Mau Dibawa Kemana TNK ?
Oleh : Sunaryo Broto *)
Propinsi Kaltim (Kalimantan Timur) adalah satu propinsi pemilik hutan terbesar di Indonesia atau sekitar 11 % dari total wilayah hutan di Indonesia. Sebagian besar wilayah Kaltim merupakan hutan tropis basah yang meliputi areal seluas 17.291.440 ha (hektar) atau 81,78 % dari total luas hutan daerah ini. Pembagian wilayah hutan sesuai pemanfaatannya sampai tahun 1990 adalah hutan produksi tetap seluas 5.497.280 ha, hutan produksi terbatas seluas 4.997.280 ha, hutan lindung seluas 3.472.290 ha, hutan suaka alam/wisata seluas 2.030.200, hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 1.276.830 ha dan hutan pendidikan & penelitian seluas 17.560 ha. Hutan produksi paling besar persentasenya dari seluruh jenis hutan yang terdapat di daerah ini yaitu sekitar 26 %. Hasil utamanya berupa kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti jenis meranti, kapur, keruing, bangkirai, nyatoh, agathis, bakau, perupuk dll. Hasil hutan ikutan yang penting lainnya adalah rotan, sarang burung, kayu gaharu, tengkawang, madu dllnya. TNK (Taman Nasional Kutai) adalah salah satu hutan lindung yang ada di Kaltim tepatnya di Kabupaten Kutai (dulu) yang luasnya mencapai 200.000 hektar. Mungkin data-data di atas, luasnya sudah berkurang karena aktivitas manusia.
Akhir-akhir ini kondisi TNK menjadi babak belur dihajar perambah hutan. Seperti dilaporkan Harian Kompas, 12 Oktober 2000, kondisinya kini benar-benar menghadapi kehancuran yang sebenarnya. Buldoser dan raungan mesin chainsaw seperti berlomba menebangi pohon-pohon dan menghempaskan ketenangan kawasan itu. Hutan seperti diobok-obok. Dalam sehari buldoser itu mampu mengangkut sekitar 50 batang kayu ulin dari lokasi penebangan ke lokasi penumpukan. Dapat dibayangkan bila dalam waktu satu bulan sudah berapa ratus ulin dan pohon langka lainnya bertumbangan. Pihak TNK juga sudah berteriak-teriak, “Kami sudah melaporkan ini kepada pihak perusahaan dan instansi terkait tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan. Kami juga kesulitan menghentikannya karena mereka beralasan di lapangan tidak ada batas yang jelas. Padahal hasil pengukuran kami sudah jelas masuk kawasan TNK”. Kegiatan penebangan kayu ilegal tersebut berlangsung di TNK Sebulu-Menamang yang dilakukan PT Dua Putra Nan Jaya –perusahaan kontraktor logging dari 2 HPH (hak pengusahaan hutan) di daerah tersebut.
Aksi lain penebangan dan pengangkutan kayu terjadi di sepanjang jalan Bontang-Sangatta. Penggambaran Harian Kompas, seperti menyaksikan tontonan proses hancurnya kawasan hutan yang mewakili kelestarian hutan hujan tropis dataran rendah Kalimantan Timur. Benar-benar menyedihkan. Para perambah begitu leluasa membuka lahan, berkebun bahkan berusaha sebanyak-banyaknya mengkapling lahan dan diperjualbelikan.”Berdasarkan citra satelit terakhir kerusakannya sudah mencapai 26.000 hektar dan hampir seluruhnya dikuasai masyarakat”, ungkap Kepala TNK, Dr. Ir. Tonny R Suhartono MSc. Jauh lebih besar dari usulan Pelaksana Harian Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak yang mengusulkan pelepasan kawasan TNK seluas 15.000 hektar kepada Menteri Kehutanan. Sampai saat ini usulan tersebut belum disetujui padahal sudah mengumumkan dan memicu aksi perambahan hutan.
Dr. Tonny R Suhartono MSc. nampaknya sudah pasrah dan mengibaratkan kawasan hutan ini seperti kapal pecah. “Kami rasanya sudah putus asa menghadapi persoalan ini. Sekarang tinggal kemauan semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Jika ingin tetap mempertahankan keutuhan TNK maka harus ada kerja sama yang kuat untuk menghentikan kegiatan para perambah. Jika tidak, Pemda Kaltim mengevaluasi keberadaan TNK”, ujarnya pasrah. (Kompas, 24 Februari 2000)
Nampaknya bukan itu saja yang terjadi pada masyarakat, hampir semua masyarakat yang dekat dengan Taman Nasional ataupun hutan milik Perhutani melakukan penjarahan. Baik itu di Taman Nasional Tanjung Putin-Pangkalan Bun, di Sumatra, di Kalimantan dllnya. Pencurian kayu di P. Jawa, yang dikelola Perum Perhutani mencapai 1,3 juta pohon dan negara dirugikan hingga Rp 273 milyar. Bahkan beberapa oknum karyawannya malah bermain dalam pencurian kayu. “Perum Perhutani sendiri telah menindak 191 karyawannya dengan berbagai sanksi”, kata Dirut Perum Perhutani, Abas TS (Republika, 24 Oktober 2000)
Fungsi Hutan Tropika
Hutan tropika basah Indonesia merupakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang mempunyai peranan penting dan strategis bagi bangsa Indonesia, baik sebagai sumber bahan baku untuk berbagai kepentingan pembangunan, perlindungan ekosistem dan plasma nufkah, sebagai penghasil devisa negara yang potensial maupun sebagai persediaan ruang dan perlindungan bagi kelangsungan pembangunan (Anon, 1988).
Hutan tropika merupakan sumber dari : Konservasi tanah, iklim dan tata air (fungsi hutan lindung); Keindahan dan kekayaan alam serta kehidupan margasatwa (fungsi pengawetan dan perlindungan alam/suaka alam); Kekayaan alam yang secara langsung nilai ekonomis (fungsi hutan produksi)
Hutan alam tropika di Indonesia telah mengalami perubahan oleh upaya manusia dalam mencukupi kebutuhannya. Karena perubahan tersebut akan menimbulkan dampak baik langsung maupun tak langsung yang menimpa hutan. Ada beberapa dampak terhadap pengusahaan hutan, diantaranya : Dampak terhadap iklim mikro (ekoklimat), tanah, hidrologi dan kualitas air, potensi hutan, aspek genetis, satwa liar dan konflik sosial.
Dengan banyak fungsi tersebut di atas, hutan adalah asset yang sangat besar untuk kepentingan masyarakat. Terlebih dengan adanya UU No 22 dan No 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka hutan menjadi asset yang strategis untuk pengembangan daerah di masa yang akan datang.
Siapa yang Harus Menjaga TNK ?
Dengan banyak fungsi di atas, hutan pada umumnya dan TNK pada khususnya harus tetap dijaga keberadaanya. Perambahan hutan dan sudah melanda kawasan hutan lindung sangat memprihatinkan. Hal ini bila tidak dicegah maka fungsi hutan akan terganggu dan yang rugi adalah masyarakat itu sendiri. Untuk mempertahankan keberadaan hutan/TNK, siapa yang harus menjaga ? Tentunya, para stake holder hutan/TNK itu sendiri diantaranya TNK, Lembaga ekskutif, legislatis & yudikatif daerah, masyarakat dan Industri di sekitarnya.
TNK memang sudah berupaya keras menjaga dengan keterbatasan tenaga dan dana, kalau masyarakat tidak ikut membantu juga kewalahan. Lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif daerah harus juga menjaga dengan menetapkan regulasi dan menindak pelanggar regulasi tersebut. Yang paling utama adalah aspek kemauan bersama dan aspek komitmen moral serta penegakan hukum dari pihak terkait yang menangani bidang tersebut, meminjam perkataan anggota Komisi D (Pembangunan) DPRD Kaltim, HM Ridwan Suwidi. (Manuntung Kaltim Post, 23 Oktober 2000). Bila tidak akibatnya akan semakin parah. Seperti dikawatirkan Wartawan Kaltim Post, Sofyan Masykur, kalau semua produk aturan, wibawa kekuasaan, institusi kelembagaan tidak diindahkan serta kontrol dan supremasi hukum sudah semakin melemah dan kalau semua kehilangan arah maka tunggu saja wajah hutan di Kaltim akan semakin sakit dan sukar disembuhkan (Kaltim Post, 22 Oktober 2000).
Yang utama adalah penyadaran masyarakat karena masyarakat merupakan pihak yang paling berkepentingan dengan adanya hutan tersebut. Baik masyarakat perambah langsung maupun para cukong-cukong di baliknya. Tetapi mencermati keadaan sekarang yang baru euforia reformasi nampaknya perkembangan masyarakat malah membuat kecenderungan yang kontra produktif. Mereka seenaknya saja membabati hutan tanpa mempedulikan hukum yang berlaku dengan mengatasnamakan reformasi dan kebutuhan ekonomi dan psikologi. Kalau banyak masyarakat masih belum sadar akan fungsi hutan memang diperlukan beberapa langkah sosialisasi masyarakat tentang keberadaan TNK. Bisa juga dengan melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli pada lingkungan (Walhi, Bikal, Plasma, NRM ?) untuk mengadakan sosialisasi dan program peduli lingkungan pada masyarakat. Apa yang telah dilakukan oleh LSM Bikal dll. bisa dilanjutkan. Hal ini sejalan dengan UULH (Undang-Undang No : 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) Bab III tentang Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bisa juga kerja sama dengan media masa untuk memberikan sesuatu yang kondusif bagi keberadaan TNK.
Tetapi nampaknya belum banyak LSM di sekitar TNK yang berperan dalam sosialisasi peduli lingkungan. Yang sering terdengar adalah seruan nyaring LSM di media massa yang mengaku peduli daerah Kaltim tetapi masih terjebak pada permainan politik dan masalah kontribusi Industri pada daerah sekitar. Mereka belum berpikir bahwa lingkungan yang ada harus dijaga dan dilestarikan untuk pengembangan daerah. Mereka belum berpikir bahwa hutan itu juga asset daerah yang bisa “diberdayakan” untuk kemajuan daerah.
Masyarakat juga harus dibedakan antara masyarakat yang sudah berdomisili lama di sekitar TNK dengan para perambah yang muncul belakangan. Apalagi para cukong yang hanya mencari kesempatan untuk kepentingan pribadinya tanpa mempedulikan akibat jangka panjangnya. Kalau yang disebut terakhir ini sebaiknya ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pada akhir tahun 1995, pernah terdengar program Kemitraan TNK dengan 8 kegiatan yang melibatkan industri-industri di sekitarnya antara lain PT Pupuk Kaltim, PT Kaltim Prima Coal, Pertamina Sangatta, PT Badak NGL, PT Indominco Mandiri, PT Surya Hutani Jaya, PT Kiani Lestari, PT Porodisa dan melibatkan Unesco. Tetapi sampai sekarang keberadaan program tersebut tidak terdengar lagi. Ada baiknya program tersebut ditindaklanjuti dengan beberapa program yang lebih fokus kepada penyadaran masyarakat akan fungsi hutan/TNK.
Adalah upaya yang baik diadakannya Lokakarya TNK di Pertamina, Sangatta 31 Oktober 2000 yang melibatkan Meneg. Lingkungan Hidup, Direktur Perlindungan Hutan dan Perkebunan Ditjen Perlindungan Konservasi Alam, para pakar perguruan tinggi (Unmul, UGM, ITB), TNK, dan beberapa LSM. Semua peserta sepakat bahwa persoalan dan perambahan hutan harus segera dihentikan. Hampir semua peserta meminta kepastian terhadap 16.000 warga yang ada di beberapa desa di kawasan tersebut. Diharapkan dari hasil lokakarya tersebut, beberapa kebijakan yang diambil untuk menyelamatkan TNK dan 16.000 jiwa dapat diterapkan dengan baik. (Kaltim Post, 1 Nopember 2000). Program Enclave (kantung permukiman) yang telah disetujui Departemen Pertanian dan Kehutanan bagi 4 desa definitif harus cepat dilaksanakan supaya menimbulkan kepastian. Tidak menutup kemungkinan penyelesaian di luar desa itu, masih belum jelas batas wilayahnya sehingga papan-papan TNK bisa berubah menjadi bangunan rumah tinggal.
Penutup
Persoalan perambahan hutan sudah bukan persoalan regional Kaltim saja, tetapi sudah menjadi isyu internasional. Buktinya, sekumpulan negara pemberi bantuan pinjaman yang tergabung dalam CGI (Consultative Group on Indonesia), masih mempermasalahkannya persoalan tersebut dalam penyaluran hutangnya kepada pemerintah Indonesia. Isyu lingkungan lebih bergema daripada isyu politik.
Persoalan perambahan hutan/TNK adalah persoalan penegakan produk hukum untuk pendidikan masyarakat bahwa peraturan itu untuk ditaati, bukan untuk dilanggar. Kalau tidak, plakat TNK di beberapa tempat yang berbunyi, “Anda Berada di Areal Kawasan Pelestarian Alam ; Dilarang berburu, berkebun, berladang, mendirikan bangunan, memungut hasil hutan dan bahan baku galian (UU No : 5 Tahun 1990) ; Dilarang menebang pohon dan akar hutan (PP. 28 Tahun 1985)” tidak akan berarti apa-apa. Kalau hal ini diteruskan dan TNK babak belur maka akan menjadi preseden buruk.
Dan lagi, bila perambahan hutan di wilayah TNK tidak dihentikan pohon-pohon beserta ekosistem di kawasan tersebut bisa terancam. Misalnya pohon ulin berdiameter lebih dari 2,5 meter dan yang berusia lebih dari 100 tahun di Sangkimah akan ikut ditebang. Dapat dibayangkan, akan memerlukan berapa lama untuk menggantinya. Kasihan anak cucu kita besok tidak dapat menikmatinya. Dan hutan tropis Kaltim yang menjadi salah satu paru-paru dunia hanya akan menjadi cerita sejarah saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar