Kamis, 20 Desember 2007

Catatan haji Sebuah Hati

 

Catatan Haji Sebuah Hati
Penulis : Sunaryo Broto
Penyunting Naskah : Waliyunu Heriman
Penerbit : Etam Media Pers
Cetakan kedua, Pebruari 2007

 

Kata Pengantar : Catatan Haji Sebuah Hati

Oleh Dr. Miftah Faridl

 

Ibadah Haji merupakan ibadah yang istimewa. Istimewa karena waktu pelaksaannya ditentukan secara ketat dan tempat pelaksanaannya pun ditentukan secara ketat pula. Konsekuensinya dari penentuan tempat pelaksanaan haji secara ketat ini adalah pembatasan jumlah jamaah haji dan menumpuknya jamaah haji pada musim haji tersebut di tanah suci Makkah dan Madinah.

 

Suasana penumpukan jamaah dengan latar belakang budaya yang bermacam-macam sering mengakibatkan situasi yang mengharuskan jamaah untuk ekstra sabar, ekstra toleransi, dan ekstra pemaaf.

 

Suasana hiruk pikuknya manusia di sekitar pelaksanaan ibadah haji tersebut, sering-sering melahirkan pengalaman-pengalaman yang aneh, ganjil, dan sarat dengan hikmah. Dan, kalau seseorang mampu menyikapinya dengan penuh kearifan serta kepasrahan, hal tersebut sering-sering membuahkan pengalaman yang mengesankan, sehingga orang menjadi ketagihan ingin kembali menunaikan ibadah haji. Pengalaman ibadah haji memang sarat dengan pengalaman spiritual yang mengesankan.

 

Setiap orang yang baru kembali dari Tanah Suci selalu mempunyai cerita tentang pengalaman pribadi yang diingatnya. Pengalaman pribadi tersebut dapat bermanfaat bagi merka yang akan menunaikan ibadah jai sebagai tambahan informasi dan sekaligus sebagai bekal spiritual yang mungkin tidak tersentuh secara langsung dalam kajian Fiqih Haji.

 

Saudara Ir. H. Sunaryo Broto mengungkapkan pengalaman pribadi ibadah hajinya dalam Catatan Haji Sebuah Hati. Buku ini baik dan Insya Allah bermanfaat untuk dibaca oleh mereka yang akan menunaikan ibadah haji, bahkan juga bagi mereka yang pernah menunaikannya.

 

Penulis buku ini mengajak para pembaca untuk berada dalam suasana kehidupan jamaah haji selama di Tanah Suci, baik selama dalam prosesi pelaksanaan ibadah tersebut tanggal 8 s.d. 13 Dzulhijjah maupun suasana di Tanah Suci sebelum dan sesudah pelaksanaan haji.

 

Ibadah haji memang mengesankan,  nikmat beribadah, do’a dikabulkan, sadar akan kekurangan dan kelemahan diri, serta ada tekad untuk menjadi hamba-Nya yang menyintai-Nya dan dicintai-Nya.

 

 

Bandung, 12 September 2006

 

 

BAB I

Pendahuluan

 

Perjalanan Haji, Sebuah Pengalaman Pribadi

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima dan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Sudah banyak kaum muslim yang menunaikannya. Juga di Indonesia dengan beragam maksud dan tujuan. Menurut riwayatnya di Indonesia, kadang ada juga nuansa politisnya. Pada zaman dulu, sebagai perlawanan terhadap kolonial Belanda dipimpin oleh mereka yang baru pulang dari ibadah haji. Dukungan dari Syarif Besar yang menguasai Haramain (Mekkah dan Madinah) dianggap mempunyai semacam legitimasi bagi beberapa kerajaan Islam di Nusantara. Pada saat ini juga banyak nuansa-nuansa tujuan lain dari orang naik haji. Tapi kita tak boleh berpikiran negatif, anggap saja semua karena ibadah.

 

Berapa ratus juta kaum muslim di dunia yang sudah melakukan ibadah haji? Susah untuk menjawabnya, yang jelas pada tahun belakangan ini, sekitar 2 juta umat memadati Baitullah untuk melakukan seruan Nabi Ibrahim A.S. Berapa kaum muslimin Indonesia yang telah menunaikan haji? Tak ada catatan pasti. Dari catatan sejarah, muslim pertama yang naik haji dari kalangan kerajaan di nusantara adalah Abdulkahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten (tahun 1674). Pada tahun 1859, mereka sudah mencapai 2.000 orang. Mereka naik dengan kapal laut. Setelah dibuka Terusan Suez pada tahun 1869, jumlahnya kian meningkat. Bahkan tahun 1927 sampai mencapai angka 52.412 jamaah. Jumlah ini setengah dari jumlah haji seluruh dunia, yang berjumlah 123.052 jamaah. Tahun berikutnya jumlah jamaah haji Indonesia menurun menjadi 43.082 jiwa. Tapi jamaah haji dunia juga menurun menjadi 98.635 jamaah. Dari tahun-tahun itu, bisa dirunut juga dengan statistik berapa jumlah jamaah haji Indonesia. Tak terlalu penting juga tentang kepastian jumlahnya. Yang jelas, kalau sekian ratus juta umat menunaikan ibadah haji, akan ada sekian ratus juta pula kesan yang ditimbulkan olehnya. Masing-masing mempunyai kesan tersendiri sesuai dengan kondisi dan tingkat pemahaman masing-masing. Mungkin juga sudah sekian ratus kesan tersebut dituliskan, tetapi seperti tak ada habisnya, karena setiap kesan tersebut unik. Hal seperti ini bukan sesuatu yang baru. Banyak orang sudah melakukan. Justru karena sebuah pengalaman pribadi, maka pengalaman tersebut bisa menjadi unik dan berbeda-beda. Dan tidak menjadi basi kalau ada orang lain lagi menuliskannya. Tiap masa haji mempunyai romantismenya sendiri-sendiri.

 

Tak beda jauh dengan yang lain, saya juga mempunyai kesan tentang ibadah haji yang baru pertama saya lakukan itu. Saya, orang biasa saja yang menikmati kebiasaan itu. Saya hanya orang biasa yang mempunyai hobi membaca dan akhirnya mempunyai kesenangan menulis. Mungkin karena kebiasaan. Mungkin juga karena keadaan.

 

Kebetulan ada kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba saja harus melakukan ibadah haji. Bukan tiba-tiba, tetapi lebih cepat dari yang direncanakan. Semua ada hikmahnya. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk menulis catatan-catatan pribadi saya-sebagai orang biasa yang menunaikan ibadah haji. Siapa tahu anak saya besok bisa membacanya sehingga bisa membandingkan ibadah hajinya. Atau kalau belum mempunyai keinginan, bisa menjadi ingin untuk melakukan ibadah haji. Mungkin juga cucu saya atau saudara saya atau teman-teman saya. Yang ada hanya niat.

 

Tentunya catatan-catatan ini sifatnya pribadi dan dari sudut pandang penulis yang sangat relatif. Mungkin ada satu dua sumber yang saya kutip untuk pengingat atau penambah pengetahuan. Pertama, untuk pengingat saya sendiri. Perjalanan haji adalah perjalanan spiritual. Saya ingin menikmatinya sebagaimana perjalanan spiritual. Seperti kaum sufi yang menikmati zikir. Seperti Rumi yang menikmati puisi dan tariannya. Seperti Danarto yang menikmati proses menulis dan bermain katanya. Seperti Pramudya yang begitu asyik menorehkan catatan-catatan pengalamannya. Karena saya suka traveling dan sudah saatnya suka spiritual, maka supaya saya dapat menikmati lebih lama dan berulang, salah satu caranya adalah dengan menuliskannya. Karena saya manusia dan suka lupa.

 

Dengan menjadikan sebuah buku, saya juga dapat membacanya lagi dan mengenangkan pengalaman spiritual saya. Kata novelis Romo Mangun dalam Burung-Burung Manyar, kenangan indah dapat menjadi kekuatan yang tiada tara. Saya belum tahu, bagaimana kalau kenangan spiritual indah, apakah menjadi lebih kuat? Tapi, bukan seperti itu model penikmatan saya. Saya hanya ingin menikmatinya. Seperti orang melahap makanan enak yang sesuai selera dan ingin menceritakan lagi keenakannya. Siapa tahu, ada orang lain juga ingin mendengar kenikmatan tersebut. Kegembiraan kalau dibagi akan bertambah besar.  

 

Tentu saja bukan karena ingin menulis, saya jadi berangkat haji. Saya berangkat haji karena memang panggilan ibadah dan tugas spiritual. Saya ingin menuliskannya sebagai bentuk menikmati rasa syukur dan nikmat.

 

 

BAB IV

Mekkah, Pelaksanaan Haji dan Umrah

 

Pertama di Tanah Arab

Kami sampai di Bandara King Abdul Azis, Jeddah, sekitar pukul 07.15 pagi waktu setempat. Cuaca agak dingin menunjukkan suhu 27 derajat Celcius. Badan pegal-pegal juga setelah duduk sekitar 10 jam di pesawat. Enak, bila ada yang bisa tidur sepanjang perjalanan. Saya sendiri hanya beberapa jam tidur. Selebihnya pikiran mengembara kesana kemari. Memikirkan hal yang akan terjadi dan membayangkan apa yang akan dilakukan. Maklum, ini perjalanan saya pertama. Pesawat sempat transit sebentar di Bandara Hang Ngadiem, Batam. Katanya untuk mengisi bahan bakar.

 

Penerbangannya termasuk enak. Pesawatnya sangat tenang. Katanya ini pesawat carteran dari Inggris. Termasuk pilotnya juga, tetapi pramugarinya dari Indonesia. Berbeda dengan penerbangan komersial biasa, pramugari memakai pakaian muslimah. Pengumuman di pesawat diawali dan diakhiri dengan salam. Dalam pesawat diputarkan film-film tentang ibadah haji. Kita shalat berjamaah di pesawat yang wudhunya dengan tayamum. Kita berdoa bersama semoga menjadi haji yang mabrur. Crew pesawat juga mengucapkan hal itu sebelum saya turun. 

 

Saya tengak-tengok saja di sekeliling. Mana tanah Arab itu, mana padang pasir? Ada beberapa pesawat, yang saya perhatikan ada pesawat dari Lybia Air Line. Pesawat Libia sudah boleh terbang ke luar negeri?

 

Model bangunan bandara menggunakan desain arsitektur seperti sebuah tenda besar berjejer. Katanya, bandara khusus haji ini dipakai hanya pada musim haji saja. Meskipun dari luar kelihatannya megah dan mewah, ternyata di dalamnya sangat biasa. Bahkan berkesan kuno. Toilet dan meja kursinya kusam. Saya antre berbaris. Jamaah pria dan wanita dipisahkan. Saya lalu memasuki tahap pemeriksaan dokumen, baik barang maupun surat-surat, seperti paspor. Alhamdulillah pemeriksaan berjalan lancar. Petugasnya, pria-pria Arab ada yang berseragam atau memakai baju khas Arab.

 

Keluar dari ruang pemeriksaan barang, rombongan menuju ke sebuah ruang besar dengan dibagi pada blok-blok yang ditandai dengan bendera negara dan karpet-karpet yang digelar. Masing-masing negara ada tempatnya sendiri-sendiri. Orang ramai lalu-lalang dari berbagai negara. Juga petugas dengan mobil forklift yang mengangkut barang. Setelah mendapat boks makan pagi, rombongan menunggu pada tempat beralas karpet Kloter 34 mengumpul menjadi satu. Sambil menunggu persiapan perjalanan darat dari Jeddah ke Mekkah, saya mempersiapkan diri untuk umrah karena saya memakai Jeddah sebagai miqot. Ada juga yang menggunakan Yalamlam sebagai miqot sudah memakai pakaian ihram sekitar satu jam sebelum pesawat mendarat. Kami mandi ihram dan shalat sunat ihram dengan menggunakan pakaian ihram. Sekitar pukul 13.00, urusan bus, tiket dan paspor sudah selesai, kami mempersiapkan berangkat ke Mekkah sesuai dengan bus masing-masing. Sebelum naik bus saya berniat ihram dan sejak itu berlakulah aturan-aturan ihram. Kami dibimbing oleh dua orang pembimbing dari PT Katts, Abdillah Bukran Amir (38 tahun) dan Asfiani Nurhasani (28 tahun). Abdillah menempuh pendidikannya di Mekkah, Mesir, kemudian Pakistan dan sudah haji 25 kali, sedangkan Asfiani menempuh pendidikan di Mekkah dan kuliah di Medinah, dan sudah 18 kali naik haji.

 

Sambil terkantuk-kantuk kecapaian saya menikmati perjalanan Jeddah-Mekkah yang ditempuh sekitar dua jam perjalanan darat. Dalam rombongan, banyak yang tertidur. Kami mendapat ransum makan siang dalam bungkusan aluminium foil: nasi, sayur kacang panjang dan lauk daging.

 

Inikah Negeri Arab? Negeri tempat turunnya para Nabi? Kiri-kanan jalan hanya sepi. Jarang ada pemukiman seperti di tanah air. Kata Asfiani, orang Arab tidak suka menempati rumah berdekatan dalam kompleks seperti di Indonesia. Mereka suka membangun rumah sendiri-sendiri, terpisah jauh. Keluar kota Jeddah, yang ada hanya bukit-bukit berbatu. Benar-benar batu dan besar-besar. Ada beberapa bangunan menghiasi bukit-bukit batu, tetapi tetap saja berkesan gersang. Jarang sekali ada pepohonan. Juga rumput-rumputan. Beginikah tanah Arab? Sepertinya tak ada yang bisa diharapkan di sini. Kabarnya, dulu kedua negara adi kuasa waktu itu Persia dan Bizantium tak berminat menguasai tanah ini karena bangsa Arab dipandangnya sebagai kaum barbar, miskin dan kelaparan. Apa yang bisa diharapkan dari tanah gersang ini? Saya bayangkan bagaimana susahnya hidup saat itu. Bagaimana harus menempuh perjalanan dengan kendaraan unta melewati bukit berbatu berhari-hari. Bersyukurlah yang ada di Indonesia. Setandus-tandusnya negeri Indonesia, tak ada tempat yang setandus Arab Saudi. Sepanjang penglihatan hanya batu dan sedikit pasir. Bukit-bukit batu menjulang. Bagaimana tanaman di sini bisa hidup?

 

Di luar itu, perjalanan lancar. Jalanan seperti jalan tol, sangat mulus. Pada beberapa tempat tertentu, ada pemeriksaan dokumen untuk jamaah haji. Di beberapa tempat ada juga pembagian buah dan minuman gratis. “Fii sabilillah…fii sabilillah…,” begitu katanya. Inilah bedanya dengan tanah air, di sini banyak yang gratis. Juga air zam-zam di beberapa tempat tertentu disediakan gratis. Tinggal pencet tombol, keluar air.

Kami memasuki Kota Mekkah Almukarromah sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Bangunan-bangunan mulai banyak, juga baliho iklan. Gedung-gedung makin banyak. Sangat kontras dengan di perjalanan. Di sekitar sini, seperti layaknya kota-kota besar lainnya, banyak kendaraan dan bangunan bertingkat. Di mana letak Ka’bah? Itu pertanyaan awal. Kami membaca doa memasuki Tanah Haram. Kami menuju ke Maktab 26 di daerah Jarwal Sektor VII Nomor rumah 100. Sebuah bangunan tujuh lantai di antara bangunan-bangunan bertingkat lainnya. Agak masuk ke gang dari jalan besar. Tak berbeda dengan bangunan di kota besar lainnya.

Saya mengalir saja mengikuti alirannya. Mendapat ucapan selamat datang dari muassasah  (penyedia perumahan atau maktab), seorang pria Arab yang fasih berbahasa Indonesia. Menunggu pembagian kamar dari pembimbing dan ketua rombongan. Saya menempati kamar 124 di lantai 4 dengan ditempati 9 orang. Ada yang khusus “bujang lokal”, dan dijadikan satu sebagai Posko karena kedua pembimbing di situ. Kamar saya juga sebagai Posko Kesehatan karena istri sebagai dokter jamaah.

Kami berbenah, menata kamar. Menata barang. Tas-tas besar Kami masukkan dan meng-kavling-kavling tempat tidur di lantai. Saya bersama istri menempati pojokan di ujung sebelah kiri. Pak Yoi dan istri mendapat kavling pojok dekat pintu. Pak Bang dan istri mendapat kavling antara saya dan Pak Yoi. Pak Joko, Bu Ning, dan Pak Rus mendapat pojok ujung sebelah kanan. Tak ada protes. Tak ada grundelan. Saya terima saja apa adanya. Kondisi kamar termasuk bagus. Ada AC dan kipas anginnya. Juga kamar mandinya, ada closet duduk dan jongkok. Ada fasilitas air panas. Saya nikmati saja.

Pertanyaan lanjut yang begitu menggoda adalah di mana letak Masjidil Haram? Berapa kilometer jaraknya? Ya Allah, saya sudah di Mekkah sekarang. Di tanah haram-Mu. Aku bersimpuh dalam nada getar. Capek dan ngantuk tak terasakan lagi. Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku bersimpuh. Aku berharap di antara orang-orang yang berserah diri….

Mekkah, 13 Februari 2002

Umrah Wajib dan Melihat Ka’bah

Umrah wajib kami selesaikan malam itu juga. Kami shalat Magrib dan Isya di maktab. Kami berangkat ke Masjidil Haram sekitar pukul 21.00 dengan pertimbangan jumlah jamaah berkurang karena sudah melewati shalat wajib. Kami jalan kaki dan dibagi lagi per kelompok sekitar 10-11 orang. Masing-masing kelompok ada pembimbingnya. Meskipun lelah dan mengantuk, tetap harus kami selesaikan juga. Kami masih berpakaian ihram. Pembimbing kami, Asfiani.

 

Thawaf pertama kali, benar-benar pengalaman yang mendebarkan. Awalnya saya tegang dan berdebar juga menatap Ka’bah–yang menjadi kiblat shalat selama ini- untuk pertama kali. Lama-lama saya terbiasa juga. Jamaah yang thawaf sudah banyak. Saya berdesakan dengan jamaah lainnya. Saya mengelilingi berkelompok beriringan dan Ka’bah di sebelah kiri. Makin dekat makin baik. Antara menghafal doa, mengingat putaran, dan kagum. Mata melihat Ka’bah, kaki melangkah menghindari pijakan kaki lain, tubuh mengatur desakan jamaah lain, telinga mendengarkan petunjuk pembimbing membaca doa, sedangkan otak mengingat jumlah putaran. Semua harus berbarengan dan konsentrasi. Mengagumkan. Beberapa kali konsentrasi saya pecah antara tidak percaya, heran, kagum, dan konsentrasi doa. Kami lewati Maqom Ibrahim, kami lewati Hijir Ismail, saya beri salam Rukun Yamani, doa sapujagat: rabbana atinaa fiddunya hasanah …, Salam Hajar Aswad, daerah Multazam kembali ke Maqom Ibrahim lagi. Begitu berurutan. Doa-doa “berhamburan” saja. Semua yang saya ingat saya sebut saja. Mumpung di depan Ka’bah. Doa-doa standar, doa khusus, dan lain-lainnya. Usai thawaf, kami shalat sunat dua rakaat di belakang Maqom Ibrahim. Shalat dengan berdesak-desakan bergantian dengan istri. Kami saling menjaga, ada teman yang shalat lainnya memberi ruang karena saking banyaknya jamaah. Kami minum air zam-zam di sumur zam-zam sepuasnya karena memang haus juga. Sambil berdoa dan berharap. Semua doa dan harapan dikeluarkan saja. Segar begitu terasa. Kami lalu sa'i –berjalan- dari Safa ke Marwah yang berjarak sekitar 450 m. Doa-doa juga harus dibaca sepanjang sa'i. Kami berjalan dan lari-lari kecil antara dua pilar hijau sebanyak tujuh kali dari Safa ke Marwah dihitung satu kali. Sa'i sepertinya olahraga juga. Dan manusia, tetap saja berjubel. Bayangkan, sekian ratus ribu manusia menempuh hal yang sama. Tahalul mengakhiri ritual umrah kami. Lelah dan melegakan. Kami mengakhiri sekitar pukul 01.30 dini hari dan pulang ke maktab. Kami ganti pakaian ihram dan istirahat.

 

Paginya, saya shalat subuh berjamaah di maktab. Usai sarapan saya melakukan laporan pertama ke PKTV, sebuah stasiun TV lokal di Bontang untuk siaran langsung, supaya keluarga yang melakukan haji di Bontang dapat memantau perkembangan pelaksanaan ibadah haji di Mekkah.

 

Mekkah, 13 Februari 2002.

 

Shalat di Masjidil Haram

Saya dengan istri rutin shalat wajib berjamaah. Kadang ke Masjidil Haram, kadang di maktab -di lantai dasar yang disulap menjadi mushola- atau Masjid Tubashi–dekat maktab sekitar 500 m. Saya shalat Dhuhur, Magrib dan Isya di Al-Haram. Mau shalat Ashar sekalian nanggung karena usai shalat Dhuhur saya pulang-biasanya untuk makan siang karena catering disediakan di maktab. Jarak maktab ke Al-Haram sekitar 1,5 km perlu waktu sekitar 40 menit kalau jalan kaki. Memang ada juga kendaraan sejenis L-300 atau di sana disebut coaster dari Toyota atau taksi dengan ongkos SR1 sekali naik. Kami juga kadang naik coaster.

 

Saya harus menyiasati karena letak maktab termasuk jauh. Biasanya, saya shalat Subuh ke Al-Haram, lalu Dhuhur-Ashar di maktab. Magrib-Isya baru di Al-Haram, atau Ashar-Magrib-Isya ke Al-Haram. Biasanya saya berangkat berbarengan sesuai regu atau teman kamarnya masing-masing.

 

Sewaktu pulang Isya, rasanya semua jalan keluar Masjid penuh manusia. Jalan seperti merambat saja. Asyik sekali. Saya nikmati gairah beribadah ini sebaik-baiknya. Tak ada kendaraan melintas di sekitar Al-Haram bila arus pulang shalat wajib. Semua dipadati manusia. Dari jauh kelihatan warna putih yang dominan. Di kiri kanan jalan banyak pedagang kaki lima menawarkan dagangannya. Pengemis juga banyak.

 

Begitu juga saat gerakan thawaf dan sa'i. Gerakan baru berhenti kalau shalat. Begitu selesai shalat, bergerak lagi selama 24 jam. Begitu seterusnya. Seperti halnya kerja, dilakukan terus dan hanya berhenti kalau shalat - dan istirahat tentunya.

 

Pada waktu pulang Isya, ada jamaah berusia agak tua dari Jawa Timur terpisah dari rombongannya. Dia mendekati saya dan bertanya letak maktabnya. Dia bingung dan tidak tahu jalan pulang ke maktabnya, hanya menyodorkan kartu alamat maktab yang bertuliskan bahasa Arab. Daripada makin jauh tersesatnya, saya ajak saja ke maktab Jarwal dan nanti yang minta tolong petugas maktab yang bisa berbahasa Arab untuk menelpon maktabnya. Saya hubungi petugas maktab dan diurus sebentar. Menunggu sekitar satu jam, saya tinggal ke kamar. Saya turun ke lantai 1, si jamaah Jawa Timur sudah tak ada. Saya tanya petugas, katanya sudah dijemput.

 

Mekkah, 14 Februari 2002

 

Ziarah ke Jabal Rahmah, Jabal Tsur dan Jabal Nur

Saya pernah membaca catatan Soe Hok Gie -mahasiswa Sastra UI yang juga adik aktivis Arief Budiman- tentang Soekarno dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Hok Gie menulis, semakin dia mengenal Soekarno semakin berkurang kekagumannya. Soekarno dikagumi karena pengenalannya dari jauh. Itu untuk kasus Soekarno menurut Soe Hok Gie. Mengambil analogi seperti itu, kesan saya terhadap Jabal Rahmah -sebuah tempat penuh rahmat, tempat bertemunya Adam-Hawa di bumi- hampir sama. Sebelum melihat dari dekat dan sekadar melihat foto, Jabal Rahmah adalah sebuah tempat suci. Paling tidak ada yang menyucikan. Ada kesan wibawa.

 

Ternyata bayangan tersebut lenyap seketika disambut para pedagang bertampang Arab-Pakistan yang menawarkan jasa pemotretan dengan naik unta begitu turun dari bus. Wah, seperti daerah wisata saja. Banyak pedagang dan pengemis. Terlebih ada peristiwa yang menimpa saya. Seorang bertampang Pakistan menawarkan foto di untanya dengan tarif SR10. Saya tak berpanjang kata, setuju saja. Saya dan istri naik dan berfotolah sambil naik unta. Saya minta tolong Pak Joko untuk mengambil fotonya. Waktu untanya saya suruh jalan, tidak boleh sama si Pakistan, alasannya foto hanya untuk duduk. Ya sudah, saya foto dengan unta yang duduk saja. Waktu mau bayar saya lebih kaget lagi karena diminta SR20. Waktu saya debat dia bilang fotonya beberapa kali. Wah ini modus operandi trik-trik penipuan seperti daerah wisata lainnya. Tidak ada sedikit pun kesan bahwa ini di Jabal Rahmah. Daripada berdebat dan tarik ulur lebih lanjut –supaya tidak mengotori ibadah haji- saya mengalah. Saya bayar SR20 sambil mengatakan bahwa itu haram. Di luar dugaan mereka tidak mau dikatakan haram dan meminta saya mengatakan halal. Saya tetap tak mau mengatakannya. Haram tetap haram. Dia ngotot dan tetap meminta saya mengatakan halal sambil bilang bahwa ia miskin. Saya tetap bilang miskin adalah miskin, tetapi penipuan tetap haram. Kemiskinan adalah satu hal dan penipuan adalah hal lain. Jangan dijadikan alasan. Terlebih untuk diperalat. Belakangan Pak Joko juga cerita kalau dimintai juga SR10 oleh “penipu” itu hanya karena dia difoto di sebelah saya. Padahal tarif biasanya SR10 dan dengan foto polaroid. Itulah kesan saya pertama tentang Jabal Rahmah.

 

Kesan kedua, sangat komersial dan sudah menjadi tempat wisata. Mungkin juga ada syiriknya. Memang saya tak berwenang menyebut, syirik. Saya cerita saja. Setelah naik ke bukit berbatu sampai puncaknya. Di puncak bukit ada bangunan lantai semen seluas  sekitar 9 x 9 m dan ditengahnya ada tugu setinggi lebih dari 7 meter. Hanya ada 4-5 orang Askar di lantai semen tersebut. Penjual souvenir khas Arab seperti tasbih, peci, minyak wangi, gelang, dan cincin, bertebaran pada keempat sisi tepi lantai semen tersebut. Di luarnya dikerumuni pengunjung yang berjubel. Kebanyakan jamaah dari Indonesia. Ada beberapa orang berdoa dengan khusuk, juga shalat menghadap tugu Jabal Rahmah (saya khawatir kalau arahnya berseberangan dengan arah Kiblat), juga menangis sesenggukan, zikir. Campur aduk antara orang beribadah dan pasar berlangsung. Orang teriak menawarkan barang, orang menawar dengan bahasa beda. Ada yang emosi, terharu, tertawa, dan biasa-biasa saja menjadi satu. Bahkan ada yang kelewatan, terlihat dua orang pedagang hitam dan kulit gelap lainnya saling memukul berkelahi. Masya Allah, ini di Jabal Rahmah. Ada juga yang menulis-nulis nama di beberapa tempat. Saya lihat tugu tersebut sudah penuh dengan nama-nama. Saya kurang tahu maksud sebenarnya. Mungkin dengan tercantumnya nama tersebut menjadi panggilan untuk haji. Ada juga yang sengaja menyebar pas foto teman-temannya. Apa juga punya maksud yang sama? Benar-benar tak menyangka. Jabal Rahmah sudah seperti daerah wisata lainnya.

 

Sebenarnya, menurut riwayat ini tempat pertemuan Adam dan Hawa, setelah puluhan tahun terpisah di bumi. Karena itu peziarah ada yang membawa foto titipan, biar mudah mendapat jodoh. Di lembah Jabal Rahmah sebenarnya peringatan ada dalam bahasa Arab, Inggris, Malaysia dan bahasa Indonesia bahwa ini bukan tempat apa-apa. Tidak ada tuntunan Rasulullah untuk menziarahinya.

 

Selain ke Jabal Rahmah, saya juga melihat Padang Arafah tempat wukuf, suatu tempat lapang yang sangat luas. Saat itu tenda belum dipasang tetapi blok-blok sudah ditetapkan. Cuaca sangat terik. Kami juga ke Mina melihat ketiga tempat melontar jumroh. Bayangan saya jumroh tersebut di lapangan terbuka ternyata meleset. Jumroh berada di tengah bangunan seperti jalan dan dibuat dua lantai. Persis seperti jalan tol. Tenda-tenda sudah dipasang di kiri-kanan jalan. Tak ada kesan magis. Seperti tugu biasa saja tetapi di sinilah Nabi Ibrahim digoda setan sewaktu mendapat perintah Allah.

 

Melihat juga Jabal Tsur dari jauh, gua tempat Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi sewaktu dikejar pasukan Quraisy. Jabal Tsur dari jauh seperti bukit batu menjulang tinggi. Guanya terletak di atas bukit. Sewaktu Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur, pasukan Quraisy mencarinya sampai di depan gua. Hanya Kekuasaan Allah semata yang dapat melindungi beliau berdua. Di depan pintu gua ada laba-laba membuat sarang yang menutupi mulut gua dan burung merpati bersarang di depannya. Pasukan Quraisy tak menyangka kalau Rasulullah ada di dalamnya.

 

Melihat Jabal Nur –yang ada Gua Hira, tempat Rasulullah menerima wahyu pertama kali- dari jauh. Bukit batu yang bentuknya seperti peci bertelungkup. Banyak juga pengunjung yang melihat dan mendaki gua tersebut. Dari jauh kelihatan seperti titik-titik kecil putih bergerak. Tetap kebanyakan dari jamaah Indonesia.

 

Saya pulang menuju maktab, melewati Makam Ma’la sekitar 1,5 km sebelah Timur Al-Haram, salah satu pemakaman umum tertua di Mekkah dan juga makam istri Rasulullah pertama, Siti Khadijah. Melewati Masjid Jin di pinggir jalan di daerah Sep Amir. Masjid Jin dibangun karena di tempat itu pernah terjadi peristiwa pertemuan Rasulullah dengan jin. Saat itu Rasulullah mendapat undangan dari jin dan Rasul membacakan ayat-ayat Alquran di depan mereka yang menjadikan mereka beriman. Setelah itu turun Surat Jin.

 

Program ziarah diadakan untuk melihat dari dekat tempat-tempat bersejarah umat Islam, sambil menunggu pelaksanaan Ibadah haji.

 
Mekkah, 15 Februari 2002

 

Mengunjungi Ibu di Misfalah

Ibu saya kebetulan juga berangkat haji, hanya melalui kloter lain. Ibu berangkat dengan muhrim, om Prapto & tante. Bersama pula besannya pak Karno & ibu. Usai shalat Isya, saya ditemani Pak Joko ke tempat ibu di Misfalah, Maktab 45 –sekitar satu kilometer dari Al-Haram arah 90 derajat dari Jarwal. Dekat Shopping Cetre Misfalah, Jalan Ibrahim Cholil. Ibu terlihat gemuk dan sehat. Katanya, selera makannya tinggi. Itu yang melegakan. Jalan ke Misfalah termasuk enak, hanya mendatar. Banyak juga orang berjualan di pinggir jalan. Ke Misfalah pulang-pergi jalan kaki. Mau naik apa? Angkot coaster adanya kalau jam shalat. Jarak tak seberapa jauh, saya jalan kaki saja sambil melihat-lihat pedagang.

 

Awalnya, saya sama sekali belum tahu tempat ibu menginap. Yang saya tahu hanya Kloter 1 Solo. Namun, info tersebut sangat berguna karena bisa mencari tempat menginapnya. Saya menanyakan ke kantor sektor VII –dekat maktab. Dari situ ketahuan nomor maktabnya, yaitu Maktab 45 di daerah Misfalah. Mencari Maktab 45 gampang-gampang susah. Waktu saya mencari maktab 45, tidak ketemu-ketemu. Saya urutkan nomornya, ternyata tidak urut. Ketemunya terjadi sangat sederhana. Saya tanya beberapa orang Indonesia yang lewat Jalan Ibrahim Cholil usai shalat. Masak tidak ada yang tinggal di Maktab 45. Ternyata benar, hanya butuh bertanya pada tiga orang, saya sudah menemukan orang yang tinggal di maktab tersebut.

 

Paginya shalat rutin seperti biasa. Biasanya Subuh dan Ashar-Magrib-Isya di Al-Haram. Shalat Jumat, mulai berangkat ke Masjidil Haram pukul 10.00 waktu setempat.

 

Mekkah,  Jumat, 15 Februari 2002   

 

Janjian Usai Subuh

Jumat malam, usai shalat Isya, saya ke Misfalah lagi bersama istri. Pulang mampir beli sajadah SR10. Rasanya beberapa barang harganya lebih murah di Misfalah daripada di Jarwal.

 

Sabtu pagi usai Subuh, saya bertemu ibu, om Prapto dan tante di depan Pintu 72 Masjidil Haram. Dari Jarwal memang paling dekat Pintu 72, makanya kalau saya janjian biasanya di daerah Pintu 72. Kalau ibu, biasa janjian di bawah tulisan Bin Dawood Supermarket di Hotel Hilton. Saya juga mulai hafal pintu-pintu, terutama pintu untuk toilet. Toilet ada di dekat pintu 52, juga ada toilet di dekat pintu 45. Kami duduk santai di halaman dan ngobrol agak lama sambil melihat burung-burung dara yang sangat banyak di Masjidil Haram. Semuanya hampir sama warnanya, biru keungu-unguan. Memang ibu lebih senang haji lewat Solo bersama famili teman-temannya daripada bareng saya di Bontang karena dengan teman-temannya sendiri lebih akrab. Kalau di Bontang, di samping perlu waktu lama untuk manasik, juga perlu waktu untuk penyesuaian. 

 

Rasanya enak juga menerapkan pola shalat Asyar-Magrib-Isya di Masjidil Haram. Dhuhur shalat jamaah di maktab. Sebenarnya apa yang dicari di Masjidil Haram selain pahala dan ridho-Nya? Suasana yang sejuk. Di dalam Masjid tak ada orang marah atau emosional. Banyak yang ingin berbuat baik seperti mengambilkan air zam-zam, mengambilkan Alquran, jabat tangan, atau memberi makanan. Ada orang Mesir suami-istri setengah baya yang memberi apel, usai shalat sebelum berpisah si Lelaki Mesir mencium saya. Ada juga pengemis hitam, buta, berjalan di antara shaf shalat Jumat. Banyak yang memberi uang. (Di Masjid ada juga pengemis).

Di Masjidil Haram semua ingin berbuat kebajikan. Shalat diperbanyak. Zikir dan baca Alquran diperbanyak. Kalau semangat seperti itu dipertahankan terus oleh umat Islam di seluruh dunia, rasanya Islam bisa menjadi rahmatan lil alamin. Asal tidak berlebihan. Kalau beribadah sudah berlebihan, terlebih dengan membuat sakit pihak lain seperti berdesakan, mendorong, ingin menangnya sendiri, maka semangat beribadah ini mungkin menjadi berlebihan. Wallahu Alam bissawab.

 

Saya jalani saja semua yang ada. Saya nikmati semangat beribadah ini. Menjaga makan, jalan kaki ke Masjid, pulang sambil melihat barang yang dijual. Saya biarkan semua mengalir. Melihat, menikmati dan merasakan. Bersyukur masih bisa menikmati. Bisakah hal ini terus dipertahankan? Ibadah sebagaimana hobi, dilakukan sambil menikmatinya. Bisakah, ibadah sebagai hobi? Betapa nikmatnya. Tuhan jagalah tanganku ini (Ebiet)….

 

Mekkah, Sabtu 16 Februari 2002

(Ada bimbingan Manasik haji di maktab dengan pembicara Pak Asfiani dan penjelasan operasional dari Abdilah. Kami saling bermaaf-maafan. Mbak Ning –kakak iparku yang kebetulan sedang bertugas sebagai dokter haji- ternyata sudah menunggu di lantai dasar maktab)

 

Jalan-Jalan di Sekitar Maktab

"Penyakit" lama kambuh, saya kelewatan shalat Subuh di Masjidil Haram. Sebenarnya bukan kelewatan, tetapi hanya shalat Subuh di maktab. Bangunnya terlalu dini, pukul 02.30 waktu setempat. Rencana mau “kloter 2" ke Masjid sekitar pukul 03.30 – 04.00. Waktu Subuh pukul 05.40. Kita memang biasa berangkat duluan sekitar satu jam sebelum shalat. Saya tidur lagi, yang lain sudah berangkat duluan. Begitu bangun, sudah lewat. Hanya 10 menit sebelum azan Subuh. Wah, nggak terkejar kalau shalat di Al-Haram. Shalat berjamaah di maktab saja.

 

Hari ini jadwalnya sebenarnya menyaksikan pemotongan hewan Dam Haji Tamathu. Akan tetapi, karena masih ada perbedaan pendapat tentang afdolnya saat pemotongan Dam, maka diputuskan setelah haji. Jadi? Saya berjalan-jalan saja sambil membeli peralatan cuci. Foto-foto sekitar maktab untuk kenangan. Boleh kan? Haji bukan hanya spiritualitas dalam arti agama, tetapi rohaniah dalam arti rekreasi batin. Jadi kalau cuci mata, foto bisa untuk rekreasi batin dan itu bisa menimbulkan semangat spiritualitas. Kenapa tidak? Wallahu Alam….

 

Di sekitar maktab ada juga gedung-gedung yang ditempati jamaah lain. Sebelah kanan gedung kami ditempati jamaah dari Provinsi Abuya, Nigeria. Sebelah kiri gedung ditempati sepertinya dari Eropa Timur. Tubuh tinggi besar, putih tetapi hidung kayak Arab dengan profil Mesir. Toko-toko kelontong banyak di sekitar maktab. Ada beberapa restoran Indonesia karena memang di daerah Jarwal banyak jamaah dari Indonesia. Di setiap toko hampir pasti bertemu dengan orang Indonesia. Bahasa Indonesia begitu populer untuk pedagang. Jadi, bertransaksi cukup dengan Bahasa Indonesia. Bahkan jargon-jargon yang dipakai pedagang pun dengan Bahasa Indonesia. “Murah-Murah satu Real”, “Kungkung –untuk menyebut kangkung- satu Real”, “Hanya Dua Real….” “Ayo Siti Rahma, Indonesia Bagus”, dan lain-lain. Yang banyak belanja memang orang Indonesia.

 

Selain itu ada juga beberapa pedagang kaki lima di sekitar maktab seperti penjual kerudung, cincin, obat kuat, atau obat pijat. Ada juga yang menawarkan kamera, teropong, dan jam, atau makanan Indonesia seperti lauk pauk, nasi goreng, telur, tahu-tempe, kerupuk, bakwan, dan ikan goreng. Biasanya harganya sekitar SR1. Yang menjual adalah pemukim Indonesia juga. Kebanyakan dari Banjar(masin).

 

Mekkah, Minggu, 17 Februari 2002.

 

Bertemu Umat Bangsa Lain

Di Masjidil Haram adalah kesempatan bertemu dan saling mengenal perilaku umat Islam dari negara lain. Meskipun ada kendala bahasa, tetapi bisa nyambung juga pembicaraannya. Kalau ada kesempatan sedapat mungkin saya bicara.

 

Bertemu dengan orang Nigeria, kebetulan di sebelah shaf shalat saya, tetapi pendiam kalau diajak bicara. Mungkin kendala bahasa. Kebanyakan orang Afrika suka bicara keras dengan teman-temannya. Biasanya bergerombol dengan orang-orang hitam lainnya. Sering terlihat antre panjang untuk mendapatkan Alquran gratis. Biasanya dibagi setelah shalat Subuh.

 

Lalu, saya bertemu dengan orang Mesir. Suami-istri setengah baya. Badannya besar. Bertemu waktu menunggu waktu shalat. Mereka baik sekali. Saya diberi apel sedang saya menawarkan permen. Mereka tersenyum. Waktu selesai shalat saya dipeluk dan dicium oleh si lelaki Mesir.

 

Kemudian, saya bertemu dengan orang Turki di depan pintu toilet. Menunggu sambil bicara. Badannya tidak terlalu tinggi, tapi besar dan kuat. Kesan saya, orang Turki semangatnya tinggi. Mereka biasa dalam rombongan besar dan kompak. Biasanya memakai baju seragam dengan bendera kecil negaranya yang dominan warna merah dan bulan sabit di dadanya. Kebanyakan berusia sekitar 50 tahunan.

 

Saya juga bertemu orang Syria di depan toilet wanita. Saya mengantar istri, dia mengantar ibunya. Seorang guru, usianya 25 tahun. Dia datang tiba-tiba dan meminta minum saya. Dengan Inggris patah-patah saya bicara. Juga Arab seadanya hasil kursus metode Fasih di Masjid Baiturrahman. Di Syria, Bahasa Arab digunakan sehari-hari.

 

Saya bertemu lagi dengan orang Mesir di depan pintu toilet pria. Seorang Akuntan. Mungkin dari Al-Azhar University karena dia menanyakan saya tentang universitas tersebut. Saya jawab saja bahwa universitas tersebut sangat terkenal di negara saya. Dia baik dan mempersilakan saya masuk toilet duluan meskipun dia antrenya di depan saya. Katanya, “You have a problem.” Aku mau saja meskipun nggak punya problem pada perut saya. Thanks Mr. Mesir.

 

Selain itu, saya juga menemukan beberapa perilaku dari jamaah lainnya. Ada jamaah wanita dari Iran yang suka mengatur-ngatur orang. Mereka biasanya berpakaian hitam dan bergerombol. Wajahnya khas. Mereka tidak suka kalau ada lelaki duduk di belakangnya pada shaf shalat. Jamaah Bangladesh suka spekulasi bila mencari tempat shalat. Mereka suka nekad berjalan ke depan padahal shaf shalat sudah penuh.

 

Yang tak lazim adalah adanya pengemis di Masjid. Pertama saya melihat pengemis sewaktu shalat Jumat. Berkulit hitam, berjenggot sedikit, buta, dan berjalan dengan tongkat di antara jamaah. Saya tadinya berpikir ia bukan pengemis, tetapi jamaah yang sedang mencari tempat shalat. Ternyata pengemis karena banyak orang memberi uang. Saya lihat banyak orang memberi uang karena banyak orang ingin berbuat baik di Al-Haram. Pertanyaan saya adalah kenapa pengemis dibiarkan berkeliaran di dalam Masjid. Hal yang tak pernah saya jumpai di tanah air. Makin lama makin banyak pengemis yang masuk. Saya mulai perhatikan wajah-wajah mereka. Ada wajah Pakistan yang dipotong tangannya, ada yang terbakar tangannya. Wajah mereka tak ramah. Bahkan dengan enaknya menyuruh jamaah mengambilkan uang dari orang yang memberi. Mereka tak berterima kasih. Mata mereka jelalatan antara melihat jamaah yang memberi uang dan tempat lain. Mungkin mereka takut Askar. Si Pakistan yang terbakar tangannya sering saya lihat. Tambah lagi dengan si Hitam Buta yang dituntun anak kecil. Rata-rata orang memberi SR1 dan mereka menerima banyak pemberian. Saya tidak tahu bagaimana seharusnya.

 

Mekkah, Senin, 18 Februari 2002

 

Masjidil Haram, Beda di Dalam dan di Luarnya

Pagi tadi, usai Subuh, saya ke Multazam, daerah sekitar Baitullah antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Salah satu tempat mustajab untuk berdoa. Jamaah yang thawaf tetap padat. Bahkan lebih padat dari biasanya. Maklum ini saat-saat terakhir orang umrah wajib bagi haji tamathu. Di dekat tangga menuju lantai dasar Baitullah, suara tangis ibu-ibu setengah baya berpakaian mirip suster menyambut kami. Sepertinya wanita Iran, tetapi mengapa tanpa baju hitam. Dia terisak-isak di daerah Multazam. Kami mencari tempat dan makin mendekat pada Baitullah. Jamaah tetap padat dan lalu lalang. Hampir tak ada tempat untuk berpijak kaki. Kami tetap saja mencari tempat. Saya bersimpuh. Saya baca Al-Fatihah dan beberapa surat pendek yang saya hafal. Saya berdoa sebisanya. Doa-doa keluar seadanya. Melontar begitu saja. Saya tidak kuasa menahannya. Giliran doa untuk anak-anak saya, tanpa sadar air mata merembes juga. Benar kata Pak Bambang sewaktu mendoakan anak di Multazam sampai menangis. Ada beberapa saat waktu berlalu diantara doa-doa yang berloncatan keluar. Tahu-tahu ada Askar Arab berkata dan setengah membentak, ”Hei…haji…thawaf. thawaf…” Saya sadari kalau itu jalur untuk thawaf. Kami tak banyak cakap lalu mundur mencari tempat ke belakang lagi menghindari jalur thawaf. Mood saya untuk berdoa sudah lewat. Saya dengar tangis sesenggukan. Sepertinya pria Iran. Saya mencari tempat untuk berdoa. Beberapa waktu terlarut dalam doa. Pria Iran masih meraung-raung saja. Saya menoleh karena merasa terganggu juga. Beberapa orang juga jadi memperhatikan dia. Seorang wanita –mungkin istrinya- memberi tissue untuk menghapus air matanya. Baru agak reda tangisnya. Saya lanjutkan saja berdoanya. Fajar sudah beberapa waktu merekah. Saya shalat sunat Dhuha. Saya sujud lama. Beberapa kali terdengar lompatan kaki melintasi kepala. Saya mundur dan berdiri setelah usai shalat. Kembali mata tergoda untuk mengamati lalu-lalangnya manusia. Wajah-wajah Turki, India, Bangladesh, Iran, Mesir, Nigeria, Eropa Timur, Iran, dan Cina juga ada. Wajah-wajah yang tunduk, tawadu’, terharu, sedih, gembira, dan sebagainya. Ada seorang pria hitam tersenggol wanita waktu sujud. Secara refleks si pria bergerak tanda tak suka. Si Wanita minta maaf. Selesai, meski si Hitam nampak bersungut-sungut. Ini di Baitullah, Bung! Hanya berjarak sekitar 25 m dari Ka’bah. Urusan dunia, emosi harus dibuang jauh-jauh. Kita di depan rumah Allah. Hanya ibadah. Mencari ridho-Nya.

 

Beda di dalam dengan di luar. Pulangnya, jalanan tetap dipenuhi pedagang kaki lima. Hanya beberapa meter dari Masjidil Haram, berlangsung proses tawar-menawar. Persis seperti pasar. Juga perkelahian antara pedagang hitam dan Pakistan. Mereka memporak-porandakan barang yang dijual. Lari berkejaran. Ada juga usaha pencopetan yang dialami Pak Joko oleh pria hitam tinggi besar hanya sekitar 700 m dari Al-Haram. Ada apa sesungguhnya? Memang yang datang ke Masjidil Haram adalah sekian orang dengan sekian motivasi. Apa yang terjadi? Apa baru terjadi belakangan ini atau sudah berlangsung lama? Antara kebaikan dan kejelekan jaraknya tak terlalu jauh. Seperti kata Mangunwijaya dalam novel Burung-burung Manyar, antara lubang kotoran dan kenikmatan jaraknya dekat sekali. Memang, kejelekan dan kebaikan bisa terletak di mana saja.

 
Mekkah, Selasa, 19 Februari 2002

 

Menunggu Wukuf, Debu, dan Antre Toilet

Kami baru menunggu waktu wukuf pukul 12.32 waktu setempat. Aktivitas teman-teman beragam. Ada yang tidur-tiduran, ada yang zikir, membaca Alquran atau mengobrol. Kadang saya berjalan-jalan di sekitar kemah sekadar menikmati keadaan. Di dekat kemah saya ada bukit kecil dan saya kadang di situ memandang ke kejauhan. Bukit-bukit batu, Jabal Rahmah, Masjid Namirah terlihat di kejauhan. Titik-titik putih manusia berpakaian ihram menghiasi di mana-mana. 

 

Kami berangkat dari maktab kemarin sore sekitar pukul 17.00 Kami memakai pakaian ihram, niat haji lalu berangkat menggunakan bus. Lewat Magrib sedikit kami sampai di tenda tempat wukuf. Kami menempati tenda yang beralaskan alas sederhana. Kami tutup lagi dengan alas plastik. Kami tidur berjejer di atasnya. Jamaah wanita sebelah kiri, di sebelahnya jamaah laki-laki. Kami hanya ngobrol dan acara santai lainnya. Dalam tenda hanya remang-remang. Kadang saya jalan keluar, ke bukit kecil di sebelah tenda. Banyak juga orang di situ. Ada yang merenung, berzikir, berdoa, atau shalat. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk ibadah. Memandang langit gelap. Bintang kelap-kelip di kejauhan. Di beberapa tempat lampu bertiang tinggi dipasang untuk fasilitas penerangan. Nampaknya pemerintah Saudi sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk haji. Kemah juga dibagi per blok. Jamaah Indonesia menempati sekian blok. Untuk mengatasi panasnya cuaca juga sudah ditanam beberapa pohon pelindung dan penyemprot air. Fasilitas mandi-wudhu-toilet juga dipersiapkan. Tetapi rasanya tetap saja kurang. Kita harus antre 4-5 orang kalau mau ke toilet.

 

Bisa dibayangkan bagaimana dulu orang melakukan haji? Bagaimana panasnya? Bagaimana kendaraannya? Bagaimana makannya? Toiletnya? Berbahagialah generasi sekarang dengan kecukupan fasilitas.

 

Katanya tanah di Arafah ini hanya dipakai waktu haji saja. Juga Masjid Namirah –yang dipakai Rasulullah sewaktu wukuf di Arafah. Di luar itu, sepi tak ada orang. Masyarakat tak boleh memilikinya karena memang untuk wukuf. Di beberapa tempat ditandai batas-batasnya dalam bahasa Arab dan Inggris dalam papan besar, The End of Arafah. Sekarang, dengan jamaah haji sekitar 2 juta orang sudah berjubel. Bagaimana kalau besok, jamaah bertambah sedang tempat di Arafah tak bisa ditambah, bagaimana sesaknya. Bagaimana pengaturannya. 

 

Awalnya, pengertian saya waktu wukuf dari dhuhur sampai magrib, tetapi menurut Asfiani waktu wukuf sebenarnya sekitar waktu Dhuhur (ketika matahari sudah tergelincir atau bergeser dari tengah hari, pukul 12 siang) sampai subuh Idul Adha, jadi kalau ada jamaah Haji berhalangan kemudian sempat datang di Arafah di waktu malam Hari Raya, dia dianggap telah melaksanakan Rukun Haji, wukuf. Adapun pelaksanaan wukuf dan sholat dhuhur hingga magrib. Seusai itu boleh meninggalkan Arafah. Meskipun hanya singkat, itu yang terpenting karena tidak boleh diwakilkan dan harus dilakukan sendiri. Kalau tidak, hajinya tidak sah. Tetapi, rombongan saya mendahului datang dulu sehari sebelumnya untuk menghindari macetnya lalu lintas yang berjubel. Bayangkan, sekitar 2 juta umat menuju ke satu tempat: Arafah, betapa berjubelnya jalan masuk. Macet sudah biasa. Debu penuh di sana-sini. Bayangkan, tanahnya pasir, udaranya panas, sekian pasang kaki berjalan mondar-mandir sesuai kebutuhannya. Hasilnya, debu beterbangan kian kemari. Diisap sekian hidung. Akibatnya, batuk sudah biasa. Di sana-sini mulai terdengar suara batuk jamaah haji. Haji batuk itu sudah biasa dan biasanya bermula dari Arafah. Untuk mengantisipasinya saya memakai masker yang dibasahi air. Dalam pikiran sempat tercetus, apa tidak bisa dipersiapkan lebih baik lagi. Misalnya, supaya debu tidak beterbangan, lantai dan jalan ke kemah dibuat agak permanen sedikit, dengan con blok misalnya. Toilet bisa ditambah lagi supaya tidak antre. Masalah mandi-toilet-wudhu merupakan hal yang vital bagi jamaah. Toilet itu sudah kebutuhan biologis dan tidak bisa ditunda. Yang parah kalau pagi hari, antrenya tambah panjang.

 

Tetapi dengan kondisi begitu, jamaah haji “resmi” saya pandang masih enak. Dapat tenda, dapat makan, ada pembimbing dan beberapa fasilitas lainnya. Ternyata di samping jamaah haji “resmi”, saya lihat di beberapa pinggir jalan juga terlihat haji swasembada. Mereka satu keluarga –mungkin dari negara-negara tetangga - ada yang dengan mobil tua terseok-seok sampai atapnya penuh orang dan barang. Ada juga tenda-tenda sederhana di kiri-kanan jalan. Kadang malah hanya beberapa potong kain sarung dibentangkan. Jangan ditanya berapa kali lipat intensitas debunya karena di pinggir jalan persis. Ada juga beberapa keluarga jualan makanan sekaligus sambil haji. Ada yang menggunakan mobil atau hanya meja kecil. Ya, seperti pedagang kaki lima. Yang dijual biasanya makanan dan minuman seperti teh, buah, telur, atau nasi bungkus. Makanan rasa Indonesia juga ada. Ada beberapa orang Banjar atau Madura saya jumpai. 

 

Ada hal yang tak saya sangka. Ternyata yang mengikuti haji sesuai cara Rasul dengan cara berjalan kaki begitu banyak. Entah berapa ratus ribu. Dari kejauhan terlihat sepanjang jalan dari Mekkah ke Arafah terlihat tak ada putusnya. Pemerintah Saudi membangun fasilitas jalan untuk haji yang berjalan kaki. Tersedia atap tempat istirahat, dan beberapa kran air. Jalan dibangun tersendiri terpisah dari jalan kendaraan. Sewaktu menunggu shalat di Masjidil Haram pernah saya mengobrol dengan seorang ibu empat anak dari Jakarta. Dia berhaji sudah lima kali dan dengan perjalanan sendiri alias ONH plus. Dia bercerita kalau sudah sekian kali berhaji sesuai cara Rasul dengan berjalan kaki. “Nikmat sekali, Dik,” katanya sambil mengajak saya untuk bergabung.

 

Ya, memang semua kalau dinikmati dan ikhlas menjadi asyik. Juga haji ini. Meskipun di Arafah berjubel manusia, penuh debu dan antre di toilet, kalau dinikmati dan ikhlas, enak juga. Sebelum Subuh kita shalat sunat Tasbih dan Hajat. Memohon supaya haji ini lancar, menjadi haji yang mabrur. Ibadah harus dinikmati. Ibadah dijadikan hobi. Ada juga ceramahnya. Pak Nadhif –Imam Masjid Baiturrahman yang juga ikut haji- menekankan bahwa agar memperhatikan soal waktu karena waktu adalah perjalanan ibadah. Nadhif mengutip surat Al-Ashr.  Pembimbing Asfiani, usai shalat Subuh menekankan bahwa dalam ibadah haji ini diharapkan tak ada lagi jidal (berbantahan). Inilah saatnya beribadah, melakukan apa yang telah kita pelajari. Zikir, baca Alquran, dan berdoa sebanyak-banyaknya. Di Padang Arafah juga salah satu tempat mustajab untuk berdoa.

 

 

Pagi saya berjalan-jalan, mandi, dan foto bareng dengan Pak Kadi, Walidi, Kel. Rahmat. Kami mendapat sarapan dan makan siang. Ada juga teh manis. Kami juga membawa makanan kecil. Ada yang tak berani makan dan minum banyak. Khawatir kesulitan waktu ke toilet. Saya kadang berjalan-jalan di sekitarnya. Cuaca tetap terik. Debu tetap banyak. Saya beberapa kali mandi untuk mengusir gerah. Teman-teman haji PKT dari Tiga Utama datang bersilaturahmi. Kemahnya tak jauh dari tempat kami dan logonya terlihat jelas dengan tulisan besar.

 

Arafah, Kamis, 21 Februari 2002

 

Wukuf di Arafah dan Berdoa

Kami melakukan ibadah wukuf di tenda masing-masing. Suara-suara azan terdengar dari masing-masing tenda. Waktu wukuf sudah dimulai. Saya shalat Dhuhur dan Ashar qasar dan dijamak berjamaah. Usai shalat, ada khutbah wukuf yang dibawakan pembimbing Abdillah. Di tenda lain juga melakukan hal sama. Di antara khutbah wukuf, kita harus memanfaatkan momen ini untuk saling mengoreksi dan mendekatkan diri kepada Allah. Jauh-jauh datang hingga ke Arafah harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Apa yang telah kita lakukan selama ini, apa saja kekurangan kita, dan apa yang akan kita perbuat nantinya. Kita telah diberi nikmat banyak oleh Allah SWT, kadang kita tidak merasa. Kita harus berterima kasih dan pandai-pandai bersyukur.   

 

Dengan khusuk dan di bawah terik matahari saya mendengarkan khutbah. Setelah itu dilanjutkan dengan doa yang cukup panjang sampai beberapa dari kami sesenggukan menangis. Astagfirullahal’azim, allazi lailaha illa huwal hayyul qayyum wa atubu ilaih….

 

Benar-benar sebuah suasana yang hening dan khidmat. Kita seolah-olah terbawa pada arus perenungan yang dalam. Kita duduk merunduk. Mengoreksi diri kita masing-masing dan mengharap dengan doa-doa. Rasanya senyap. Apa yang telah kita lakukan selama ini? Setelah sampai pada titik kulminasinya, kita menghela nafas seolah telah terlepas dari suatu beban. Seperti sebuah kelegaan. Udara masih panas dan terasa gerah. Kami saling menyemprotkan air untuk mengurangi keringnya udara.

 
Arafah, Kamis, 21 Februari 2002

 

Debu Sampai Muzdalifah

Begitu azan Magrib berkumandang, jalur Arafah ke Muzdalifah baru dibuka karena kalau meninggalkan Arafah sebelum Magrib hajinya tidak sah. Rombongan saya sudah mencuri start lebih dulu. Sekitar pukul 17.00 sudah meninggalkan kemah dan menuju bus. Bus sudah merayap ke jalur Muzdalifah. Tetapi karena banyaknya bus yang akan keluar jalannya merayap saja. Malah kadang berhenti sama sekali. Pukul 21.00 baru bisa keluar dari Arafah menuju Muzdalifah untuk mabit dan mengambil kerikil. Mengapa mengambil kerikil sebaiknya di Muzdalifah? Menurut riwayat, di Tahun Gajah sewaktu peristiwa penyerbuan Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah, di daerah inilah batu-batu itu diambil oleh pasukan burung ababil yang memporakporandakan pasukan gajah Abrahah. Kisah ini diabadikan dalam Surat Al-Fiil.

 

Di sini, persoalan antre mobil dan debu sama saja. Mobil merayap dan debu di mana-mana. Kami mabit di kendaraan antara debu dan lalu lalang orang. Di kejauhan pada jalur jalan kaki terlihat rombongan haji yang berjalan kaki. Banyak sekali, berkilo-kilometer panjangnya. Berduyun-duyun dengan baju putih. Ada juga yang mabit di kiri kanan jalan pada bukit-bukit batu. Bahkan ada yang menggelar alas tidur persis di pinggir jalan yang sangat penuh debu. Tetapi, yang bersangkutan enak saja. Mungkin sudah biasa.

 

Berapa ratus ribu? Berapa juta orang yang mabit malam ini? Berbondong-bondong orang melaksanakan ritual haji. Bus penuh, bahkan sampai ke atap-atapnya. Ada juga yang menggunakan mobil pribadi, penuh juga. Tak ada mobil kosong. Saya turun sebentar untuk shalat Magrib-Isya dengan jamak takhir di pinggir jalan dengan menggelar sajadah. Saya wudhu dengan air aqua botol. Banyak juga jamaah lain yang mengerjakan. Saya mengambil batu-batu kerikil. Debu tetap saja beredar. Semua berteman debu. Masker mulut basah menjadi kebutuhan penting saat itu.

 

Batuk dan sakit tenggorokan tetap menjadi hiasan para jamaah. Saya kira penyebab terbesar karena banyaknya debu, saya kira pemerintah Arab Saudi sudah mengevaluasinya tiap tahun. Tapi, apa tidak bisa dibuat sistem yang lebih baik supaya debu menjadi berkurang? Dibuat siklon pengisap debu atau dibasahi air supaya debu berkurang. Kerajaan Saudi adalah negeri kaya. Mobil-mobil mewah, gedung-gedung bagus bertebaran. Apa saja bisa dibuat. Taman, pepohonan, dan lain-lain. Apa yang tak mungkin dilakukan di sini? Atau ini sudah lebih baik dibanding haji tahun-tahun lalu?

 

Di Muzdalifah ada peraturan kendaraan tak boleh keluar Muzdalifah sebelum pukul 24.00 -batas waktu mabit karena kalau sebelum waktu itu keluar dari Muzdalifah, dianggap tidak mabit. Orang yang tidak mabit melanggar wajib haji dan diwajibkan membayar dam (menyembelih seekor kambing). Kendaraan saya juga antre keluar Muzdalifah setelah usai bermabit.

 
Mekkah, Jumat, 22 Februari 2002

 

Thawaf Sambil Ber-Hand Phone

Kalau menurut Depag, urutan ibadah haji setelah Muzdalifah adalah ke Mina. Cara itu juga yang ditempuh Rasulullah. Memang afdolnya setelah mabit di Muzdalifah, lalu ke Mina. Tetapi rombongan kami menempuh thawaf Ifadah, sa'i dan tahalul, setelah itu baru mabit di Mina. Terus terang, kata pembimbing, ini hanya dari segi praktisnya karena saat itu thawaf menjadi lebih mudah. Tentunya ada alasan lain, haji tetap sah dan kami mendahulukan Rukun Haji daripada wajib haji. Mungkin hal ini bisa menjadi perdebatan tetapi catatan saya tentunya tidak relevan untuk membahas perbedaan itu. Ada ulama yang mengatakan bahwa cara kami sah dan berdasarkan hadits riwayat Bukhari. Ini rahmat dari Allah SWT. Saya mengikut saja.

 

Sekitar pukul 01.00 dini hari kami baru sampai di Masjidil Haram. Jamaah relatif lebih sepi. Meskipun yang dibilang sepi itu tetap saja berdesakan. Kami  mulai berthawaf berkelompok kecil tanpa pembimbing. Dianggap kami sudah bisa thawaf sendiri. Teman-teman lain sudah pada memulai thawaf. Kami berempat bersama istri, Pak Yoi dan istri. Belum putaran pertama sudah terpisah dengan Pak Yoi. Saya dan istri makin ke dekat Ka’bah. Memang belum begitu banyak jamaah. Putaran pertama, kami sudah bisa menyentuh dinding Ka’bah. Kami cium dan saya usap. Baunya wangi seperti parfum Arab. Dindingnya tidak rata, tetapi licin karena begitu banyak orang yang menyentuhnya. Saya putari saja Ka’bah, hampir semua sisi dinding  Ka’bah sudah saya pegang meskipun hanya Rukun Hajar Aswad dan Rukun Yamani saja yang disunatkan menyentuhnya. Doa-doa dan harapan tetap keluar saja berhamburan. Putaran ke-3, ke-4 lewat. Perhatian dan konsentrasi saya terganggu. Ada orang berwajah Arab, tinggi besar. Sepertinya dari Mesir. Pada putaran setelah pintu Ka’bah, ia mengeluarkan HP dan bicara. Tidak menyangka saya. Masih sempat-sempatnya memakai HP pada acara ritual haji ini. Itu bukan urusan saya, meski kepikiran juga. Istri sudah ingin shalat di Hijir Ismail karena hampir semua putaran dekat sekali ke dinding. Maklum juga, kami baru sekali itu bisa begitu dekat dan ada kesempatan masuk Hijir Ismail. Tahan sampai tujuh putaran. Rukun Yamani juga sudah kami usap.

Setelah komplet tujuh putaran, kami menuju daerah Multazam. Ada beberapa waktu dengan doa-doa dan harapan. Antre dekat Hajar Aswad. Mungkin hanya 3-4 orang di depan baris kami di antara antrean baris lainnya. Sempat kami pegang lapisan peraknya. Kami putuskan menciumnya lain kali karena waktu masih panjang dan kami masih berihram. Kami ikuti putarannya. Kami masuk dan shalat sunat mutlak di Hijir Ismail. Shalat ini tak ada hubungannya dengan ritual haji, tetapi karena ada kesempatan kami lakukan. Sampai beberapa waktu dalam shalat dan doa. Mumpung di dekat Ka’bah, saya berdoa apa saja. Kami sebut juga teman-teman, saudara-saudara saya yang ingin didoakan. Kami putar lagi dan shalat sunat di belakang Maqom Ibrahim. Beberapa kali tubuh disenggol atau dilangkahi jamaah lainnya.

Ya, memang seperti itu shalat di dekat Ka’bah. Tempatnya sempit dan kita harus pandai-pandai mengatur ritme gerakan supaya kepala ini selamat saja. Jangan ditanyakan tentang kekhusukannya. Bisa shalat saja sudah lumayan. Bisa dibayangkan pada waktu “sepi’ saja begini terlebih pada saat puncaknya. Dua juta umat melakukan hal yang sama di satu tempat. Kami lalu minum air dari sumur Zam-zam. Lelaki dan wanita dipisah. Saya minum sepuasnya dan berdoa. Kami  menempuh sa'i, tujuh kali dari Safa ke Marwah dan berakhir di Marwah. Tetap dengan doa-doa. Rasanya lancar saja. Saya menuju tempat barber shop di dekat Marwah untuk tahalul gundul. Memang sudah menjadi keinginan saya saat akan tahalul Haji, saya akan gundul. Mau cukur saja antre dan tarifnya SR10. Tak lebih dua menit kepala saya sudah gundul. Cepat sekali, lebih cepat dari Rudi Hadisuwarno. Sekitar pukul 04.00, kami selesaikan semua ritual rukun haji dan kami sudah boleh melepas pakaian ihram dan segala peraturannya.

Kami menunggu shalat Subuh. Ngantuk dan lelah saya tahan saja. Kami juga shalat sunat Idul Adha sekitar pukul 07.00. Benar kata orang, di Mekkah suasana biasa saja. Tak ada takbir, tak ada tahmid. Jamaah juga lebih banyak shalat Subuh. Takbir hanya terdengar pada awal khutbah. Lebih meriah di Indonesia.

Usai sudah “kewajiban” yang harus saya lakukan saat itu. Lega rasanya. Tinggal menunggu nanti shalat Jumat. Saya pulang dan tidur sepuasnya. Rasanya seperti “balas dendam” istirahat.

Mekkah, Jumat, 22 Februari 2002

 

Melontar Jumroh Aqobah, Mabit di Mina, Terpisah Sebentar dari Rombongan

 

Seharusnya kami mabit di Mina dan menempati tenda yang telah disediakan di Mina. Namun, dari segi teknis pelaksanaan lebih susah dan letak tenda jauh dari tempat melempar jumroh. Oleh karena itu, diputuskan dengan cara lebih mudah, yaitu berangkat siang dari maktab dan mencari tempat di dekat jumroh, melempar, lalu mabit sampai pukul 24.00.

 

Kami berangkat naik bus ke Aziziah –daerah Mekkah yang sudah mendekati Mina. Kami berjalan beriringan tiap kelompok ke lokasi melempar jumroh sekitar 1 km. Saya sempat terpisah dari rombongan. Awalnya saya berjalan di depan dengan pemandunya –mukimin Indonesia, ada yang mahasiswa. Pemandu berjalan cepat sekali dan istri saya masih tertinggal di belakang. Di tengah jalan –sudah dekat di lokasi- saya mengambil inisiatif menunggu istri tetapi setelah saya tunggu lama rombongan istri belum ada yang lewat.

 

Saya mulai ragu antara berjalan ke depan atau ke belakang atau tetap saja duduk di situ menunggu. Saya membawa tas plus perbekalan yang agak berat, kalau jalan ke belakang juga berat. Panas lagi. Padahal rombongan yang di depan sudah tak kelihatan lagi meskipun membawa tongkat panjang berlogo Pupuk Kaltim dan saya belum tahu nanti lokasi mabitnya di mana. Rombongan depan tetap tidak saya temukan, sedangkan yang belakang tetap belum lewat. (Belakangan saya tahu bahwa rombongan belakang juga berhenti lama dan lewat jalan pintas). Saya berjalan saja pelan-pelan sambil tengak-tengok siapa tahu melihat tanda logo rombongan. Namun, bagaimana mau mengenali, arus jamaah datang bagai air bah. Jalanan penuh orang. Ya sudah, terpisah dari rombongan. Saya kontak pakai HP ternyata tidak berfungsi. SMS juga gagal. Ya sudah, namanya terpisah mau bagaimana lagi.

 

Saya berjalan-jalan saja sambil melihat-lihat dan bolak-balik mengirim SMS menjelaskan posisi dan menanyakan tempat rombongan. Kadang ada juga SMS yang masuk meski waktunya lewat. Pernah saya SMS bahwa posisi saya di depan Mina Hospital (belakangan saya tahu kalau dicari di depan situ sudah tidak ada). Posisi di depan Mina Hospital juga menimbulkan beberapa praduga, mengapa di RS? Ada apa? Padahal saya memilih di situ karena itu tempat yang mudah ditandai dan yang berhuruf latin. Lainnya tulisan Arab.

 

Saya berjalan menuju jumroh Aqobah. Beberapa barang yang membuat tas berat saya tinggal. Saya shalat Ashar di pinggir jalan. Saya beristigfar dan mohon ampun bila ada kesalahan. Jamaah makin banyak saja. Beberapa rombongan datang melempar dan pergi. Saya ada di lantai 2 dan ikut melempar jumroh Aqobah. Saya melempar bersama rombongan dari Ciputat-Jakarta. Sewaktu mengobrol dengan pimpinan rombongan, bapak ustadnya bertanya kenapa saya sudah tidak memakai baju ihram. Saya jawab karena saya sudah melakukan thawaf, sa’i dan tahalul sehingga sudah bisa melepas pakaian ihram. Ustad heran, kenapa bisa? Saya jawab, bahwa itu sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu dan kata beberapa ulama, sah. Juga kemarin, di Masjidil Haram juga sudah banyak yang melakukan. Dia tetap heran. Akhirnya, saya katakan, “Ya, mungkin bisa untuk bahan kajian nantinya.”

 

Saya menunggu, mana rombongan saya? Kok, tidak ada yang melempar di lantai 2? Saya berjalan-jalan lagi sambil mencari rombongan. Hari mulai gelap. Saya mulai berpikir seumpama tidak bertemu, saya akan mabit sendiri. Toh, batas Mina kelihatan, karena ada tanda tulisan besar: “The End of Mina”. Setelah pukul 24.00 saya akan mencari taksi ke maktab. Beruntung saya bertemu dengan dua orang mukimin dari Indonesia. Saya ngobrol banyak hal sambil memberi tahu, kalau terpisah dari rombongan. Dia juga sedang mencari familinya dari Indonesia.

 

Saya berjalan-jalan sambil mencari bersama. Saya susuri jalan sisi kanan dari arah Mekkah. Banyak sekali jamaah yang mabit di situ. Berkelompok dengan bendera, seragam, panji-panji kelompoknya. Si mukimin bertanya, apakah rombongan saya berseragam. Saya iyakan dan menurut dia kalau berseragam kemungkinan besar bisa bertemu karena akan ketahuan. Hanya tinggal tunggu waktu. Saya jadi optimis bahwa akan bertemu dengan rombongan. Saya urutkan mencari dari rombongan ke rombongan lainnya di tepi jalan. Hari sudah gelap. Sempat saya kontak Pak Abdillah via HP teman mukimin dengan nomor lokal Arab. Akhirnya, antara Magrib dan Isya saya bertemu Amirul Haj, Pak Yoi dan Pak Zulkov yang sedang mencari saya. Lega sudah. Saya pun bergabung dengan rombongan yang ternyata di sebelah kiri jalan arah Mekkah di lantai 1 dekat Jumrotul Ulla. Tak lupa saya minta maaf kepada pembimbing karena telah merepotkan. Saya makan malam dan shalat Magrib-Isya. Jadilah saya bermabit ria di pinggir jalan beratapkan langit.

 

Ini sebuah pengalaman. Sesuatu yang sudah direncanakan ternyata ada yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam rombongan sebaiknya tidak ada yang terpisah. Harus kumpul terus satu rombongan. Dan ternyata, teknologi tak selamanya bisa menjamin. Nyatanya sinyal HP tak ada sama sekali, padahal sebelumnya sudah ditest dengan hasil lancar semua.

 

Ada hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Ternyata mabit begitu krodit dengan banyak orang. Tidak seperti ritual ibadah. Malah seperti menunggu pergantian tahun baru. Mungkin saya salah, tetapi memang seperti itu suasananya. Hal ini terjadi kemungkinan karena kami tidak mengambil jatah tenda untuk mabit. Kami hanya “meng-kavling” pinggir jalan untuk mabit sehingga suasana ibadah sudah berkurang. Bagaimana mau zikir atau mau mengaji kalau banyak orang lalu lalang di sekitar saya. Ada juga pedagang yang menawarkan jualannya. Saya mengobrol saja sambil duduk-duduk. Ada yang tiduran. Banyak TKW –terlihat dari dandanannya- menemui sanak familinya. Ada juga TKW yang menjual makanan. Dia tahu pasarnya dengan menawarkan ke jamaah Indonesia. Kita seperti di pasar malam. Makan sambil ngobrol, bercanda dan tetap saja antre kalau di toilet. Dan debu tetap saja ada di mana-mana.

 

Pelaksanaan melempar jumroh seperti permainan perang-perangan. Ada rombongan datang lengkap dengan pimpinan rombongan dan panji-panji, bendera atau tanda rombongan tersebut. Mereka berjalan beriringan seperti lomba barisan defile pada pembukaan Porseni. Menunggu sebentar, lalu melemparkan kerikilnya. Setelah seluruh rombongan melempar jumroh, mereka kembali lagi beriringan. Rombongan datang dan pergi. Begitu seterusnya sampai berganti hari.

 

Saya nikmati saja mabit ini. Banyak kejadian yang tidak saya sangka. Saya pikir ritual ini sakral, ternyata biasa saja. Memang perlu fisik yang kuat karena banyak berdesak-desakan dan debu tetap saja menemani. Setelah pukul 24.00, kami berjalan beriringan pulang menuju Aziziah dan menunggu bus ke maktab. Banyak juga yang masih mabit atau mungkin tidur di Mina. Ternyata banyak juga bus-bus umum yang menawarkan jasanya ke Al-Haram.

 

Mekkah, Sabtu, 23  Februari 2002.

 

Melontar Jumroh yang Sporadis

Kami ke Mina lagi dengan naik bus setelah shalat Ashar. Kami melempar jumroh Aqobah, Wusta dan Ula berurutan pada sore hari. Waktu afdolnya sebenarnya siang hari setelah shalat Dhuhur. Di dekat ketiga jumroh, sepertinya tak beraturan dan sporadis. Semua ingin berlomba cepat dan ingin menyelesaikan tugas ibadahnya. Apa yang terjadi? Semua berebut beribadah. Hukum alam menjadi kentara. Yang kuat akan menang. Yang lemah terseret-seret atau meminta perlindungan yang kuat, atau mengatur waktu yang tepat untuk melempar, menunggu tempat yang luang. Itulah yang tidak saya sangka pada saat melempar ketiga jumroh di hari kedua mabit di Mina. Apa hal ini termasuk beribadah yang berlebihan? sporadis, berdesakan, penuh emosi ingin melempar jumroh. Ya Allah, kenapa suasananya seperti ini? Ada yang mendzalimi saudaranya sendiri. Bahkan ada yang berkelahi. Haji berkelahi? Tak terpikirkan. Tidak bisakah dibuat cara yang lebih teratur untuk melontar jumroh. Barangkali inilah wajah asli manusia. Tak sabaran, egois dan tak disiplin. Mungkin inilah tempat yang paling krodit selama ibadah Haji.

 

Bisa dibayangkan berjubelnya manusia. Berapa juta umat? Mungkin ada sekitar dua juta -yang 200 ribu dari Indonesia. Dua juta umat terkonsentrasi pada suatu daerah sekitar 6 km2 di Mina. Atau lebih kecil lagi pada tiga titik, masing-masing seluas sekitar 250 m2 untuk tempat melempar jumroh di Aqobah, Wusta, dan Ula. Mereka hanya mempunyai waktu satu hari alias 24 jam. Jadi, dalam 24 jam terjadi pergerakan dari satu titik ke titik lainnya. Berapa konsentrasi manusia pada titik itu? Kalau hitung-hitungan kasar bisa mencapai angka 300-an per m2/jam atau 6 orang per m2/menit. Perlu waktu sekian menit untuk melempar ketiga jumroh. Jelas tidak seimbang antara jumlah manusia dan luas tempat dan waktunya. Itupun masih tidak sama waktu konsentrasinya karena pergerakannya didasari oleh keinginan menyelesaikan tugas ibadah secepatnya.

 

Debu, kotoran sisa barang seperti botol air mineral, tas plastik, sandal menumpuk di mana-mana. Bahkan di dekat jumroh ada tumpukan sandal setinggi satu meteran. Padahal sudah ada mobil penyedot barang-barang bekas yang lalu lalang menyelesaikan tugasnya. Memang tidak berimbang antara produksi sampah dan pemungutannya. Produksi sampah berlebihan. Hal ini dipacu oleh banyaknya orang atau perusahaan yang bersedekah, membagi gratis minuman dalam kemasan kepada jamaah haji. Mereka membagi dengan menggunakan mobil.

 

Kami mengambil Nafar Awal dan 3 hari melontar jumroh. Berurutan melontar jumroh Aqobah, Wusta, dan Ula pada satu hari di antara ritual mabit di Mina. Saya melempar per kelompok dan ada pemandunya. Untuk urusan ibadah, rasanya lancar-lancar saja.

 

Pada musim haji, di mana-mana sangat mudah dijumpai pedagang kaki lima. Juga di Mina. Pedagang kaki lima banyak di sana-sini. Ada yang hanya menggelar dagangannya di pinggir jalan atau ada yang menjajakan. Orang-orang Afrika, Turki, Eropa Timur, Pakistan, Bangladesh, juga Indonesia. Orang Indonesia biasanya para mukimin atau TKW yang memanfaatkan waktu musim haji. Mereka berjualan makanan ala Indonesia dan menawarkan langsung ke kelompok jamaah Indonesia. Ada kacang goreng, kedelai goreng, lotis, nasi bungkus, dan kerupuk. Teman-teman banyak yang beli untuk sekadar oleh-oleh. Ada yang membeli peci, tasbih, pisau, atau alat-alat listrik. Saya membeli teropong buatan Uni Sovyet SR35 dan teropong anak-anak seharga SR3. Kalau tidak ingat ini di Mina, suasananya seperti pasar malam. Orang-orang lalu-lalang, berjubel, berdesakan. Ada yang duduk bergerombol menunggu batas mabit pukul 24.00, ada yang mondar-mandir. Ada penjual, ada pembeli, ada tawar menawar. Klop sudah. Pengemis juga banyak sekali. Entah suasana apa yang tepat menggambarkan hal seperti ini. Antara kepentingan dunia dan akhirat menjadi satu.

 
Mekkah, 24 Februari 2002

 

Laporan PKTV Ke-4

Pemirsa PKTV di Bontang, dapat saya laporkan dari Mekkah Al-Mukaromah:

¨       Rombongan haji PKT telah menyelesaikan semua tahapan ritual haji. Dimulai dari ihram dari miqot, wukuf, mabit di Muzdalifah dan mengambil batu, thawaf, sa'i, tahalul, mabit di Mina dan melempar tiga jumroh selama tiga hari berturut-turut.

¨       Secara umum kondisi kesehatan jamaah haji PKT sehat-sehat saja. Semua dapat melakukan ritual wajib haji. Bahkan sudah mulai dengan ibadah sunatnya. Memang setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina yang penuh debu, batuk mulai menghiasi.

¨       Ada berita dari rombongan jamaah PKT Tiga Utama, yaitu Pak Hariyadi meninggal dunia pada hari Jumat, 22 Februari 2002 pada saat ibadah melempar jumroh. Memang almarhum sempat sakit sewaktu ibadah wukuf dan menurut informasi kesehatannya membaik, tetapi nampaknya Allah mempunyai rencana lain.

¨       Demikian yang dapat saya sampaikan dari Mekkah Almukarromah dan rencananya nanti siang sekitar pukul 14.00 kita akan mengunjungi tempat pemotongan hewan kurban.

 
Mekkah, 25 Februari 2002
 
 
 
 
 

Catatan Haji yang Sangat Menarik *)

Oleh Mudjib Utomo

 

 

Sesungguhnya, bagi yang pernah menunaikan ibadah haji, menyimak Catatan Haji: Sebuah Hati, karangan Sunaryo Broto, rasanya seperti napak tilas saja atau melihat cermin yang bergerak. Semua pernik-pernik pengalaman haji ia catat begitu detail. Dari sejak persiapan yang sangat awal semuanya ia catat sedemikian rupa. Salah satu contohnya, bagaimana ia berusaha memperkokoh dan memantabkan niatnya untuk pergi haji, ia gambarkan dengan sangat baik. Karena itu, lebih-lebih lagi bagi Calhaj, buku ini sangat sayang kalau diabaikan.

 

Broto –demikian ia biasa dipanggil- menulis, ‘hanya’ untuk memperkokoh niat pergi haji saja, ia  sampai menyempatkan diri untuk membuat lukisan Masjidil Haram dan Ka’bah. Barangkali gambar Ka’bah di sampul depan buku ini merupakan lukisan yang ia ceritakan di halaman 13 itu. Dalam hal apa pun, niat memang sangat penting.

 

“Saya pun mengkliping tulisan-tulisan haji dari Jurnal Haji Republika,” katanya. Tidak cukup hanya itu, tulisan-tulisan tersebut ia baca dan pelajari dengan baik.  Ia juga sering mendatangi acara pamitan haji dan penyambutan jamaah haji. Lalu sering dolan ke rumah teman yang akan naik haji. Cara-cara semacam itu, menurut Broto dalam tulisannya, bisa menjadi pemicu semangat dan spirit untuk mempertahankan niatnya untuk pergi haji.

 

Dari apa yang digambarkan Broto dalam catatannya, saya kira merupakan pengalaman yang sangat manusiawi. Dan tentu saja, sejumlah orang juga akan mengalami hal yang mirip, saat bercita-cita akan ‘naik haji’. Karena itu, secara tersirat sesungguhnya ia seakan menggambarkan kekhawatiran dan sekaligus ketakutan banyak orang : Bisa atau tidak untuk ikut menunaikan ibadah haji? Masihkah umur kita masih panjang? Kesehatan juga masih tetap bagus dan prima?

 

Dalam banyak hal, dalam urusan niat (pergi) haji ini, memang seringkali terjadi sesuatu yang tidak terduga. Misalnya ada uang tapi tidak ada waktu berangkat, bisa juga karena kehabisan seat, atau sakit, atau halangan lainnya atau bahkan belum memiliki niat. Sebaliknya ada juga yang niat dan keinginannya menggebu-nggebu, tapi bekal (uang) belum punya sama sekali. Tapi bisa juga nyata-nyata seseorang tidak ada uang sama sekali -karena itu memimpikan niat saja belum berani, eh kok ya tiba-tiba saja ada yang bersedia memberangkatkannya. Misteri seputar masalah haji saya kira memang seringkali luar biasa.

 

Harus saya akui, karya Broto ini begitu detail. Seringkali apa yang ia ungkapkan juga begitu pribadi, namun tetap layak untuk direnungkan pembacanya. Ia juga menulis begitu kronologis, bahasanya yang lugas, apa adanya, dan kadangkala lugu –ia, dalam buku catatan ini,  nyaris tak menutup-nutupi apa yang terjadi. Bahasanya yang enak, lancar, dan mengalir, menjadikan catatan yang ia buat menjadi layak disimak, tidak saja bagi jamaah haji seangkatannya (tahun 2002), tapi juga bermanfaat bagi jemaah haji lainnya, khususnya Calhaj asal Bontang, dan lebih khusus lagi yang berasal dari keluarga besar Pupuk Kaltim. Dalam terbitan pertama, buku ini menjadi rebutan calhaj dan saat itu banyak yang berkomentar, buku ini layak dibaca karena lokalitas Bontangnya itu. Dan tentu saja, bagi calon jamaah haji –apalagi yang mengikuti bimbingan Abdillah dan Asfiani- catatan perjalanan ini sangat  perlu disimak. Catatan yang dibuat cukup telaten, kronologis dan kadangkala sangat menyentuh hati, itu mampu menciptakan suatu bayangan seakan-akan kita sendiri yang melakukannya. Tentu itu sangat membantu bagi Calhaj.

 

Benar kata pak Miftah Farid dalam pengantar buku ini. Ia mengatakan, “pengalaman pribadi tersebut dapat bermanfaat bagi mereka yang akan menunaikan ibadah haji sebagai tambahan informasi dan sekaligus sebagai bekal spiritual  yang mungkin tidak tersentuh secara langsung dalam kajian fikih haji. Hal yang menarik, selain diberi pengantar oleh Dr. Miftah Farid, salah satu dosen ITB, buku ini juga diberi kata penutup yang cukup bagus dari seorang pembimbing haji yang telah belasan tahun mukim di Arab Saudi, yaitu Asfiani Nurhasani. Belum cukup, prolog dari Eddi Haryogya juga ikut memperkaya buku ini.

 

***

 

’Misteri’ Ka’bah

Siapa pun yang memasuki Kota Makkah pertamakalinya, lebih khusus lagi menjelang memasuki Masjidil Haram, akan berkecamuk sejuta pikiran. Gambaran tersebut tentu akan lebih dramatis lagi bila kunjungan (ke Ka’bah) itu dilakukan untuk yang pertamakalinya bertepatan dengan musim ibadah haji. Hiruk-pikuk jutaan jamaah menjadikan Ka’bah makin ’mistis’. Lalu melintas bayangan masa kecil tentang shalat yang harus menghadap ke Ka’bah, tentang kisah Nabi Ibrahim, juga keingintahuan yang besar untuk melihat bagaimana ’tampilan’ yang sebenarnya tentang Rumah Allah itu? Bagaimana kalau Anda dihadapkan pada suasana sedemikian rupa untuk pertama kalinya?

 

Broto menulis dengan apik tentang pengalamannya melihat Ka’bah yang pertamakalinya ini. ”Awalnya saya tegang dan berdebar juga menatap Ka’bah –yang menjadi kiblat shalat selama ini- untuk pertama kali,” katanya (hal. 39). Lalu tentang thawaf yang pertama kalinya ia lakukan, diungkapkannya dengan haru-biru yang mendalam. Katanya, Antara menghapal doa, mengingat putaran, dan kagum. Mata melihat Ka’bah, kaki melangkah menghindari pijakan kaki lain, tubuh mengatur desakan jamaah lain, telinga mendengarkan petunjuk  pembimbing membaca doa, sedangkan otak mengingat jumlah putaran.

 

”Mengagumkan. Beberapa kali konsentrasi saya pecah antara percaya, heran, kagum, dan konsentrasi doa,” begitulah Broto menggambarkan awal melihat Ka’bah dan Thawaf untuk pertamakalinya. Orang lain tentu memiliki pengalaman yang berbeda. Tapi umumnya, semuanya akan mengalami untaian air mata yang meleleh deras, entah saat thawaf pertamakalinya, untuk yang kesekian kalinya, atau ketika melakukan thawaf wada’ atau thawaf perpisahan. Semuanya, bisa jadi, bercampur-aduk menjadi satu. Rasanya seperti ada kekaguman, sekaligus rasa sesal, kenapa mesti segera berpisah dari kiblat seluruh umat Islam itu?

 

Agar Tidak Terpisah

Di tempat asing, dengan jubelan jutaan umat manusia, apalagi sebagaimana suasana musim haji, melihat orang terpisah dari rombongan atau kesasar, atau tidak tahu arah dan bingung, di mana rombongannya, di musim haji nyaris menjadi pemandangan yang sangat biasa. Soal ini, Broto yang sempat terpisah di  padang jumrah, Mina, sebagaimana yang terungkap di halaman 71-73, sungguh dramatis. Ia mengungkapkannya dengan jujur dan menarik. Seingat saya, karena saya juga seangkatan dengannya (2002, tapi ikut jamaah Tiga Utama), ia sempat terpisah dari rombongannya dan ’kesasar’  beberapa jam dan kelompoknya juga kalang-kabut mencari kesana-kemari, tapi pihak yang dicari (alias pak Broto) mungkin nggak ngrasain kalau dicari dan istrinya juga sangat mengkawatirkannya. –Ini tentu pengalaman yang sangat menarik disimak, agar jamaah haji lainnya tak mengalami hal yang sama.

 

Bagaimana caranya? Salah satunya dengan selalu membawa telepon seluler (HP), mengenali medan atau lingkungan atau tempat dengan baik, khususnya saat-saat awal kedatangan di suatu lokasi. Menghapal tanda-tanda jalan atau tempat juga sangat diperlukan, agar tidak kesasar.  Soal ini saya kira jutaan jamaah haji lainnya juga mengalami atau nyaris mengalami, dengan versi dan bumbunya masing-masing.

 

***

 

Selebihnya, Catatan Haji : Sebuah Hati karangan Sunaryo Broto, ini menurut saya sangat berbeda dengan buku-buku lainnya tentang haji. Ketekunannya untuk mengungkapkan secara detail segala sesuatu yang terjadi menjelang, saat, dan pulang haji menjadi daya tarik lain bagi pembacanya, khususnya para calon jamaah haji.

 

*) Disampaikan dalam Acara Bedah Buku Catatan Haji : Sebuah Hati, karya Sunaryo Broto, di Gedung Koperasi Pupuk Kaltim, Bontang, Sabtu, 5 Mei 2007.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar