahasa dunia bisa menimbulkan multiflier effek bisnis dan sosial yang besar. Bagaimanapun dia sangat berjasa -dengan segala keterbatasannya. Selamat Ulang tahun Pram!  (Sunaryo Broto) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar