Selasa, 18 Desember 2007

Puisi Perjalanan

Di Makam Tuanku Imam Bonjol, Menado

 

Bangunan itu sederhana

Dengan bentuk atap berjenjang

pada pintu gerbang

 

Dan sepi menggigitnya

Seperti menjelang kepergian sang tuan

 

Jauh dari tanah kelahiran

Kau dikuburkan

Si juru kunci tergopoh menyambut

Mulutnya penuh buih bercerita

Tangannya menunjuk kotak sumbangan suka rela

 

Ah tuanku

Kau perangi Belanda dengan gagah

Seperti termuat dalam buku sejarah

 

Sungai kecil mengalir

Di rumah istirahat, dipinggir

Aku hampiri tempat sembahyang

Ada wajah membayang

 

Tuanku

Hanya waktu

Yang membedakan antara kau dan aku

Menado, 2003

 

Di Benteng Rotterdam, Makasar

 

Diponegoro, hanya satu kisah

Betapa gagah

Sang pahlawan menjadi nama jalan

Pada hampir setiap kawasan

 

Di Benteng Rotterdam

Di depan ruang tahanan, aku mengenang

Pintu kayu begitu kokoh membelenggu

Aku tahu tak akan bisa memenjara hatimu

 

Aku mencoba mencari makammu

Yang tak banyak orang tahu

Di suatu pekuburan sederhana

Di pinggir jalan

 

Diponegoro

Gambarmu ada di lembar kertas kuno

Seorang pria dengan wajah ulama

Menenteng keris dan mengendara kuda

 

Diponegoro, hanya satu nama

Ingat masa kanak

Pahlawan dengan sorban di kepala, ada di benak

Sewaktu belajar menggambar

Makasar, 2003

 

 

Naik Pesawat

 (Setelah tragedi pesawat terbakar di Yogya)

 

Menjelang senja

Rasa getar ada di kepala

”Ada pengumuman pesawat ditunda”

 

Duduk di ruang tunggu

Meniti waktu

Aku terkenang saja

Baru kemarin ada pesawat terbakar di Yogya

 

Tak banyak alternatif pilihan

Pada transportasi perjalanan

Banyak sudah cerita

Kereta yang terlepas relnya

Kapal yang tenggelam bersama

Pesawat yang menghilang di udara

 

Ramalan cuaca

Aku tatap saja

Petir menyambar membelah udara

Awan hitam menghias langit senja

 

Rasa getar itu tetap saja

Menjelang keberangkatan pesawat yang tertunda

Semoga semua baik saja

Solo, 8 Maret 2007

 

Di Kereta Argo

 

Kereta melaju

Menguak jendela pagi

Siapa yang peduli pada embun dini hari

 

Dia hanya setitik air tak berarti

Tapi tidak bagi daun tepi

Dihisapnya rejeki

 

Rumah-rumah pada berlari

Dihempas angin sepoi

 

Sawah terbentang

Seorang petani meniti

Siapa peduli pada harga pupuk tinggi?

 

Seorang anak sekolah

Berlari menatap hari

Siapa peduli biaya sekolah tinggi?

 

Orang-orang pada berjalan

Atau nongkrong di perempatan

Siapa peduli pada pengangguran?

 

Kereta tetap saja melaju

Sedang nafasku tak juga hilang satu

Solo-Jakarta, 16 April 2007

 

Jalan-jalan ke Sukuh

 

Sukuh hanya nama tempat

Kami menengok bila sempat

Lereng gunung Lawu yang luas

Indahnya begitu menghias

 

Sebuah candi teronggok di sana

Ada lingga yoni dengan bentuk seperti aslinya

Juga ada patung kura-kura

Batu bertingkat bersap-sap

 

Lama setelahnya

Tanaman cengkeh tak berasa

Wortel menjadi tak berharga

Bunga mawar dan krisan begitu juga

 

Adakah yang lebih indah dari sepotong bunga euphorbia?

Warna-warninya begitu mempesona

Adakah yang lebih indah dari keindahan adenium?

Adakah yang lebih indah dari kegagahan daun anturium?

 

Seorang petani menjual sapi

Dan mulai menyemai anturium biji

Seorang cukong tertawa

Dan menghitung laba

Karanganyar, 2007

 

Di Depan Istana Bogor

 

Memandang rusa-rusa

Padang rumput seperti savana

Seorang anak kecil menyapa

Bergembira menyambutnya

 

Sedang bangunan istana megah berwibawa

Tinggalan penjajah Belanda

Di pintu gerbang, seorang penjaga tersenyum ramah

Di sekitarnya banyak pedagang buah

 

Di Istana banyak lukisan dan benda bersejarah

Adakah yang sudah dijarah?

Banyak lagi patung dan guci

Supaya para tamu bisa mengagumi seni

 

Tuan Presiden kemana?

Nampaknya sedang sibuk bekerja

Mengurusi bencana demi bencana

Yang sepertinya tak akan ada habisnya

 

Apa hasil pertemuan dengan Presiden Amerika?

Rasanya tak banyak gunanya

Seperti tempat helipadnya

Menjadi sia-sia

 

Protes sopir angkutan

Yang tak setuju pada kebijakan

Dan kerepotan masyarakat mencari jalan

Seolah hilang ditelan ingatan

 

Rusa-rusa masih makan bersama

Di depan Istana

Saya ingat novel Pramudya

“Dimana rumah Minke berada?”

                Pebruari 2007

 

 

Menjenguk Yogya

 

Melihat lagi Yogya

Umur terasa masih muda

 

Ingat masa mahasiswa

Pertama ke kota pelajar

Membeli kasur dan papan kayu

Untuk membuat rak buku

Berbenah menata waktu

 

Makan di warung murah

Dengan menu setengah

Tapi bicara politik dan kuliah

Bisa sampai berbusa-busa dan menambah kuah

 

Apa kabar teman-teman

Sudah banyakkah pengalaman?

Praktikum dan kuliah menjadi hiburan

Paling enak meminjam catatan

 

Apa agenda kegiatan?

Kuliah kadang tak sempat

Tetapi malah sibuk rapat

Melihat pameran dan ceramah ilmiah

Lumayan mendapat makan siang murah

 

Menengok Yogya

Seperti mengenang cerita

Waktu luang waktunya cengkerama

”Ayo ikut demo saja...”

”Naik gunung setujju saja...”

 

Mengenang kampus biru

Seperti naik gunung semeru

 

Mengenang Yogya

Umur terasa muda saja

                                Yogya, Akhir Mei 2007

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jalan-jalan ke Sukuh

 

Sukuh hanya nama tempat

Kami menengok bila sempat

Lereng gunung Lawu yang luas

Indahnya begitu menghias

 

Sebuah candi teronggok di sana

Ada lingga yoni dengan bentuk seperti aslinya

Juga ada patung kura-kura

Batu bertingkat bersap-sap

 

Lama setelahnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar