Leo Christy dan Saya
Semua terjadi dengan tiba-tiba. Dan saya juga tak menyangka sebelumnya bahwa saya harus menjemput penyanyi yang pernah saya respeki dulu, Leo Christy di Samarinda.
Memang di sela waktu terkadang saya harus pergi ke Samarinda. Sewaktu akan ke sana, HP saya berdering. Ezrinal, teman saya memberitahu kalau nanti pulangnya minta tolong menjemput penyanyi Leo Christy. Lho, kok bisa? Ada ceritanya. Ezrinal sebagai Kasubro K3LH Pupuk Kaltim yang membawahi lingkungan hidup akan memperingati hari lingkungan di lingkungan PKT. Awalnya master lingkungan tersebut akan mengundang Taufil Rahzen, aktivis mahasiswa dan sahabatnya dulu sewaktu kuliah di Yogya untuk ceramah tentang lingkungan hidup. Dengan anggaran yang sederhana dia bisa mengundang Taufik dengan biaya yang sederhana pula. Tetapi Taufik menyarankan kalau bisa diundang saja Leo Christy yang sedang di Tenggarong untuk menyanyi lagu-lagu bertema lingkungan. Leo Christy? Di Tenggarong? Langsung Ezrinal menghubungi Leo di Tenggarong via HPnya. Leo setuju dan ke Bontang bersama saya dari Samarinda. Sayapun diberi nomor HP Leo untuk komunikasi.
Sewaktu mau pulang ke Bontang Leo saya hubungi dan membuat janjian di Hotel Mesra tempat saya menginap. Sewaktu jam janjian sudah lewat saya hubungi lagi Leo, dan selang beberapa waktu kemudian dia datang tergopoh-gopoh seorang diri dengan membawa gitar. Saya kaget, saya pikir orang sekaliber dia ada yang mengantar.
“Lho kok sendirian?”
“Iya, tadi tanya-tanya hotel sini sampai tersesat…”
“Naik apa?”
“Naik taksi (alias angkot),” jawabnya
“Tahu gitu tadi saya jemput…,” kataku.
Ada rasa senang, bangga dan heran. Bangga karena saya dapat bertemu dan mengobrol dengan penyanyi yang saya respeki dulu. Bahkan nanti satu mobil selama sekitar 2 jam ke Bontang. Heran, karena penyanyi sekaliber dia hanya pergi sendirian tanpa ada orang yang mengantar dan bila pihak hotel atau kelompok seniman tahu dia di Samarinda mestinya bisa diajak naik panggung. Atau paling tidak masuk berita koran local. Ternyata tak ada semua itu. Dia hanya sendirian. Dia sudah beberapa waktu melatih remaja di Tenggarong untuk sebuah pementasan. Ada waktu luang dipakai memenuhi undangan di Bontang.
Sosoknya memang sederhana. Memakai kaos lengan panjang dan sepatu kets hitam. Rambutnya masih gondrong. Gaya bicaranya halus dan sopan. Kami bicara banyak hal. Saya bilang ke anak saya bahwa ini penyanyi terkenal yang dulu sering masuk TV dan koran. Sewaktu sampai di Bontang dan saya antar di Hotel Bintang Sintuk sebagai tempat menginapnya, dia tertegun. “Aku nginep di hotel ini?” “Nikmati saja,” kataku. Lalu dia berkata,”Hotel ini terlalu mewah untuk saya.”
Di Bontang kami merencanakan tentang pentas musiknya. Dia mengajak 2 penyanyi wanita di Bontang untuk backing vokalnya. Dia latih keduanya baik untuk vocal dan musik pengiringnya. Leo memegang gitar sedang dua penyanyi wanita meniup recorder dan suling. Beberapa hari latihan di rumah saya. Untuk mengingat-ingat melodi dan syair kami putar kaset-kaset koleksi lama. Temen-temen yang dulu ngefans pada datang untuk sekedar berbincang. Leo juga kami ajak jalan-jalan menikmati Bontang, melihat pabrik dan tentunya wawancara untuk PKTV (Publik Khatulistiwa TV), sebuah stasiun TV lokal. Kami rekam seadanya dan foto seadanya.
Pentas musik sudah berlangsung di pinggir danau waktu malam. Yang menonton tak seberapa banyak karena penggemarnya juga terbatas. Generasi sekarang asing dengan lagu-lagunya. Malah ada yang nyeletuk minta lagu ndangdut. Dan masih dengan ciri khasnya. Setting panggung yang sederhana dan ada drum untuk menaruh kaki kanannya sewaktu menyangga gitar. Lagu-lagu itu masih juga akrab di telingaku.
Nyanyian Malam mengalun malam itu. Senandung sepi di tengah malam. Burung-burung hantu. Musik gitar dan tiup mengiringi. Vokal Leo tetap melengking dengan semangatnya. Burung hantu kakakakuku burung hantu. Senandung sedih di gelap malam. Lala Lala lala… Larilah, larilah lari. Lalu musik tiup dan gitar menutup lagu dengan lembut.
Lagu sedih dan lembutpun mengalir. Syairnya kita sudah hafal. Betapa sepi seorang nenek sendiri di tepi lalu coba menyapa. Lewatlah hari kota lama ini mereka tak beraga kaca-kaca miskin jiwa. Suara dentingan piano dan petikan gitar. Tepi-tepimu Surabaya, Di mana kita mulai semua ini, gema nyanyian pahlawan, kini jadi nyanyian wayang. Tepi-tepimu oh Surabaya, gelap turun bagi jalan perempuan tua. Nenek, bukalah pintu yang kuketuk. Tapi tidak dengan airmatamu. Hidup selalu berubah. Lewat pasang surut Kali Mas. Sinar lentera dalam gaun tipis belum juga mati menjelang pagi. Sinar lentera berkedip-kedip tidak juga mati menjelang pagi.
Dengar lagunya yang riang, Musim Tanam. Kala bertemu esok hari, sampaikan salam rinduku…pada dia. Bunga-bunga tebu telah kembang. Roda giling berputar-putar siang malam. Siang malam. Tapi bukan kami punya. Tapi bukan kami punya. Lagu Roda Pedati tak beda jauh. Kami menikmati lagu-lagu lamanya. Tak terasa waktu merambat.
Lagu Jerami mengalun dengan suara Leo diiring suara wanita. Suara suling menyambut petikan gitar. Tumbuh jerami tepi jalan. jadi istana malam ini. Dicari istana, ku dan dia. Sepanjang malam, purnama. Petikan kecapi dan tembang suling. Sayup seiring mengalir Di sini siang hari berdagang lagi.. Dengan ani-ani dan nyanyi. Suara suling mengalir. Lalalalalala… Ani-ani, nyanyi-nyanyi. Mata tertutup rambutmu kusut. Sepanjang malam, jerami. Lalalala…
Lewat Kiara Condong pun mengalun. Lewat Kiara Condong kereta laju. Panorama di
Saya merasakan lagu itu sudah lama berlalu. Saya hanya memutar tune di seputar otak untuk menikmatinya. Tapi bagaimana untuk generasi kini yang tak banyak mengenalnya. Sehingga Leo sekarang masih saja berjalan sendirian. Lagunya tak banyak dinikmati generasi kini. Juga kasetnya makin sulit didapat karena tak ada produsen rekaman yang tertarik untuk merekam lagunya. Juga dalam format MP3, saya belum pernah menemui. Mungkin kawatir tak ada yang mengenali. Sepi tanpa publikasi.
Tapi rasanya dia tak peduli. Dia masih saja suka berpetualang kemana saja. Kadang pentas di TIM atau kadang ikut perjalanan ke Yunani. Dia masih juga menyenanginya sesuai hobinya dulu, suka kemana-mana. Ke sudut-sudut
Bontang, Juni 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar