Ada cerita dari Prancis. Orang Prancis menggunakan teka-teki untuk mengajarkan pada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam teratai –begitu teka-teki itu- berisi selembar daun. Tiap hari daun itu berlipat dua, dua lembar daun pada hari kedua, empat lembar daun pada hari ketiga, delapan lembar daun pada hari keempat, demikian seterusnya. “Kalau kolam itu penuh pada hari ketiga puluh”, begitu ditanyakan, kapankah kolam itu berisi separohnya?” Jawabannya : “Pada hari kedua puluh sembilan”. Hari itulah yang dimaksud Lester R Brown dalam bukunya Hari Kedua Puluh Sembilan, Erlangga-Jakarta, 1982 (Judul Asli : The Twenty Ninty Day, New York-1978). Itulah cara Brown menyatakan keprihatinannya pada lingkungan hidup. Brown mengkawatirkan nasib kolam teratai sejagad alias bumi ini seperti nasib kolam teratai yang nyaris rusak dan waktu yang tersedia tinggal sedikit. Nasib “kolam teratai” itu kini mungkin sudah penuh seluruhnya sementara waktu penyelamatan tinggal sehari.
Keprihatinan terhadap lingkungan hidup telah tumbuh sejak lama. Entah pada masa apa mulai tumbuh kesadaran terhadap lingkungan. Tahun 1869, seorang biologiwan dari Jerman, Ernst Haeckel memakai kata ecology untuk ilmu mengenai keseluruhan hubungan berbagai organisme dengan lingkungan. Tahun 1962, ekologiwan Amerika Rachel Carson menulis buku yang berjudul Silent Spring. Buku tersebut menggambarkan terjadinya kerusakan lingkungan akibat adanya penggunakan pestisida yang berlebihan sehingga pada suatu pagi di musim bunga tidak terdengar satu nyanyian burungpun. Mereka pada mati karena menghirup pestisida yang menempel pada putik bunga, buah dan daun dan tidak bisa bernyanyi lagi.
Bukan itu saja. Telah banyak pelbagai pihak menyuarakan kepedulian lingkungan. Sejak Konperensi Rio de Janeiro tahun 1992 yang begitu fenomenal dengan paradigma baru pembangunan yang berwawasan lingkungan sampai Earth Summit Sidang khusus Majelis Umum PBB di New York Tahun 1997 yang merekomendasikan agar para pemimpin dunia melahirkan langkah-langkah konkret menyelamatkan lingkungan. Permunculan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tingkat dunia yang bergiat pada upaya penyelamatan lingkungan juga merebak. Apa yang telah dilakukan LSM internasional, Green Peace yang begitu giat menyuarakan dan menindaklanjuti isyu-isyu lingkungan dapat dikemukakan bahwa kepedulian lingkungan telah disuarakan.
Untuk LSM Indonesia bisa dijadikan contoh adalah Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dengan sikap kritisnya terhadap isyu lingkungan tanah air. Pemerintah sejak lama telah membentuk Menteri Negara Lingkungan Hidup dan lembaga Bapedal (Badan Pengendali Dampak Lingkungan) sebagai penjaga lingkungan. Pemerintah bersama DPR juga telah menyempurnakan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Para senimanpun tak mau kalah. Banyak lagu bertema lingkungan bermunculan. Almarhum Soejarwoto atau yang lebih dikenal dengan nama Gombloh telah menulis lagu Berita Cuaca pada akhir tahun 1970-an. Iwan Fals menyanyikan lagu Tak Biru Lagi Lautku sekitar tahun 1980-an. Delly Rolies merintih dengan lagu Kemaraunya yang menyorot kemarau panjang tahun 1980-an. Belakangan Ully Sigar Rosyadi dengan lagu-lagu baladanya yang banyak berthema lingkungan. Masih kurang apa lagi ? Sekian konsep dan paper-paper dari para pakar dan sekian program dari para aktivis lingkungan. Sekian peraturan dari pemerintah dan sekian angkatan pelatihan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) telah diluluskan.
Apa persoalan lingkungan telah selesai ? Apa keprihatinan para ilmuwan terhadap lingkungan terobati ? Apa keprihatinan para aktivis lingkungan dan para seniman terjawab ? Apa keinginan para pakar lingkungan dan pemerintah sudah terjawab ? Apa tak ada lagi kegiatan yang mengancam lingkungan ? Rasanya jawabnya tetap, tidak. Persoalan lingkungan hidup tak akan pernah selesai selama manusia masih memerlukan makanan. Meminjam perkataan keras Garret Hardin (Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Suparto Wijoyo, 1999) : “Hanya ada sebuah pencemar yang berbahaya…Manusia”
Memang, semua berawal dari manusia. Hubungan antara manusia, lingkungan dan SDA (Sumber Daya Alam) bisa digambarkan pada sebuah segitiga dengan tiga sudut masing-masing mewakili Manusia/Kependudukan, Lingkungan dan SDA maka bila salah satu titik sudut bergerak akan mempengaruhi kedua sudut lainnya. Bila pada titik Kependudukan bergerak yang berarti kebutuhan manusia tetap harus dipenuhi maka akan mempengaruhi sudut pada titik SDA dan Lingkungan. Dengan begitu apakah kita tidak akan menggerakkan salah titik sudut supaya lingkungan lestari ? Jawabnya tetap saja, tidak. Ketiga titik sudut boleh bergerak leluasa hanya dengan syarat adanya harmonisasi pada segitiga tersebut.
Kata kuncinya : Harmonisasi. Sebuah kata sederhana yang mudah diucapkan tetapi sulit melaksanakan. Kebutuhan manusia tetap saja harus dipenuhi dengan memanfaatkan sumber daya alam dengan tanpa merusak lingkungan.
Era Milenium, Era Global dan Industrialisasi
Era milenium adalah era pergantian abad dari abad ke XX menuju ke abad XXI. Sebenarnya bukan masalah pada pergantian abad yang menjadi penting tetapi karena era sekarang adalah era yang dimaknai dengan lajunya pelbagai disiplin ilmu dengan pelaku utama : manusia. Manusia begitu pintarnya menciptakan berbagai terobosan teknologi untuk mencukupi dahaga kebutuhannya.
Terobosan-terobosan teknologi terutama pada teknologi informasi dilakukan sehingga sepertinya dunia menjadi tak berjarak.
Jarak antar propinsi, bahkan antar negara menjadi begitu kecil dengan ditemukannya teknologi internet. Antara satu tempat dengan tempat lainnya sepertinya dihubungkan dengan suatu simpul yang saling berhubungan. Satu titik dengan titik lainnya pada bola bumi menjadi satu rangkaian jaringan sehingga seolah-olah ada benang-benang yang saling merajut antar titik di bumi ini. Di satu tempat, di Bontang misalnya diketik satu alamat situs di Amerika pada komputer, begitu di klik maka dalam hitungan detik saat itu juga terhampar informasi tanpa batas dari sebuah situs di Amerika. Mengirimkan informasi juga begitu mudah dan cepatnya dari satu tempat ke tempat lain yang jaraknya jauh bila sudah terjalin jalur komunikasi. Inilah yang disebut dengan era globalisasi.
Penemuan banyak teknologi silih berganti untuk satu muara : Mencukupi kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia begitu banyak dan begitu cepat maka harus diciptakan suatu sistem yang dapat memproduksi suatu barang dengan cepat dan efisien. Sistem ini yang disebut sekarang dengan sistem industrialisasi. Semua barang kebutuhan manusia dibuat dengan produksi massal dan pertimbangan skala ekonomi.
Industrialisasi memperlukan banyak SDA. Dengan adanya produksi massal maka penggunaan SDA juga berlangsung dengan kecepatan tinggi. Bila SDA tersebut dapat diperbarui (renewable) mungkin tidak seberapa menjadi masalah tetapi bila SDAnya sifatnya tidak dapat diperbarui (non renewable) seperti minyak, gas, batubara maka SDA tersebut akan semakin berkurang. Hal tersebut semua merupakan ancaman pada lingkungan hidup
Persoalan Lingkungan Hidup
Banyak sekali persoalan lingkungan hidup yang mengemuka baik untuk dunia maupun Indonesia. Beberapa persoalan lingkungan hidup dunia yang sempat menjadi kasus lingkungan adalah kasus Trail Smelter tentang pencemaran udara di Kanada tahun 1925, kasus Torrey Canyon tentang bocornya kapal tangker Torrey Canyon di pantai Inggris tahun 1967, kasus Showa Maru yaitu kandasnya kapal tangker di Selat Malaka dan Singapura tahun 1975, kasus Cosmos 954 tentang jatuhnya satelit nuklir milik Uni Sovyet tahun 1978, kasus Patmost tentang pencemaran minyak di laut tahun 1985 dll. Kasus pencemaran lingkungan yang terkenal adalah peristiwa pencemaran di Teluk Minamata, Jepang,
Di Indonesia sendiri terlalu banyak persoalan lingkungan yang tak tertangani. Dari tujuh kasus lingkungan (pencemaran-perusakan) yang utama di Indonesia kasus pencemaran sungai dan pencemaran udara menduduki ranking 1 dan 2. Pencemaran lain berturut-turut pencemaran air tanah, perusakan bentang alam, pencemaran air laut, pencemaran tanah dan kebisingan. Sedang 5 sektor industri pencemar dan perusak lingkungan berturut-turut adalah Usaha Galian Golongan C, Industri Bahan Kimia, Industri Pulp dan Kertas, Industri Tepung Tapioka dan Industri Tekstil. Tahun 1996 tercatat 205 kasus lingkungan. Tahun 1997 diketemukan 249 kasus lingkungan yang penyebarannya paling banyak di Jawa dan Sumatera belum termasuk kasus pembakaran hutan di daerah Sumatera dan Kalimantan (Penyelesaian Kasus Lingkungan, Suparto Wijoyo, 1999)
Akibat dari persoalan lingkungan hidup tersebut telah sampai pada akibat sosial yang melanda masyarakat. Sebagai contoh masyarakat Porsea, Sumut telah memprotes kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh PT Inti Indorayon Utama. Bukan pihak industri saja yang telah melakukan pencemaran lingkungan, masyarakatpun bila belum adanya kesadaran akan arti lingkungan hidup dapat saja merusak lingkungan hidup dengan alasan ekonomi. Era reformasi yang saat ini bergulir tetap saja melahirkan 2 sisi. Pada sisi negatifnya adalah kesadaran baru masyarakat yang menyesatkan sehingga seolah-olah hutan yang nota bene milik negara menjadi tempat jarahan. Hal ini terjadi di hampir semua daerah konservasi dan hutan lindung. Sebagai contoh seperti ditulis Harian Kompas, 13 Oktober 2000, betapa ganasnya perambahan hutan di TNK (Taman Nasional Kutai). Digambarkan, kondisinya benar-benar menghadapi kehancuran yang sebenarnya. Kepala TNK, Tonny Suhartono menggambarkan bagaimana ganasnya perambahan, pembabatan, pengaplingan lahan TNK terutama 65 km sepanjang jalan Bontang-Sangatta, berdasarkan citra satelit terakhir kerusakaannya sudah mencapai 26.000 hektar. Dan hampir seluruhnya dikuasai masyarakat. Menurut catatan Kompas, pada awal tahun 2000 kerusakannya mencapai 13.862 hektar dan enam bulan kemudian sudah 16.000 hektar.
Melihat begitu banyak persoalan lingkungan di Indonesia menjadikan terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Pada intinya akar persoalannya ada dua hal yang bisa digarisbawahi yaitu kebutuhan manusia dan eksploitasi SDA. Kebutuhan manusia bagaimanapun juga harus dipenuhi hanya masalahnya kebutuhan itu berlebihan atau tidak. Memang relatif karena tolok ukur berlebihan itu belum ada.
SDA selama itu memungkinkan dieksplorasi sebegitu rupa sehingga terkesan tak memperhatikan kebutuhan anak cucu besok. Persoalan ini pernah menjadi perdebatan ramai sewaktu kontroversi tambang tembaga PT FI (Freeport Indonesia) di Irian muncul di media massa. Perdebatan ramainya apakah PT FI diberi konsensi pertambangan terus dengan konsekwensi kita dapat devisa tetapi sumber tembaga menipis atau kita tak dapat devisa sekarang tetapi sumber tersebut dapat untuk cadangan besok. Masalahnya kita masih memerlukan banyak devisa untuk mencukupi biaya pembangunan. Hal yang sama juga dapat ditanyakan pada gas bumi, apakah gas bumi akan dieksplorasi sedemikian banyak dengan konsekwensi kita dapat devisa besar dan menyelamatkan perekonomian negara (Seperti diungkap Staf Ahli Menteri Negara Energi Sumber Daya Mineral, Iin Arifin Takhyan di Harian Republika, 25 September 2000 bahwa ekspor LNG sebagai penyelamat pemasukan negara yang bersama minyak mentah menyumbang negara Rp 75 triliun) tetapi sumbernya akan makin berkurang atau kita batasi saja secukupnya dengan membangun industri hilirnya seperti industri pupuk, melamin atau methanol yang mempunyai nilai tambah (added value) lebih besar. Sayang sekali bila gas bumi hanya dijual sebagai LNG (Liquid Natural Gas). Kita sepertinya hanya menjual bahan baku saja seperti kayu glondongan sedangkan bila diproses lebih lanjut akan menghasilkan nilai dan devisa yang berlipat. (Sebagai perbandingan tingkat konsumsi gas bumi tahun 2000, hasil study Litbang PT Pupuk Kaltim, konsumsi gas bumi PT LNG Badak dengan 8 train sekitar 1.118.304 MMSCFY sedangkan konsumsi PT Pupuk Kaltim dengan 4 pabrik urea dan 3 pabrik amoniak sebesar sekitar 130.789 MMSCFY).
Persoalan SDA juga bisa dikatakan relatif tergantung prioritas pembangunan tetapi bagi penulis eksploitasi SDA menjadi persoalan karena bila SDA dieksplorasi besar-besaran, cadangannya akan semakin menipis dan ini dapat menjadi persoalan serius lingkungan hidup di masa yang akan datang
Tindakan Nyata
Akhir-akhir ini dalam perdagangan internasional terjadi perubahan selera konsumen yang menuntut pengembangan green product, green process dan green technology. Bahkan perusahaan-perusahaan di Amerika Utara, Eropa dan Jepang serta negara-negara industri baru telah menerapkan perlindungan lingkungan secara ketat. Kondisi ini menuntut adanya manajemen lingkungan yang lebih proaktif. Munculnya tuntutan ini bukan saja berasal dari stake holder, namun juga adanya faktor lain seperti regulatory demand, cost factors dan competitive requirement. Strategi manajemen lingkungan yang proaktif pada dasarnya merupakan prinsip manajemen terutama pengurangan segala sesuatu yang tidak berguna (waste), efisiensi biaya produksi serta respon terhadap permintaan konsumen dan share holder. Perusahaan-perusahaan yang ingin mengacu pada revolusi industri baru diharapkan mampu mengembangkan sistem manajemen lingkungan yang proaktif dengan menetapkan tujuan dan pengukuran kinerja yang mengutamakan perbaikan lingkungan secara kontinyu. Unsur utamanya adalah pollution prevention, product stewardship dan environmental stewardship. Pollution prevention biasanya dilakukan tahapan pengawasan polusi. Product stewardship sebagai aktivitas yang mengurangi resiko lingkungan yang ditimbulkan oleh process design, manufakturing, distribusi dan pemakaian product. Environmental stewardship fokusnya perhatian terhadap lingkungan menjadi sumber kekuatan dalam lingkungan bisnis (Budhi Cahyono, Usahawan, September 2000). Keberhasilan sistem manajemen tersebut tak terlepas dari keberadaan teknologi. Hal ini hanya salah satu solusi untuk mengatasi persoalan lingkungan melalui penerapan sistem manajemen.
Terlalu luas sebenarnya persoalan yang harus dibenahi. Terlalu kompleks untuk dituliskan hanya pada paper ini. Untuk sederhananya dapat saja dikatakan bahwa untuk kelestarian lingkungan hidup khususnya di Indonesia adalah dilaksanakan saja semua aturan normatif yang telah ada antara lain UULH (UU No : 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah sebagai penjaga regulasi melakukan fungsi mengatur, mengembangkan, menetapkan kebijakan nasional dan lain-lain seperti dicantumkan pada Bab IV (Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup) Pasal 8-13 UULH. Peran serta masyarakat juga diberi kesempatan untuk melakukan kontrol dan berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 7 UULH). Industri yang mewakili setiap usaha/kegiatan juga harus menjaga keseimbangannya dengan lingkungan dengan mematuhi UULH khususnya Bab V dan Bab VI.
Memang hal tersebut sepertinya hanya menyederhanakan persoalan bahwa bila semua mengikuti aturan yang ada akan lancar tetapi realitas mengatakan begitu parahnya persoalan lingkungan hidup di Indonesia bahkan juga di dunia. Persoalannya begitu komplek dan telah berjalan lama. Seperti sebuah lingkaran setan yang saling kait mengkait.
Mana yang harus dibenahi terlebih dahulu ? Seorang staf pengajar Lembaga Manajemen PPM-Jakarta, Ir. Endah M Hamdani MM dalam suatu kesempatan mengajar Minaut Indonesia mengatakan bahwa untuk menyelesaikan persoalan seperti lingkaran setan adalah dengan memutus salah satu bagiannya dan menyelesaikan berdasar kemampuan dan wewenangnya.
Apa yang dapat dilakukan ? Untuk mengatasi tanggung jawab pemerintah dan industri jelas di luar wewenang penulis selaku pribadi. Sebagai bahan masukan ke industri tempat penulis bekerja bisa saja dilakukan. Misalnya dengan melakukan sertifikasi ISO 14.000 atau bila akan melakukan penambahan usaha industri harus mematuhi PP (Peraturan Pemerintah) No : 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenahi Dampak Lingkungan Hidup. Kebetulan hal tersebut juga telah dilakukan industri tempat penulis bekerja dan sepertinya hal yang normatif dan bukan tindakan nyata tanggung jawab penulis. Yang dapat dilakukan penulis adalah tindakan pada taraf pribadi. Hal ini memungkinkan karena diatur dalam UULH Pasal 5 dan Pasal 6 pada Bab III tentang hak, kewajiban dan peran masyarakat . Pasal 5 mengatakan :
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedang Pasal 6 adalah :
1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Memang solusi ini bersifat sangat jangka panjang dan kurang cepat pengaruhnya tetapi merupakan hal yang paling mungkin yang dapat dilakukan selaku pribadi. Sebagai pribadi, penulis menerapkan semacam program hijau pada pribadi/keluarga antara lain :
1. Melindungi dan membina lingkungan hidup dalam batas dan kewenangannya
2. Melakukan perbaikan lingkungan hidup dalam batas dan wewenangnya.
3. Menghindari pemborosan segala sesuatu
4. Menciptakan kultur pribadi/keluarga dan menyiapkan generasi mendatang yang mencintai lingkungan.
Itulah tindakan nyata yang dapat penulis lakukan untuk kelestarian dan harmoninya lingkungan hidup. Program ini bisa diperpanjang tergantung program pribadi seseorang dan yang utama adalah komitmen untuk menjaga lingkungan supaya lestari. Diharapkan dari kumpulan pribadi yang peduli lingkungan akan lahir masyarakat yang peduli lingkungan juga.
Penutup
Sebagai penutup penulis ingin mengutip pendapat dari seorang Guru Besar Biologi Universitas Padjajaran yang sangat peduli pada lingkungan hidup, Prof. Dr. Otto Soemarwoto. Beliau mengatakan hanya pada lingkungan yang bersih manusia dapat berkembang secara optimal dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan dapat berkembang secara optimal.
Bila kita melakukan hal-hal yang dapat dilakukan dengan menjadikan manusia yang baik pada lingkungan akan dapat menciptakan lingkungan yang bersih. Dengan lingkungan yang bersih semoga manusia –anak cucu kita besok- dapat berkembang secara optimal. Akhirnya persoalan lingkungan memang tidak mudah untuk dibenahi begitu saja. Memerlukan kajian yang sangat panjang dari para pakarnya tetapi sebagai pribadi yang dapat dilakukan adalah menjadi manusia yang baik pada lingkungan. (Sunaryo Broto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar