Jumat, 21 Desember 2007

Demang Atmodikromo

 

Daftar Isi

 

Pengantar : Sebuah Pohon Besar..………………………..  5

 

Daftar Isi……………………………………………………....  9

 

BAB I  : Sebuah Renungan  ……………………………....  .10

 

BAB II : Karang Manis Potret Desa Tandus……………....17

 

BAB III  : Bermula dari Kertodjoyo    ……………………..... 22

 

BAB IV  : Kartodiwongso, Anak Kertodjoyo ...…………...  25

 

BAB V : Si Sulung Demang Atmodikromo …….................29

 

BAB VI : Para Putra Sang Demang …………………….....48

 

BAB VII  : Darmosuwito dan Keturunannya …..................53

 

BAB VIII  : Sastro dan Keturunannya ……........................69

 

BAB IX  : Hadi dan Keturunannya ……............................ 74

 

BAB X  : Sutarman dan Keturunannya ……..................... 80

 

BAB XI  : Soekarno dan Keturunannya …….................... 86

 

BAB XII : Kenangan Karang Manis Seorang Cucu .........100 

 

BAB XIII : Catatan Seorang Buyut....................................105

 

BAB XIV : Penutup………………………………….............114

 

Lampiran I : Silsilah ..........................................................117

 

Lampiran II : Anggota Trah ...............................................119

 

Foto Kenangan dan Keturunannya....................................126

 

 

 

Pengantar :

Sebuah Pohon Besar

 

Apa yang diingat kalau kita berbicara tentang keluarga besar? Keluarga? Dalam kehidupan masyarakat Jawa yang namanya keluarga adalah bukan sekedar keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak. Tapi keluarga adalah sebuah keluarga besar. Kalau perlu sampai 2-3 generasi di atas kita. Itu masih ada sangkut pautnya. Hal itu tak sepenuhnya salah karena kita ada, harus ada yang mendahului. Dan itu generasi sebelum kita. Terlebih lagi kehidupan sebuah generasi adalah proses dari generasi sebelumnya. Tak bisa kehidupan yang ada sekarang ini terjadi secara tiba-tiba. Ada proses yang mengawalinya. Dan itu yang memproses adalah generasi sebelum kita. Untuk itu kita patut mengucapkan terima kasih pada generasi sebelum kita.

 

Soekarno tidak lahir mendadak. Dia berhasil karena atas usaha bapaknya, Rd. Sukemi menyekolahkan anaknya pada HBS (Hogere Burger School) di Surabaya meskipun dengan tingkat perekonomian yang sangat pas-pasan. Saat itu hanya dengan modal “kenekatan” orang tuanya mengirim Soekarno muda kost di rumah HOS Cokroaminoto. Coba kalau bapaknya tidak menyekolahkan di Surabaya dengan pengorbanan begitu banyak? Tak ada nama Soekarno dalam sejarah negeri ini. Kartini begitu juga. Tak ada nama Kartini, bila bapaknya tidak langganan beberapa majalah Eropa dan buku-buku Eropa untuk bahan bacaan anaknya. Bila Kartini dibiarkan saja seperti anak perempuan keluarga Jawa saat itu, tak ada pemikiran, tak ada surat menyurat dengan sahabat Eropa dan tak ada Habis Gelap Terbitlah Terang. Itu semua adalah upaya bapaknya sebagai generasi sebelumnya. Tak ada juga keluarga besar Emil Salim, bila waktu dulu bapaknya Agus Salim tak ngotot menyekolahkan dan mendidik Agus Salim. Tak ada generasi yang lahir mandadak. Hatta tak akan menjadi seorang proklamator dan pelaku sejarah bila tak mengalami sekolah di Belanda.

 

Apa arti sebuah sejarah? Apa arti sebuah riwayat? Ada salah satu hal yang dapat mendukung kesuksesan seseorang. Apa itu? Tradisi! Dalam film Dead Poets Society sekitar awal tahun 1990-an, sorang guru nyentrik bernama John Keating mengatakan bahwa ada 4 hal yang membuat seseorang bisa maju, salah satunya adalah tradisi. Bagaimana susahnya sepakbola Indonesia mendapat tiket piala dunia karena tidak mempunyai tradisi. Bagaimana perjuangan bulu tangkis Indonesia yang mendapat medali emas olimpiade karena mempunyai tradisi. Bacalah! Tradisi membuat seseorang bisa berkaca

 

Bila tokoh sejarah tentunya ada penulis lain yang akan menuliskannya. Tetapi karena keluarga saya belum menjadi ”tokoh” –setidaknya oleh anggapan umum- maka belum ada penulis yang meliriknya. Saya sebagai bagian generasi dari keluarga saya merasa ”terpanggil” untuk memulai menuliskannya. Barangkali untuk mengenangkan dan menghormati generasi terdahulu, saya akan mengorek kisah keluarga besar saya. Bagaimanapun juga pada setiap keluarga ada sisi positif yang tak ada salahnya dicatat. Apapun perannya, mereka termasuk berkontribusi pada proses yang terjadi pada saat ini. Hal ini kalau tak dituliskan akan hilang ditelan zaman dan waktu.

 

Catatan manusia adalah terbatas. Terlebih ingatan. Begitu juga pada keluarga besar ini. Hanya ingatan sepotong-sepotong, dengan beberapa nara sumber dan catatan. Surat tulisan tangan Soekarno kepada kakaknya Dharmosuwito juga menjadi sumber dari naskah ini. Juga Buku Tahunan Sakabat (1997) dan cerita dari cucu-cucunya yang masih teringat seperti Sumirah, Suprapto dll. Belakangan Agam Bintoro –salah seorang cicit Demang- mengirim tulisan, juga Dr. Soetoro –salah seorang cucu. Malah Soekarno menuliskan lagi renungannya yang panjang dan dibantu salah seorang cucunya, Giri Kuncoro. Hal itu menjadi sumber yang berharga dari catatan sejarah keluarga besar. Meski tak cukup, tak apalah sebagai sebuah permulaan. Nanti catatan ini akan berkembang seiring dengan bertambahnya waktu. Bila diandaikan buku ini sebuah pohon, bisa juga menambah lagi ranting pohon hingga sebuah buah yang lahir dan akan dipandang buah tersebut oleh banyak orang. Bukan karena apa-apa, tetapi karena buah tersebut memberi manfaat pada banyak orang. Seperti sebuah rahmatan lil alamin, bila itu tak berlebihan disebutkan.

 

Tak lain semua itu supaya nanti, generasi anak-anak saya –generasi digital- tak terputus informasi tentang keluarganya yang nota bene mainannya masa kecil hanya memancing, petak umpet, sopiran dll. Mereka dapat menelusuri dan meneruskan catatan ini. Tak ada kata “missing link” pada keluarga ini yang belum seberapa “besar”. Tapi siapa tahu besok bisa beranjak “besar”. Buku ini siapa tahu juga sebagai ajang silaturahmi atau pemersatu seperti pesan Eyang Demang supaya besok keturunannya bisa saling mengenal dan bersatu.

 

 Baiklah, catatan bisa bermula dari sini…

 

 

I

Sebuah Renungan

Oleh Soekarno*)

 

 

Sejak aku memegang ball-point untuk menulis buku ini aku mulai merenung. Merenung kepada keluarga besarku.  Aku mengingat satu persatu, yaitu bapakku yang amat aku hormati dan cinta, ibuku Sandijah yang sangat aku sayangi, kakak tertuaku Mas Soeparman Darmosuwito, kakak ke-2 ku Mas Soeparngan Sastromartono, kakak ke-3 ku seorang perempuan yang bernama Mbakyu Suki (demikian aku menyebut), kakak ke-4 ku Mas Sukandar yang telah meninggal dunia saat kelas V SD, kakak ke-5 ku Mas Saparman Hadisumarto, kakak ke-6 ku Mas Soetarman, dan aku sendiri, Soekarno, merupakan anak ke-7 yang berarti bungsu

 

Masing-masing membawa kenangan dan kesan-kesan. Bapak Mas Demang Atmodikromo sangat hormati dan cintai. Aku menyebut Mas Demang, karena nama itu hadiah dari Sri Mangkunegoro VII. Ada surat kekancingannya (Surat Keputusan). Mulai dari lurah, beliau naik menjadi Demang dan mendapat sebutan Mas Demang (bukan Raden Demang melainkan Mas Demang Atmodikromo). Aku sejak kecil sampai remaja selalu berkumpul serumah dengan bapak dan ibu. Jadi, aku selalu dalam naungan dan bimbingan bapak. Aku selalu diberi teladan untuk berbudi pekerti yang baik dan berbudi luhur serta suka menolong sesama. Suatu sifat yang menonjol adalah kejujuran. Beliau sering menceritakan kejujuran, yaitu dalam menyetor pajak  kelurahan yang selalu diutamakan tanpa memainkan uang pajak tersebut terlebih dahulu.  

 

Ibuku Sandijah amat aku sayangi. Beliau adalah wanita sederhana, lembut, dan seorang pekerja keras. Beliau mampu mengelola hasil pertanian gajinya bapak berupa sawah sebanyak 6 bahu (1 bahu = 3 hektar). Ibu Sandijah memberikan kenangan yang indah. Beliau pandai memasak (kalau masak sedep). Pada saat diadakan kegiatan bersih desa, ibuku memasak untuk diantarkan kepada keluarga yang dekat. Saat itu aku sangat menikmati masakan beliau tersebut. Sewaktu bapak dan ibuku wafat, tidak dapat melakukan penghormatan terakhir karena aku sedang dinas di Palembang.

 

Kakakku yang tertua bernama Mas Soeparman Darmosuwito. Beliau kariernya berkecimpung di Pamong desa dan terakhir menjadi carik desa. Hidupnya tidak kekurangan, namun cenderung pas-pasan. Karena putranya banyak, semua meminta perhatian Mas Darmo. Ada kegetiran dalam hidupnya, yaitu saat beliau ingin mengganti bapak menjadi kepala desa tetapi kandas di tengah jalan. Waktu itu beliau sangat terpukul, seolah-olah jalan hidupnya buntu. Namun, Tuhan yang Maha Besar menyadarkan bahwa kepala desa itu bukan porsinya atau miliknya. Tidak berapa lama beliau bangkit, tetap menjadi carik desa dengan konsentrasi pembinaan keluarga. Akhirnya hasilnya cukup menggembirakan. Anak-anak beliau hidup dengan mandiri dan tidak membebani orang tuanya. Hasil yang gemilang adalah mencetak cucu-cucunya menjadi sarjana.

 

Kakakku yang ke-2 bernama Mas Soeparngan Sastromartono. Kariernya kurang stabil dan sering berganti pekerjaan. Pengalaman yang kurang menyenangkan adalah pada zaman Jepang. Beliau menjadi mekanik di Angkatan Udara Jepang di Leles, Jawa Barat. Beliau hidup berpisah dengan keluarga selama 2 tahun. Setelah Jepang kalah, Mas Soeparngan pulang ke Karang Manis tanpa membawa apa-apa. Saat yang paling berat adalah di Karang Manis dalam status jobless (pengangguran). Namun, Tuhan Maha Besar, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Tidak lama kemudian Mas Soeparngan mendapat pekerjaan menjadi sekretaris camat. Saat itu hidupnya teratur, pendidikan anak-anaknya diutamakan dan akhirnya anak-anaknya menjadi insiyur dan sarjana serta hidup mandiri.

 

Kakakku yang ke-3 bernama Mbakyu Suki (demikian panggilan akrabku kepadanya). Aku sangat mencitai Mbakyuku satu-satunya. Hidupnya pernah mengalami guncangan, yaitu sewaktu diceraikan oleh Mas Parwo karena tidak mau dipoligami. Saat itu, beliau pulang ke Karang Manis mendampingi bapak dan ibu. Setelah bapak dan ibu kapundhut, beliau tetap menempati rumah bapak dengan pekarangan dan sawah ibuku untuk menopang hidupnya. Aku tidak pernah menegakan hidup Mbakyu ini. Akhirnya hidupnya cukup tenang dan tidak kekurangan apa-apa. Beliau mempunyai 2 orang anak angkat, yaitu Yanto dan Yani (putra putri Mas Hadi dan Mbakyu). Mereka saling mencintai. Rupanya Tuhan telah mengatur semuanya, sehingga semua berjalan dengan lancar. Pada waktu kapundhut, aku tidak dapat mengantar. Setelah 3 hari aku mendoa di pusaranya, kemudian aku kembali ke Bandung. Sewaktu aku tidur di sofa, aku melihat Mbakyu duduk di kursi dengan pakaian sangat rapi, baju berwarna krem muda, kain batik latar ireng, dan rambutnya disanggar lengkap dengan memakai bros. Aku terkejut. Saat itu juga aku  berteriak, ”Mbakyu!” Tiba-tiba beliau lenyap dan bangun. Ternyata beliau ingin mengucapkan terima kasih atas kunjunganku ke pusarannya.

 

Kakakku yang ke-4 bernama Mas Sukandar. Beliau meninggal dunia sewaktu kelas 5 SD. Kakakku yang ke-5 bernama Mas Saparman Hadisumarto. Ia sangat mencintai bapak dan bapak pun mencintai Mas Hadi. Sewaktu masih muda dan lulus sekolah rakyat, beliau mengalami kepahitan dalam hidupnya, yaitu ia kepingin menjadi seorang guru. Ia menempuh ujian CVO (Cursus Voor Volksonderwiizer atau Sekolah Rakyat). Iapun sangat merana. Namun, Tuhan Maha Besar, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Ia menempuh ujian untuk martonimpuno (pemungut pajak) dan lulus. Sejak saat itu hidupnya stabil. Ia sangat mencintai putra-putranya. Dalam pengetahuan yang ada, ia mendidik putra-putranya dengan rajin. Yang diutamakan adalah pendidikan anak-anaknya. Sayang sebelum tuntas usahanya, ia kapundhut. Tugas mendidik anak-anaknya jatuh ke pundah Mbakyu Hadi. salut kepada Mbakyu Hadi yang bisa menyelesaikan dan membimbing anak-anak dengan gemilang. Anak-anaknya hidup bahagia dan mandiri. Ada sebuah cerita sewaktu Mas Hadi sakit. Bapak prihatin sekali atas sakitnya Mas Hadi. Bapak nglakoni dahar mutih selama 1 tahun. Maksudnya adalah memohon kepada Tuhan semoga Mas Hadi bisa sembuh. Namun Tuhan menentukan lain, Mas Hadi kapundhut.

 

Renungan terakhir ditujukan kepada Mas Sutarman. Ia bekerja sebagai sekretaris kecamatan. Ia pindah berkali-kali dalam kabupaten Karanganyar. Pada zaman Jepang, Mas Tarman bekerja sebagai prajurit Mangkunegaran. Disinilah ia digembleng mengalami keprihatinan karena gajinya sangat kecil. Akhirnya ia mendapat kemurahan Tuhan, yaitu mendapat kesempatan menjadi sekretaris kecamatan. Sejak saat itu hidupnya teratur. Ia konsentrasi pada pendidikan anak-anaknya. Semua berjalan mulus. Anak-anaknya satu demi satu menjadi sarjana, sebagian besar sarjana pendidikan. Anaknya banyak. Ekonomi ditopang oleh Mbakyu Sundari Sutarman yang menjadi guru. Saat-saat terakhir hidupnya bahagia dan sejahtera. Akhirnya ia jatuh sakit sampai kapundhut

 

Demikianlah renunganku. Kini mereka, bapak,ibu, dan kakakku, berurutan telah meninggal dunia. Aku mengharap semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan, diampuni segala dosanya, diterima amal baktinya, dan keluarga yang ditinggalkan mendapat rahmat dari Tuhan yang Maha Esa untuk meneruskan perjuangan hidup dalam dunia. Amin.

*) Penulis adalah Putra Ragil Demang

 

 

II

Karang Manis, Potret Dusun Tandus

 

Di suatu sore, pada sebuah sungai besar. Sungai tersebut airnya tak terlalu deras karena banyak sekali batu-batu besar baik di tengah maupun di pinggirnya. Ada batu yang berukuran raksasa sebesar 3 kali badan gajah dewasa yang biasa disebut watu gajah. Batu-batu itu biasa digunakan untuk menjemur baju bila ada yang mencuci baju di sungai. Penduduk dusun tersebut memang masih memanfaatkan air sungai sebagai tempat mencuci baju. Juga untuk mandi. Sebagian memanfaatkannya untuk mencari ikan.

 

Seperti yang dilakukan oleh seorang kakek dan cucunya. Pada sore yang gerimis mereka terlihat mengendap-endap dan berlompatan berjalan di atas batu atau di pinggir sungai. Si kakek berjalan tenang dengan membawa jala sedang cucunya membawa ember kecil berisi dedak –bubuk halus yang menempel pada padi, bubuk tersebut terlepas bila gabah digiling menjadi padi. Mereka menebar dedak sebagai pakan ikan untuk membuat ikan mengerubutinya di beberapa tempat genangan besar air di sungai –biasa disebut kedung. Setelah dirasa cukup mereka menunggunya sebentar sambil mengobrol dengan cucunya. Air mengalir sedang saja alias beberapa batu terlihat separo dipermukaan air. Sedang di kedung tak ada batunya. Kalau air sungai mengalir deras bukan saat yang tepat untuk menjala ikan. Dirasa cukup waktu untuk datangnya ikan mengerubuti pakan, lalu si kakek bangkit untuk menebar jalan ikan di kedung tempat tadi menabur pakan ikan. Sekali jala ditebarkan didapat 15-an ikan kecil lalu si cucu sibuk melepaskan ikan yang menempel di jala dan memasukan dalam ember. Sebuah keasyikan sendiri. Beberapa kali jaring ditebar di kedung tersebut sampai kira-kira ikannya habis, lalu pindah ke kedung di dekatnya. Begitu terus mereka melakukannya menyusuri sungai dari hilir ke hulu, dari bawah sungai ke atasnya. Sampai menjelang magrib ada separo ember kecil berisi ikan wader kecil-kecil, beberapa udang. Kalau menjala memang ikan yang didapat kecil-kecil tetapi bila memasang perangkap seperti boro yang tertangkap bisa ikan besar. Setelah dirasa cukup, jaringnya dicuci dan mereka mandi bersama di sungai untuk membersihkan diri. Dengan wajah puas mereka pulang berjalan beriringan menyusuri pinggir sungai lalu mendaki bukit dan melewati beberapa pohon bambu menuju rumahnya, di pinggir desa.

 

Itu salah satu pemandangan di dusun Karang Manis pada satu sudut. Letak rumah yang didominasi rumah bambu memang agak tinggi dari sungai. Rumah mereka terpisahkan kebun yang agak luas. Biasanya kebunnya ditanami singkong, ketela, garut, mbili dan beberapa umbi-umbian yang tumbuh liar. Kalau musim kemarau tanaman-tanaman ini kelihatan merangas kekurangan air.

 

Di sudut lain di sore hari akan dijumpai beberapa penduduk menuju sungai untuk mandi. Hal yang sama mereka lakukan di pagi hari bersamaan dengan mereka mencuci baju. Beberapa anak terlihat mengembala ternak kambing atau sapi. Juga ada satu dua orang menggiring bebeknya. Satu dua orang melintas dengan sepeda sambil membawa pacul atau rumput untuk makanan ternak mereka.

 

Kalau malam beberapa orang tua bergerombol memakai sarung dengan mengisap rokok di sudut-sudut desa. Anak-anak kecil bermain dengan gaya mereka sendiri. Belum ada kesadaran untuk jam belajar. Pada malam hari terasa gelap karena penerangan rumah hanya memakai lampu teplok saja. Listrik belum masuk. Kalau ada orang yang mempunyai hajat maka banyak orang akan berkumpul di rumah tersebut dan menjadi tempat hiburan. Rumah itu menjadi ramai karena ada lampu terangnya. Seperti laron-laron yang berdatang mendekati lampu. Begitulah pemandangan sehari-hari.

 

Karang Manis adalah sebuah dusun kecil yang agak terpencil di Kelurahan Banjarharjo, Kec. Kebakkramat, Karanganyar. Terpencil karena dusun ini tak berbatas dengan dusun lainnya. Hanya sawah dan sungai yang membatasinya. Dusun ini tanahnya tandus sehingga tidak ada sumber air yang memadahi. Pernah digali sumur sampai kedalaman 22 meter tetap tak keluar airnya. Tetapi pepohonan tumbuh sebagian di dusun ini. Penduduk menggunakan belik –sebuah sumber air kecil di pinggir sungai- untuk pengadaan air bersihnya. Mereka mandi, mencuci dan lain-lainnya di sungai yang mengalir di pinggir dusun. Sungai ini besar dan banyak batunya. Bila musim hujan dapat menjelma menjadi aliran banjir besar dan bila musim kemarau air mengalir kecil saja. Sungai ini juga banyak ikannya dan terkadang dimanfaatkan penduduk sekitar untuk menambah lauknya.

 

Penduduk Karang manis rata-rata miskin dan tak berpendidikan pada sekitar tahun 1970-an. Mereka rata-rata mencukupi kebutuhannya dengan bertani atau memburuh padi. Tak heran seluruh dusun dikelilingi persawahan yang luas. Sebagian ada juga yang mempunyai ternak antara lain sapi, kambing, kerbau. Ada beberapa yang memelihara anjing untuk menjaga rumah mereka. Tak ada sekolah di dusun ini. Juga tempat ibadah. Belakangan sudah dibangun sebuah rumah ibadah, masjid kecil. Kalau ada penduduk ingin sekolah harus ke dusun tetangganya. Maka tak banyak orang yang berpendidikan lahir dari sini. Rata-rata penduduk hanya puas sampai sekolah dasar atau tidak bersekolah sama sekali. Dulu warung juga tak ada. Benar-benar sebuah dusun yang terpencil. Jalan yang menghubungkan ke dusun ini hanya jalan tanah berbatu dan naik turun.

 

Sewaktu dulu –sekitar tahun 1970-an, ada sekolah kecil di pinggir dusun dan hanya sampai kelas 3 tetapi sekolah ini tak berumur lama dan ditiadakan. Karena minimnya sarana pendidikan inilah menjadikan generasi penerusnya bila ingin maju bersekolah di luar semua. Jangan tanya adanya fasilitas kesehatan di dusun itu. Juga pesawat TV dan motor. Itu merupakan kemewahan. Sampai tahun 1970-an hanya ada satu dua motor yang melintas di desa itu dan itupun dirubung anak-anak kecil dengan wajah kekaguman. TV mulai masuk sekitar tahun 1980-an. Meski banyak pepohonan di situ  tetapi terlihat gersang di muasim kemarau. Ada pohon asem, pohon randu dan beberapa pohon jati.

 

Dusun terdekat berjarak sekitar 2 km arah Timur yaitu dusun Sawahan, sedang pada arah Barat berjarak 3 km ada dusun Manggal. Di dusun Karang Manis sekian puluh tahun lalu tumbuh sebuah keluarga yang akhirnya dapat berkembang menjadi sebuah keluarga besar dengan sekian anak, cucu, cicit dll. Di dusun tersebut perubahan kecil telah dilakukan di satu keluarga sehingga anak cucunya dapat merasakan kehidupan lain yang lebih baik di tempat lain.

 

 

III

Bermula Dari Nama Kertodjoyo

 

Dari mana catatan ini bermula? Karena keterbatasan sumber informasi maka bolehlah memulai dari catatan yang ada. Mungkin hanya ada satu nama yang bisa diingat untuk para leluhur yaitu Kertodjoyo. Nama tersebut dikemukakan oleh satu-satunya buyut beliau yang masih sugeng, Soekarno. Itupun  Soekarno mencoba serius mengingat-ingatnya. Yang dapat diingat adalah Kertodjoyo menjadi Bekel (kepala desa) di Alas Tuwo, Kebak Kramat. Tetapi setelah tua Kertojoyo mengikuti salah satu anaknya, Kartodiwongso di Sawahan.

 

Tahun berapa Kertodjoyo lahir tentunya tak ada yang tahu. Kalau boleh mengurutkan melalui generasi berikutnya yang masih bisa diingat. Anak pertamanya lahir sekitar tahun 1860, kalau dia umur 25 tahun sudah mempunyai anak, diduga Kertodjoyo lahir sekitar 1835, era setelah perang Diponegoro selesai 1830. Saat itu Belanda baru berusaha mendapatkan sumber dana setelah menipis karena untuk pembiayaan perang Diponegoro. Sekitar tahun itu Gubernur Jenderal Belanda Van den Bosch mengeluarkan Sistem Tanam Paksa yang mengharuskan para petani untuk menanam kopi, tebu, tembakau dll yang sangat menyengsarakan petani di satu sisi tetapi menguntungkan Belanda di sisi lain. Sekitar tahun 1840-1850, sewa tanah mulai diperbolehkan. Ronggowarsito menggubah kitab Pustokorojo Purwo. Sekitar waktu itu juga Keraton Yogya-Solo menyerahkan bagian daerahnya dan tidak bergolak lagi. Sejak diubahnya undang-undang dasar Belanda tahun 1848, Parlemen Belanda mengawasi pemerintahan Hindia Belanda. Antara tahun 1850 dan tahun 1860 di Wilayah Hindia Belanda, terutama di Jawa ada beberapa peritiwa. Sekolah dokter diadakan di Jawa dengan nama STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), di Solo mulai ada sekolah raja. Saat itu juga eranya pelukis kebanggaan Indonesia, Raden Saleh Bustaman yang kesohor sampai ke negeri Belanda. Pada tahun 1850-an, sistem tanam paksa ditentang oleh Van Hoevell dan kaum liberal.

 

Pada era itulah di dusun terpencil berkembanglah keluarga Kertodjoyo. Anak Kertodjoyo, ada 3 orang. Salah satunya bernama Kartodiwongso.

 

 

IV

Kartodiwongso, Anak Kertodjoyo

 

Kartodiwongso diperkirakan hidup pada era tahun 1860-1900-an. Dari sumber ensiklopedi, pada saat itu di daerah lain ada peristiwa. Multatuli menentang beberapa kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan menerbitkan buku Max Havelaar. Saat itu juga dimulai penanaman tembakau di Deli yang sangat laku. Tahun 1875 dimulai Perang Aceh. Pada tahun itu juga dibangun jalan kereta api Yogya-Semarang sehingga panjangnya menjadi 5.000 km.

 

Nun jauh dari peristiwa penting dan catatan sejarah, di suatu dusun yang sangat terpencil di pelosok Dukuh Sawahan, Kal. Banjarharjo, Kec. Kebakkramat, Kab. Karanganyar, Solo, ada sebuah keluarga sederhana seperti juga umumnya penduduk di wilayah itu. Kepala keluarga itu bernama Kartodiwongso. Kartodiwongso, diperkirakan lahir sekitar tahun 1860. Kartodiwongso menempati rumah di Dukuh Sawahan. Dukuh Sawahan adalah dukuh sebelah Timur Karang Manis yang dipisahkan oleh areal persawahan dan sungai besar. Mungkin karena banyak areal persawahan maka dukuh tersebut dinamakan Sawahan. Di sekitar dukuh itu juga ada Dusun Candi yang menyimpan beberapa peninggalan candi-candi kecil. Soekarno, salah seorang cucu Kartodiwongso yang masih sugeng- mengenang desa Candi saat itu ditemukan banyak candi atau patung di beberapa tempat. Anak-anak kecil kadang bermain di sekitar patung-patung batu sambil mengembalakan ternak. Tetapi rasanya ada petugas yang mengambil patung-patung tersebut entah disimpan dimana.

 

Kartodiwongso pekerjaannya sebagai mandor kopi. Anak sulungnya lahir pada tahun 1883 dan diberi nama Sukarman. Ia tumbuh dalam keadaan ekonomi yang sederhana bagi seorang desa yang mayoritas penduduknya sebagai petani. Adik-adiknya menyusul lahir di dukuh itu yaitu Surodimedjo dan Ny. Sawiryo. Ketiga orang ini tumbuh dan dewasa di Sawahan.

 

Riwayat Kartodiwongso bermula dari menjadi mandor kopi di daerah Kec. Kerjo, sekitar 40 km dari Sawahan. Perkebunan kopi tersebut kepunyaan Pemerintah Belanda. Mungkin saat itu periode waktunya sekitar era Tanam Paksa dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch sedang berjalan. Perawakan Kartodiwongso agak gemuk dengan postur agak pendek. Rambutnya lurus. Meskipun tidak sekolah tetapi Kartodiwongso bisa menulis dalam huruf Jawa. Disamping bekerja di perkebunan, Kartodiwongso juga mempunyai kebunnya sendiri. Hidupnya sederhana. Di bidang perkebunan, dia bisa menghitung jumlah pohon hanya dengan menghitung pohon pada lajur kedua sisi lalu dikalikan dan didapat jumlah pohon kopi. Saat itu orang bila mau mengetahui jumlah pohon kopi harus menghitung semua pohon dan itu tidak praktis dan memakan waktu lama. Kartodiwongso sangat menikmati keadaan bekerja. Anak-anaknya tumbuh dan besar di Kerjo. Tetapi suatu saat ada yang mengincar jabatannya dan mulai menebar fitnah, makin besar fitnah tersebut menjadi tak mengenakkan bagi pribadi Kartodiwongso.

 

Hal itu membuat Kartodiwongso membuat keputusan pindah ke Dusun Sawahan. Suratan nasib menjadikannya dia menjalani profesi barunya sebagai Bekel di Sawahan. Saat itu untuk menjadi bekel, orang cukup menyetor kerbau 2 ekor ke penguasa dan tak banyak orang yang mau dan merasa terpanggil menjadi bekel karena saat itu hidup dengan mempunyai kerbau dua ekor sudah bisa hidup nyaman. Mau mengerjakan sawah semua tanah masih luas. Padi berlimpah dan air mudah karena sumber air di sungai juga berlimpah. Ikan-ikan di sungai sangat banyak dan bisa sebagai lauk pauk sumber protein warga. Perbandingan antara jumlah penduduk dengan sumber daya alam yang ada masih memungkinkan hidup layak. Makanya tak banyak orang terpanggil untuk menjadi bekel karena merupakan pekerjaan tambahan dan memerlukan jiwa sosial.

 

Setelah menjadi bekel, Kartodiwongso mempunyai banyak ide untuk memajukan desanya. Diantaranya membuat dam (bendungan) di sungai. Saat itu air di sungai melimpah dan kalau dibuat dam maka pengaturan air bisa diterapkan untuk pengairan sawah para petani. Dimulailah kerja gotong royong membangun dam di daerah Banjar Sari (Sebelah Timur Sawahan) dengan melibatkan penduduk dari dusun-dusun sekitarnya antara lain Banjar, Jati Arum, Manggal dll. Mereka ada yang menyumbang batu, bamboo, tali dll. Bangunan dam saat itu dengan menggunakan batu yang ditata dan diikat dengan tali dari bamboo. Hasilnya airnya dapat untuk mengairi sawah para petani.

 

Di masa tuanya, Kartodiwongso mengikuti anaknya, Atmodikromo dan bercengkerama bersama cucunya. Para cucu sudah pada bisa membaca tulisan latin karena mereka sudah pada sekolah. Kalau ada Ulem (Undangan) dengan tulisan huruf latin terkadang Kartodiwongso menyuruh cucunya untuk membaca tulisan tersebut, Kakeknya bangga karena cucunya sudah bisa membaca huruf latin, hal yang tak bisa dilakukannya. Di waktu senggang kadang Kartodiwongso mengatakan kalau ingin membuat sepur atau kereta api.

 

 

V

Si Sulung Sukarman Alias

Demang Atmodikromo

 

Ada cerita salah satu buyut, Agam Bintoro yang meneruskan cerita dari ibunya, Ny. Harsi pada 25 Mei 2007. Cerita ini langsung dari Demang Atmodikromo waktu Harsi masih SD. Kartodiwongso sekeluarga pindah dari Dusun Sidomulyo untuk mencari tempat yang baru. Di tengah perjalanan kehujanan lalu berteduh di regol (rumah pintu gerbang) seorang penduduk. Pada waktu berteduh itu yang punya rumah dengan anak dan istrinya sedang mengupas buah nangka di emperan (teras) rumahnya yang jaraknya dari regol hanya beberapa langkah saja. Sukarman kecil ingin sekali makan nangka itu. Mungkin karena lapar atau baunya yang mengundang selera sehingga dia menangis meminta nangka dan merengek kepada bapaknya bahwa dia ingin sekali makan nangka tersebut. Anak kecil itu dengan mulut menganga dan menelan ludah menahan keinginannya untuk makan nangka. Tetapi yang punya rumah tak mempunyai sedikitpun rasa untuk memberi sesuatu kepada anak kecil. Karena watak perwiro pada Kartodiwongso pantang untuk meminta-minta. Setelah hujan reda dan yang punya rumah masuk semua, Kartodiwongso mengambil beberapa biji nangka (beton) lalu mengucap semacam janji. ”Oh beton, kamu akan aku tanam di tempat yang baru. Bila bisa hidup subur dan bisa berbuah, aku tidak akan menjualnya tetapi akan aku nikmati sekeluarga dan aku bagi-bagi pada tetanggaku.”

 

Setelah di tempat baru, di Karangmanis, biji nangka itu ditanam dan tumbuh besar. Buahnya bisa dinikmati sampai anak cucunya.

 

Anak Kartodiwongso 3 orang, yaitu Sukarman, Surodimejo dan Ny. Sowiryo. Sukarman tumbuh bertiga dengan saudaranya di dusunnya. Sewaktu muda Sukarman seorang pekerja keras. Rajin bekerja melakukan pekerjaan rumah. Mempunyai harta banyak tetapi untuk ukuran desa yaitu sapi, kambing dan sawah.

 

Pada tahun 1908, pemuda Sukarman menikah dengan Sandiyah, bunga dukuh Jogotakan (Utara Pengin, Selatan Pengawat), desa Macanan. Sejak menikah, namanya ditambah dengan Atmodikromo. Atmodikromo bisa menulis dan membaca huruf latin. Tanda tangannya membentuk kata sesuai namanya, Atmodikromo. Pada akhirnya, anak Kartodiwongso lain juga berkeluarga. Surodimedjo  berkeluarga dan tinggal di Karang Manis dan Ny. Sawiryo menempati rumah di Jengglong, Waru, Kebakkramat.

 

Sukarman bertubuh sedang-sedang saja. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Berkulit sawo matang kehitam-hitaman dengan otot-otot tangan cukup gempal, seperti layaknya petani yang tekun dengan profesinya. Sukarman atau Atmodikromo merupakan figure yang selalu kelihatan sehat, berwajah keras dan rambut berwarna putih karena uban sudah merata. Potongan rambut yang disenangi model cepak, seperti potongan rambut TNI.

 

Seperti dituturkan oleh anaknya, Soeparngan, pada tahun 1912 mulailah karier Sukarman untuk mengabdikan diri pada masyarakat. Ia menjadi Bekel di dukuh Karang Manis yang masih baru. Semula dukuh tersebut merupakan hutan kecil di daerah tersebut. Ketika dukuh Karang Manis menjadi semakin ramai, dengan jabatan Bekel pada tahun 1925 Sukarman mengikuti Komplet yaitu pemilihan kepala desa. Ternyata Sukarman dipilih secara mutlak oleh masyarakat. Jadilah ia kepala desa di daerah tersebut. Pada tahun 1932, ia naik pangkat menjadi Ronggo Kepala Desa sampai tahun 1936 ketika ia naik pangkat lagi menjadi Demang Mangkunegaran, hingga pensiun pada tahun 1971.

 

Demang adalah jabatan struktural di pedesaan yang diberikan oleh Mangkunegaran kepada kepala desa sebagai semacam koordinator beberapa desa. Jabatan ini sangat dihormati masyarakat karena tidak semua kepala desa mempunyai jabatan Demang. Untuk menjadi Demang memang tidak mudah. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah mempunyai kemampuan khusus, dikehendaki oleh rakyat dan mampu setor (menyerahkan) kerbau 3 ekor ke Bupati Sukowati (Sragen). Pada awalnya beberapa temannya mencemooh, tetapi karena Atmo mempunyai kelebihan, maka pada akhirnya semua hormat dan respek padanya.

 

Kantor Demang berada di pendopo rumah Atmodikromo sendiri karena memang pada waktu itu belum ada desa yang mempunyai kantor sendiri. Karena kantornya di rumah sendiri, maka waktu kerja kepala desa atau Demang bisa menjadi 24 jam. Pelayanan kepada masyarakat tidak memandang jam kerja. Kapanpun masyarakat datang maka akan dilayani keperluannya. Pada jam kantor, Sukarman atau Atmodikromo sudah ngantor sejak pagi sampai jam kerja selesai. Atmo sangat disiplin dalam bekerja.

 

Menjadi kepala desa atau Demang saat itu masih banyak kendalanya. Diantaranya, Demang harus dapat menjadi paran pitakonan (tempat orang bertanya) dan mampu mengatasi semua gangguan keamanan masyarakat. Selain itu harus dapat pula memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi penduduknya. Semua keluhan masyarakat terpusat kepada Demang. Baik keluhan kesulitan ekonomi, kesehatan, perkelahian dll. Namun dengan bekal pengetahuan yang telah dimilikinya, Atmodikromo dapat melewati haingga akhir hayatnya. Bahkan ketika jabatannya akan direbut oleh orang lain, Atmo berani melaporkan dengan menghadap langsung pada Bupati Sukowati.

 

Istrinya, Sandiyah juga seorang yang rajin membantu suaminya. Sandiyah yang mengurusi mengerjakan sawah, mulai dari tandur, menyiangi, mengairi, memupuk sampai panen. Manajemen persawahan sudah dikuasainya. Dalam pergaulan dengan para pangreh projo, Sandiyah juga bisa membawa diri. Bila ada kunjungan Wedono misalnya, Ny. Demang mendampingi dan bisa memberi suguhan sebagai tuan rumah yang baik.

 

Seperti diceritakan oleh anaknya bungsu, Soekarno, Demang juga menyintai kesenian, khususnya gamelan. Demang memangggil tukang untuk membuat gamelan sederhana yang terdiri dari gambang, saron, kenong, kendang dan gong. Gamelan tersebut sering ditabuh sewaktu senggang. Anak-anaknya juga belajar menabuh gamelan. Kalau sudah mengumpul mereka saling unjuk kebolehan memainkan gamelan. Anaknya semua bisa memainkan instrument gamelan. Mereka menyanyi atau uro-uro bergantian. Kadang Soekarno atau Sastro menyanyikan lagu kinanti atau gambuh. Diantara krew penabuh gamelan ada beberapa warga desa. Saking pinternya ada yang menjadi niyogo professional, antara lain, Jafar seumuran dengan Sutarman. Ada juga Sugimin menjadi niyogo di Sukorejo.

 

Tentang saudaranya lain ada yang masih bisa diingat. Surodimejo awalnya hidup berbahagia bersama istrinya. Anaknya 3 bernama Suradi, someone (lupa namanya) yang bekerja di Purwodadi dan perempuan yang menjadi istri Bayan Ngemplak, Ngigoh, Alas Tuwo. Tetapi karena istrinya cantik ada yang meliriknya. Diantaranya Carik desa dan mulai bermain mata. Akhirnya Surodimedjo dan istrinya bercerai dan istrinya menikah dengan Carik tersebut. Carik tersebut akhirnya menjadi lurah. Surodimedjo menikah lagi beberapa kali dan di masa tuanya kembali Karang Manis,

 

Ny. Sowiryo, istri Bayan Waru, Kebakkramat, Anaknya 4, nomor satu sampai 3 perempuan dan tinggal di Waru. Yang nomor 4 namanya Ngadimin, menjadi kepala sekolah SD Kubuk Lancang, Palembang. Setelah suaminya meninggal dan pada masa tuanya Ny. Sowiryo dan anaknya Ngadimin ikut dengan Demang di Karang Manis.

 

 

Teknologi Tepat Guna

Untuk mencukupi kebutuhan gula, Atmo berupaya untuk menanam tebu di sawah lungguh (sawah sebagai kompensasi gaji sebagai Demang) yang terletak di sebelah Timur Karang Manis (lor wit duwet, Utara pohon jamblang). Tebu ini digiling sendiri dengan menggunakan penggiling tebu buatan Atmo sendiri. Alat giling terbuat dari dua buah balok kayu bulat yang diputar dengan menggunakan tenaga kerbau. Belakangan kreasi penggilingan tebu ini diwujudkan oleh putra tertuanya, Darmo yang telah lulus dari sekolah teknik jurusan pertukangan. Dua buah balok pengepres yang berbentuk bulat (seperti kayu glondongan) itu di atasnya dibuat lubang-lubang persegi yang dipakai untuk gir penggerak. Hal ini merupakan teknologi tepat guna yang sudah diterapkan Atmo saat itu yang tentu saja menjadi sangat mengagumkan masyarakat sekitarnya. Air tebu yang keluar dari balok pengepres itu dimasak di loyang (semacam kuali besar) sebanyak 8 buah. Setelah mengental karena airnya menguap, gula tebu itu dituang ke dalam batok-batok kelapa yang di bawahnya berlubang. Lubang itu ditutup dengan daun agar kalau dituang cairan kental gula tebu tidak bocor. Setelah dianginkan dan dingin, jadilah gula tebu berwarna coklat kehitaman. Melepaskan gula dari batok kelapa dengan cara menekan lubang pada bawah batok dengan kayu kecil, maka gulapun akan terlepas dari cetakannya. Gula tebu siap untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar oleh istrinya.

 

Sebuah cerita yang masih teringat pada sekitar penggilingan tebu adalah daya linuwih Atmo dalam mengobati seorang buruh gilingan tebu yang tangannya remuk karena tergilas penggiling tebu. Rasa sakit yang diderita dibagi kepada teman-temannya sehingga si penderita mampu menahan rasa sakitnya dan temannya merasakan juga sakitnya.

 

Pandai Bercerita

Atmodikromo mempunyai pribadi menarik. Berwatak keras karena sejak kecil ditempa dengan kondisi alam dan lingkungan yang keras, tetapi bisa mempunyai sifat ramah terutama bagi anak-anak. Daya tarik yang kuat adalah kemampuannya berkomunikasi dengan siapapun. Ia mampu membuat suasana yang dingin menjadi hangat, suasana yang lengang menjadi ramai. Ia pandai bercerita, terutama ceritera yang kocak. Itulah salah satu yang membuat suasana menjadi hangat. Gelak tawa mewarnai dan menjadi keakraban diantara yang mendengarkan. Pendengar boleh berkomentar, boleh ikut nimbrung menimpali apa yang dijadikan bahan cerita sehingga suasana  menjadi akrab. Suasana demokrasi keluarga timbul di dalamnya. Hanya rasa hormat saja yang memisahkan Atmodikromo dan cucu-cucunya. Walaupun pada saat itu sebagai Demang mempunyai kekuasaan  tetapi sangat dekat dengan keluarganya terutama dengan para cucu.

 

Bila Atmodikromo bercerita sambil duduk di atas lincak (semacam kursi panjang dari bamboo) berukuran 1x2 m, tinggi 50 cm yang beralaskan galar (alas dari bamboo kecil-kecil yang disusun berjejeran) dan ditutup kloso (tikar). Di depannya ada sebuah meja besar berwarna hitam dengan teh panas sebagai hidangan. Para putra duduk di atas kursi mengelilingi meja sedang para cucu dan ibu duduk di atas balai-balai bamboo. Balai bamboo berukuran sekitar 2,5 x 5 m, tinggi 30 m beralas kloso. Atmo duduk bersila di atas lincak yang sedikit lebih tinggi dari balai bamboo. Mulailah Atmo bercerita dan berkomunikasi pada para anak-cucu setiap waktu senggang. Biasanya pada sore atau petang hari setelah Magrib dengan penerangan lampu teplok atau sentir (lampu minyak tanah).

 

Salah satu cerita yang masih dapat diingat adalah cerita tentang seorang Arab yang menjual sarung yang ada tulisannya ditanggung tidak luntur. Tetapi ada seorang pembeli yang protes karena sarungnya luntur setelah dicuci. Si Arab tak kurang akal dan menyatakan kalau tulisan itu tulisan Arab, jadi membacanya dari kanan ke kiri dan menjadi luntur tidak ditanggung.

 

Di tengah keadaan masyarakat yang masih buta huruf, Atmodikromo muncul sebagai pribadi yang maju dan mumpuni. Ia mampu membaca dan menulis dengan lancar. Ia sangat gemar terhadap teknologi. Ia sekolahkan putranya pada sekolah teknik untuk meningkatkan kepandaiannya. Atmodikromo mengundang seorang guru dari Solo untuk mengajar membaca dan menulis tulisan latin dan bahasa Indonesia. Hal seperti itu masih sangat langka saat itu. Karena itulah maka di Kecamatan Kebakkramat tidak seorangpun kepala desa atau demang yang dapat membaca atau menulis kecuali Atmodikromo. Dari kemampuan inilah, kehidupannya menjadi sangat menonjol di lingkungannya.

 

Mempunyai Daya Linuwih

Di sisi lain, ia merupakan pribadi yang sangat gemar menolong orang lain. Untuk melengkapi kemampuannya, ketika muda sering menjalani laku, nglakoni yaitu melaksanakan laku batin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengurangi makan, tidur dan kesenangan lahiriah agar memperoleh kemampuan khusus. Menurut anaknya ragil, Soekarno Bc Ap, Eyang Atmo pernah nglakoni tidur di sungai di atas batu-batu besar. Dalam mimpinya Eyang bertemu dengan kereta gemerlap ditarik 8 ekor kuda. Dari jauh suaranya bergemerincing, indah sekali. Katanya yang ada dalam kereta adalah Sunan Kalijogo.

 

Dari upaya nglakoni tersebut, Atmo mempunyai daya linuwih atau kelebihan yaitu daya kemampuan istimewa yang tidak dimiliki orang biasa, antara lain dapat mengobati orang sakit gigi hanya dengan minum air putih. Ada lagi, dapat menyembuhkan orang digigit ular berbisa cukup disemprot dengan air putih pada lukanya. Mampu menyingkirkan mendung agar tidak terjadi hujan. Bahkan maling –pencuri pada malam hari- dapat ditangkap dengan mudahnya. Dengan kemampuan linuwih ini Atmo disuyuti (dihormati) masyarakat di sekitarnya.

 

Cerita tentang daya linuwih ini, yang menarik adalah kemampuannya dalam memindahkan mendung dari suatu tempat agar tidak jadi turun hujan (menolak hujan). Kemampuan ini sungguh luar biasa sehingga hampir semua tokoh mayarakat yang mempunyai kerja perhelatan penganten pada musim hujan minta tolong kepada Atmo. Dengan sedikit mantera, ia mengambil kreweng –pecahan genting- yang sudah dipanaskan di tungku pawon yang punya kerja. Kreweng itu diletakkan di atas genting maka mendungpun pergi. Kemampuan ini juga pernah diajarkan kepada salah seorang cucunya. Suatu ketika waktu masih kecil si cucu tersebut –Suprapto- ingin mengetahui cara menyingkirkan mendung. Eyang Atmo menjawab, ”Ah gampang aja. Katakan Pal ketepal, ono belo anak kapal, cilik nylenthik gedhe mengkal, mak jenthit mas ginanjing. Setelah selesai kaki dibanting ke tanah 3 kali.” Karena percaya si cucu melakukan hal tersebut setiap hari akan hujan. Kalau ternyata tidak hujan, wah senang sekali. Belakangan ketahuan ternyata ucapan Eyang tersebut hanya guyonan saja. Sebab untuk dapat menolak hujan perlu laku batin yang tidak mudah. Disamping mengurangi makan, minum dan kesenangan juga harus tidak mandi selama satu tahun, diawali bulan Suro sampai bulan Suro berikutnya. Ada juga guyonan yang sampai sekarang masih dilakukan yaitu rapal untuk menyembuhkan sakit ringan atau luka. Rapalnya adalah jopa japu semprol bolong buntut alu, mari ra mari karepmu. Lalu menyemprot luka dengan mulut 3 kali, puh…puh…puh.. Rapal guyonan ini sampai turun-temurun –untuk sekedar diingat- pada 4 generasi setelahnya.

 

Kemampuan daya linuwih lain juga pernah dituturkan oleh salah seorang putranya, Soeparman Hadisumarto. Pada masa revolusi rumah Demang Atmo dijadikan asrama buat gerakan gerilya Tentara Pelajar. Untuk melindungi para pemuda Indonesia yang berjuang dengan gigih dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia itu, Atmo secara khusus berdoa dan memohon kepada Tuhan agar daerah itu dapat diselamatkan dari amukan tentara Belanda. Di seputar dukuh Karang Manis dikelilingi dengan mantera sakti. Yang terjadi, semasa perang revolusi tidak seorang tentara Belanda yang dapat memasuki dukuh Karang Manis. Ketika pasukan Belanda baru sampai jembatan Grasak, Jatiarum, mereka seakan-akan jalan ini menjadi hutan bamboo berduri. Akhirnya Belanda kembali dan tidak jadi menyerang dukuh Karang Manis. Karena sudah ada informasi dari mata-mata bahwa ada pasukan gerilya yang bermarkas di Karang Manis, maka dari Tasikmadu, Belanda tetap menghujani dukuh tersebut dengan kanon, meriam. Semua tidak ada yang bisa masuk ke Karang Manis, kecuali satu peluru yang jatuh di tanah, tetapi mejen –tidak dapat meledak.

 

Cita-cita dan Kereta Api

Salah satu cita-cita yang selalu diutarakannya adalah bagaimana anak cucunya menjadi orang pandai. Meski pada saat itu masih jarang sekolahan dan masih langka orang bersekolah tetapi semua putranya disekolahkan meski harus berjalan jauh. Tanpa semangat tinggi dan motivasi besar tidak mungkin bersekolah dari Karang Manis ke Tasikmadu dengan berjalan kaki tiap hari sepanjang sekitar 8 km. Semangat dan tekad itu dipompakan Atmo kepada anak-anaknya. Hal yang paling sulit bila masuk sekolah pada musim hujan karena sungai banjir padahal jalan kaki harus menyeberangi sungai yang belum ada jembatannya. Sesuatu yang sulit dicapai tetapi dengan semangat yang sudah tertanam pada putranya maka semua putra dapat mengenyam pendidikan.

 

Sebagai contoh, misalnya Suparman atau Darmosuwito disekolahkan di sekolah dasar meskipun masih kecil. Ia harus bangun pagi pukul 04.00, langsung mempersiapkan diri untuk berangkat berjalan kaki ke sekolah dasar di desa Masaran, Sragen. Di kantongnya hanya ada sangu uang 1 sen. Sampai di sekolah sudah pukul 07.00. Pulang sekolah sampai rumah sudah pukul 17.00. Badan sudah lemes, loyo dan perut kosong. Perlu perjuangan yang besar untuk mencapainya. Hal tersebut dengan segala suka dukanya ditempuh tiap hari oleh si kecil Darmo selama 3 tahun hingga dia lulus sekolah dasar kelas 3. Seusai sekolah di Masaran, Suparman melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik jurusan pertukangan kayu di Ngijo, Tasikmadu yang berjarak sekitar 10 km. Semua ditempuh dengan berjalan kaki dari desanya yang terpencil setiap hari. Suatu ketika karena malas ia tidak masuk sekolah, kedua orang tuanya menjadi marah besar. Dengan pentungan kayu, Atmo menakuti Suparman untuk berangkat sekolah. Setelah dirayu berangkatlah Suparman ke sekolah dengan sangu (bekal) Rp1. Saat itu uang segitu sangat besar sekali jumlahnya (1 rupiah = 100 sen, 1 sen sudah dapat untuk membeli jajanan pasar sampai kenyang). Uang cring (logam) tersebut ditaruh di saku baju dan berangkatlah Suparman. Sampai di sungai mulailah ia membasuh mukanya seperti yang biasa dia lakukan. Ketika badannya menunduk ke sungai, uang logam tersebut jatuh ke sungai. Suparman berusaha mencarinya ke sana ke mari tapi uang tersebut hilang ditelan air. Lenyap sudah uang  satu rupiah, lenyap juga harapannya untuk membelanjakan uang tersebut. Dia sudah mengangankan untuk membeli beberapa keperluan dengan uang tersebut. Wah gelo (menyesal) rasanya.

 

Untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi, para putra Demang harus ngenger (ikut dengan keluarga lain dan harus bekerja). Dengan cara seperti itu, semua putranya memegang ijasah dari sekolah masing-masing. Sebagian masuk sekolah teknik memenuhi keinginan orang tuanya. Sedang sekolahnya yang paling tinggi adalah si ragil, Soekarno yang sampai lulus Akademi Pos dan Telekomunikasi. Soekarnopun sempat diterima di UGM, tetapi karena sekolah di postel gratis maka Soekarno memilih sekolah di situ.

 

Apa yang dicita-citakan Atmo sampai sekarang sudah mulai terwujud. Para cucu sudah banyak yang lulus pendidikan tinggi. Banyak yang sudah menjadi sarjana muda, sarjana dan sarjana utama. Para buyut hampir semuanya sampai sarjana. Namun masih ada obsesi lain yang belum sempat dibuat, Atmo ingin membuat sepur (spoor, kereta api). Sebuah obsesi yang kelihatannya sulit dijangkau secara nyata. Tetapi kalau kita dalami makna dari penciptaan sepur akan mempunyai arti yang sangat dalam. Sepur merupakan alat transportasi mahal pada zaman dulu dan sekarang. Sepur pada saat itu merupakan kendaraan yang aneh yang sangat didambakan.  Semua ingin menaikinya. Pada saat itu kendaraan yang ada di Karang Manis hanya kuda dan sepeda, tetapi Atmo sudah bercita-cita ingin membuat sepur sendiri.

 

Sepur terdiri dari lokomotif dan menarik banyak gerbong di belakangnya. Eyang Atmo ibaratnya lokomotifnya. Ia menarik gerbong-gerbong yang dikiaskan sebagai putra-putranya. Di dalam gerbong ada penumpangnya, sebagai ibarat para cucu, buyut, canggah dan semua keturunannya. Semua gerbong dan penumpangnya akan dapat terangkut apabila terus bergandengan. Apabila ada gerbong yang melepaskan diri, maka gerbong itu akan tertinggal. Kemanannya tidak terjamin. Tetapi bila semua gerbong menyatu dengan lokomotifnya maka apa yang dicita-citakan Eyang Atmo untuk membawa semua keturunannya ke suatu tujuan yang indah dan mulia akan dapat dicapai. Memang ada berbagai jenis gerbong yang ditarik. Ada gerbong penumpang dan gerbong barang. Di gerbong penumpang, ada gerbong yang bertempat duduk bagus dan ada yang tidak bertempat duduk tetapi bukan perbedaan yang harus dikembangkan dalam sebuah sepur. Persamaan yang harus dikembangkan sehingga semua bersatu meski kondisi, situasi dan profesi penumpangnya berbeda-beda, semua itu justru membuat keanekaragaman profesi yang dapat menyatu menjadi kesatuan yang kukuh.

 

Eyang Atmodikromo memang menghendaki anak turunnya terus bersatu, saling menolong, saling membantu, saling menutup kekurangan sehingga semua dapat terangkat bersama meskipun berbeda tempat tinggal, profesi dan jabatannya. Dengan cara itu yang masih tertinggal dapat segera terangkat, yang merasa berlebih dapat memikirkan yang kekurangan.

 

Falsafah sepur memang sarat dengan makna. Sepur merupakan lambang keperkasaan. Memerlukan kekuatan yang luar biasa untuk mengangkut gerbong yang panjang dan dipenuhi penumpang. Ini merupakan sebuah harapan agar keturunan Ki Demang merupakan orang-orang perkasa di bidangnya masing-masing yang mampu dibebani sebanyak-banyaknya.

 

Sepur selalu berjalan di jalan yang sudah ditentukannya yaitu rel kereta. Sepur tidak pernah mau keluar dari relnya bila ingin terus berjalan. Dari keadaan ini tersirat agar kehidupan kita semua selalu lurus menurut perintah Allah dan menurut hukum yang berlaku. Orang harus jujur, lugas, mampu mengerjakan sesuatu dengan cepat, tidak menyeleweng seperti halnya sepur yang selalu mengikuti jalan yang benar.

 

Sepur selalu mau mengangkat semua yang naik di atasnya, tidak membedakan besar kecil, tua muda, membayar atau tidak, barang atau manusia ataupun apapun juga. Ia membawa semua muatannya ke tujuan. Dari keadaan ini, kita diharapkan selalu mau menolong orang lain tanpa pandang bulu, tanpa pamrih dan tanpa dipaksa.

 

Beberapa Kesaksian Anak

Seperti yang dituturkan oleh putra bungsu, Soekarno pada surat tulisan tangan tertanggal 4 Desember 1995 kepada kakaknya Darmosuwito dalam bahasa jawa halus. Soekarno mencatat beberapa kesaksian. Diantaranya, Ketika bulan Ruwah dulu saat semua kelurga dan kerabat berkumpul, Mas Darmo sempat bercerita pada para anak cucu yang datang saat itu. Dalam rencana membuat kereta yang diinginkan para sesepuh. Setelah selesai Mas Darmo mengatakan pada saya, ”No, ini bagaimana baiknya untuk selanjutnya? Dulu diputuskan kalau bisa berkumpul setahun sekali dan membicarakan sesuatu.” Saat itu saya juga kurang jelas dan belum juga siap jawaban. Setelah kembali saya merenung tentang apa yang bisa dilanjutkan pada para anak cucu. Sekarang saya sudah mendapat gambaran inti rencana membangun kereta api harus tetap dilanjutkan. Menurut pendapat saya, caranya adalah sebabagi berikut :

  1. Setiap bulan Ruwah pada minggu terakhir berkumpul.
  2. Sebagai orang tua harus memberi tuntunan pada anak cucu.
  3. Allah SWT sudah memberi anugrah begitu banyak. Derajat dan martabat keluarga besar Karang Manis sudah terangkat, tidak termasuk pada golongan yang paling rendah. Sedikit sudah dapat berperan pada keluarga dan masyarakat. Keluarga Karang Manis yang dulu berasal dari pelosok desa, berkelana sudah sampai Palur ke Timur jauh Sragen ke Barat paling jauh Prambanan, Yogya. Sudah tersebar dari Aceh, Bengkulu, Jakarta. Bandung, Pekalongan, Yogya, Solo, Madiun dan Surabaya. Malah sudah pada bepergian ke luar negeri, Jepang, Hongkong, Bangkok, Singapura, Australia, Amerika, Kanada, Perancis, negara Belanda. Untuk bidang pendidikan berapa yang sudah menjadi sarjana muda, sarjana, master. Oleh karena itu kita harus bersyukur pada Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Apa keadaan begini apa sudah cukup? Menurut pendapat saya, belum. Kereta yang diinginkan itu seperti apa? Kereta yang kuat, berguna pada nusa dan bangsa, bisa memberi pertolongan pada sesama dan memberi kegunaan pada keluarga. Mengangkat derajat keluarga setinggi-tingginya, namanya mikul dhuwur pendem jero.
  4. Sekarang kita mendapat pemberian anugrah, menurut pendapat saya hal ini merupakan hasil keprihatinan Eyang, bapak/ibu dan kita semua. Jadi harus meneladani Eyang, bapak dan kita sendiri. Riwayat hidup kakek, bapak semua harus dijelaskan. Kita ambil yang baik dan kita lupakan yang kurang baik. Riwayat kakek belajar membuat surat, menuntut ilmu terus berusaha menjadi pemimpin. Memberi 3 sapi, terus ditunjuk menjadi bekel. Jadi mempunyai jiwa kepemimpinan. Berusaha meningkatkan martabat. Pindah dari Jatikapal, Sawahan dan berkeluarga di Karang Manis.

 

Eyang Atmo, belajar supaya bisa membaca dan menulis. Caranya dengan kursus-kurus. Dari kecil makanannya nasi jagung sewaktu di Jatikapal, Sawahan. Setelah di Karang Manis baru merasakan makan nasi. Rajin menuntut ilmu yang berguna untuk membantu sesama seperti mengobati digigit ular, terbakar api, benda tajam, menolak hujan, mengobati sakit gigi, ilmu berlari –badan menjadi ringan. Seperti apa segala usahanya supaya anak cucu juga mengetahui.

           

Berani karena benar. Mempunyai urusan karena bekelnya diejek orang. Berani menggembrak meja di Kabupaten Sragen. Kalau ada hewan yang dicuri pencuri cepat mengambil tindakan, dicegat di daerah Mojogedang, Karanganyar. Zaman class II mau dirampok, Atmo memberi tumbak dan perampoknya lari semua. Semua berani karena benar. Ketika muda sering menjalani laku. Tidur di sungai. Pernah bertemu dengan kereta gemerlap ditarik kuda sebanyak 8 ekor. Bergemerincing. Katanya Sunan Kalijogo. Anaknya, Soekarno juga ikut-ikutan menjalani laku di beberapa sungai ingin bertemu Sunan Kalijogo, tetapi tidak pernah bertemu. Kalau menjalani puasa mutih bulanan, tidak makan garam, hasilnya putra-putranya kecukupan ekonominya, tidak ada yang kekurangan. Jadi kereta api bertambah baik dibanding zaman orang tua Atmo.

 

Atmo juga suka menolong sesama, jujur, beramal, berbelas kasihan pada sesama. Dengan susah payah menyekolahkan anak-anaknya. Darmo ngenger –ikut pada keluarga- sekolah di Ambachtsschools, Parngan, Hadi klas 6, Tarman dan Karno sekolah Belanda LSS. Semua tumbuh dalam keprihatinan.

 

Usaha membuat kereta api yang semakin baik dibanding sekarang, ada dua perkara :

  1. Lahiriah, usahakan pendidikan yang setinggi-tingginya untuk anak-anak kita.
  2. Batiniah, Dengan didasari raa prihatin dengan mencotoh para kaken dan orang tua.

Yang mudah dilaksanakan adalah mengurangi makan dan tidur. Menjalani puasa Senin-Kamis, puasa pada hari lahir anak-anaknya dll.

 

Kenangan Cucu

Beberapa kenangannya yang diceritakan cucu tertuanya, Soemirah. Beliau adalah orang yang tegap dan semangat tinggi. Dia tidak bersekolah tetapi beliau bisa membaca dan menulis. Tulisannya yang diperhatikan adalah tanda tangannya. Orangnya jujur. Bahkan bila ada orang yang mau menukar uang dengan uang kas Kademangan tidak diperbolehkan karena itu bukan miliknya.

 

Sekali waktu kalau ada keperluan ke Kawedanan di Tasikmadu. Dengan pakaian jawa komplet dengan blangkonnya beliau naik sepeda dari Karang Manis. Sepedanya adalah sepeda paling jelek diantara pejabat saat itu. Orangnya berani dan senang usul. Bila usul  memakai bahasa Jawa.

 

Bila malam, diantara waktu luangnya beliau senang bercerita pada orang-orang sekelilingnya. Ceritanya lucu-lucu. Cerita itu dikarangnya sendiri. Beliau juga senang bermusik dengan menabuh gamelan dan mempunyai gamelan sendiri.

 

Eyang Demang putri berasal dari Jogotakan. Sayang pada cucunya. Tiap pagi suka menyapu halaman dengan sapi lidi. Kesukaannya yang lain adalah membuat jamu jawa untuk cucunya. Meracik jamu dari daun-daunan, biasanya dengan daun pepaya yang pahit, dibungkus daun pisang dan disaring dengan sobekan kain. Sapu lidinya dipakai untuk duduk di bawah pohon sawo. Kalau sudah begitu, cucu-cucunya pada menangis karena tahu akan diberi jamu yang rasanya pahit.

 

Mbah Demang mempunyai cita-cita yang tinggi. Semua anaknya harus sekolah, padahal rumahnya di pelosok desa. Jauh dari tempat sekolahan. Tapi itu tak menyurutkan langkahnya. Anaknya harus sekolah. Meskipun dengan jalan kaki atau mondok ke daerah lain dekat sekolahnya.

 

Anaknya yang sulung, Suparman menuturkan. Waktu itu sekolahnya di Masaran. Terjadi hujan lebat dan sungai banjir. Padahal pulang pergi sekolah harus menyeberangi sungai. Ibunya sampai malam memikirkan putra sulungnya, kenapa belum pulang ke rumah. Mencari sendiri anaknya sampai malam sambil menangis terus di perjalanan. Kedua orang tuanya sudah tak sabar menunggu dan mulai mencari anaknya di sepanjang sungai itu. Ibunya mulai gelisah dan menangis sepanjang jalan memikirkan anak sulungnya yang belum kembali. Sewaktu berpapasan dengan tetangganya, dia dikomentari, ”Kenapa menangis? Kan anaknya banyak. Hilang satu kan masih banyak.” Dikomentari seperti itu ibunya marah besar, karena anak bagaimanapun juga anak. Tak dapat tergantikan.

 

 

Boks :

Sandiyah, Istri  Demang

 

Dalam khasanah bahasa Jawa ada permainan kata  yang disebut jarwa dhosok yakni upaya menjabarkan  satu kata menjadi dua kata atau lebih   dari suku kata pembentuknya yang menghasilkan makna yang sama sekali berbeda dari kata awalnya  cantohnya wedang (minuman) jarwa dhosoknya ngawe kadang (melambaikan tangan kepada teman agar mendekat). Tebu (tanaman penghasil gula) jarwa dhosoknya antebing kalbu (ketetapan hati). Ada pula garwa (suami/istri) jarwa dhosoknya sigaraning nyawa (belahan jiwa/ soulmate).

 

Menulis riwayat demang Atmo Dikromo tidaklah lengkap kiranya tanpa menyertakan sosok istri demang sebagai  sigaraning nyawa sang demang.

Sandiyah, demikianlah nama istri Atmodikromo. Wanita asal dukuh Jogotakan (utara Pengin, selatan Pengawat) desa Macanan Kecamamatan Kebakkramat.

 

Dari sumber cucu  (Suharsi) digambarkan bahwa  sosok Sandiyah lencir kuning dhuwur lenjang-lenjang (tinggi semampai berkulit kuning), tipe perempuan  setya tuhu dan bakti kepada suami. Untuk sang demang segalanya selalu utama dan istimewa.

 

Fragmen ini tergambar ketika  Nyi demang menyiapkan menu untuk Ki Demang. Sejak dari menanak nasi sudah begitu istimewanya. Nasi untuk  Ki demang beda dengan nasi untuk garwa  putra apa lagi para bebahu (tenaga). Buat Ki Demang nasi berasal dari  beras pari wulu sokanandhi (istilahnya  KW (kwalitas)-1-lah!)  sedang bagi yang lain dari pari cempa (KW-2). Cara menanak nasinya pun istimewa.  Beras karon (nasi setengah matang) dari pari wulu khusus untuk Ki Demang ditanak diletakkan di bawah (ujung kukusan, kukusan = perangkat dapur dari anyaman bambu berbentuk kerucut untuk memanak nasi), dan di atasnya adalah beras karon pari cempa. Ketika nasi masak kukusan ditumplak (dikeluarkan isinya dengan posisi dibalik). Jadilah nasi untuk Ki Demang ada di puncak  (seperti ujung tumpeng). yang kemudian dipotong untuk diletakkan pada bakul tersendiri.  Ki Demang selalu dhahar belakangan sesudah bebahu dan garwa putra. Seingat Suharsi, kebiasaan makan malam Ki Demang pada pukul 18.30 WIB setelah mencocokan jam saat mendengar bunyi burung tengkek.

 

Memang setiap kali acara makan terutama siang dan malam, (Ki Demang tidak biasa makan pagi) selalu ada tiga kloter. Kloter pertama untuk para bebahu, kloter kedua untuk garwa putra, dan kloter terakhir Ki Demang.

 

Sandiyah juga pintar memasak utamanya menu-menu jawa. ”Masakane mbah putri ki sedhep,” Demikian kenang  Suharsi. Apa  lagi  bila membuat sambal. Teknik Sandiyah ketika membuat sambal begitu sabar dan telaten dalam menghancurkan cabai. Ditekan pelan dan lembut sehingga isi cabai tidak hancur  dan  rasanya khas. Begitu pula ketika memasak menu kesukaan Ki Demang. Menu kesukaan Ki Demang yakni ikan badher/tawes hasil Ki Demang menjala yang dipanggang dengan bumbu sambal kelapa kemudian ikannya dipenyet  dan dengan lalap kemangi.

 

Begitulah. Sebagai istri demang Sandiyah amat mumpuni dalam mengelola urusan dapur ketika harus menyiapkan konsumsi untuk jumlah jiwa yang banyak. Maklum tenaga kerja Ki Demang banyak. Bengkok Ki Demang ada sekitar 9 bahu, wal hasil banyak pekerjaan dalam proses produksi pertanian. Mengolah tanah, penanaman, panen dan pasca panen melibatkan tenaga kerja yang banyak. Belum lagi penggembala sapi, kerbau dan kambing. Ditambah pula wanita-wanita penumbuk padi yang saban hari datang. Kondisi ini memperlihatkan betapa Ki Demang benar-benar sosok pengayom dan penebar jaring pengaman sosial bagi masyaraknya. Peran dan posisi Ki Demang amat kompleks  termasuk pula suatu imej bagi masyarakatnya bahwa di kademangan selalu ada makan. Ini tiada lain dukungan dari Nyi Demang yang begitu cakap mengatur tata-laksana rumah tangga.

 

Serangkaian prosesi tatkala  panen  (methil) maupun akan tanam (tandur) begitu amat dikuasainya pula. Ketika panen ada ritual khusus yang diagendakan yakni mengambil beberapa tangkai padi untuk disimbolkan sebagai sepasang pengantin dan diajak dialog. Lupa-lupa ingat menurut Suharsi  beginilah kira-kira dialognya  : “Mbok Sri Kuning tekane anteng awening; Mbok Sri  Ireng tekane anteng Ameneng; Mbok  Sri Abang tekane Anteng Amenang, Mbok Sri Putih tekane anteng alirih... Olehmu tapa ing ara-ara sasuwene iki wis tekaning mangsa kala sira tak boyong ing senthong bantal pagulingan. Jaken kancamu kabeh aja nganti ana sing keri, sing wuta tuntunen, sing lempoh gendongen , sing  lunga jaken bali, sing disilih konen mbalekne sing dipangan ama…., sliramu bakal tak lebokke ing senthong tengah dak sengguh penganten anyar   tak sumetke damar tak cepaki klasa anyar bantal anyar andadekna seneng atimu  muga-muga  pikantuk  berkah  saka gusti Allah.

 

Setelah dialog itu,  pengantin padi diajak pulang dan benar-benar ditempatkan di senthong tengah (kamar tengah dari arsitektur jawa) dengan dijaga nyala  dian (senthir) dengan tikar yang baru dan bantal baru pula. Ini dilakukan  secara pribadi  oleh Nyi Demang.

                                                           

***

 

Tiba saatnya acara rasulan (sebuah hajat kolektif karena datangnya panen raya), Nyai Demang begitu sibuk menyiapkan weweh (pemberian). Weweh ini berupa  makanan siap santap sebakul nasi lengkap dengan lauknya yang diletakkan pada panjang ilang (anyaman janur yang dibentuk sebagai wadah  fungsinya mirip keranjang parsel) dan dibagikan kepada sanak kerabat baik  yang bertempat tinggal jauh maupun dekat. Weweh ini selain berfungsi menjalin relasi sosial (silaturahim), juga ujud syukur  kepada Allah karena telah melimpahkan rejeki yang banyak.

 

Posisi  struktural sebagai istri demang paralel pula dengan posisi kultural Sandiyah.  Kenyataannya, Sandiyah selalu dikasting sebagai  sesepuh yang menghandel sega rendeng (nasi “sakral“ yang dikepal-kepal yang disuapkan kepada pengantin di pelaminan) tatkala rakyatnya berhajat mantu. Ini menunjukkan betapa dihormatinya Mbah putri di masyarakatnya.

 

Suharsi menuturkan,  Mbah putri itu sabar, semanak (ramah kepada siapapun), dan welas asih (berbelas kasih kepad siapapun) terutama kepada para putra dan cucu-cucu. “Nduk Harsi, kowe mengko maeme keri wae ngenteni lorotane Mbah Kakung”  (Neng Harsi, kamu nanti makan belakangan saja sehabis Mbah Kakung). Sudah barang tentu Suharsi kecil amat senang, sebab menu mbah kakung selalu istimewa.

 

Ketika Suharsi berangkat tidur, Mbah putri selalu menyempatkan diri memastikan Suharsi sudah benar-benar tidur atau belum. Sekali waktu Suharsi kecil dipijit betisnya oleh mbah putri karena kelelahan dan tidak bisa tidur, maklum sekolah Suharsi jauh (di Tasikmadu). Sambil memijit Mbah Putri berucap, “O alah ngger putuku  Harsi  muga-muga mbesuk dadi wong sing pradah……” (Suharsi cucuku, kudoakan kamu kelak kemudian hari menjadi orang yang  sabar, tabah dan senantiasa tawakal.).

 

Sandiyah juga memiliki  jiwa pendidik, dan memberi teladan bagi masyarakatnya. Mbah Putri memiliki ketrampilan yang dapat ditularkan. Membathik dan menganyam tikar merupakan contoh keahlian Mbah Putri. Ketrampilan membatik Mbah Putri diwariskan kepada putrinya (Sukinem Suparwo). Tikar hasil karya Mbah Putri terkenal halus dan panjang. Dari Rahim Sandiyah ini terlahir 6 orang yaitu Suparman (Darmosuwito), Suparngan (Sastromartono), Sukinem ( Ny. Suparwo), Sukandar (meninggal saat masih kecil), Saparman (Hadisumarto), Sutarman, dan Sukarno. (**Agam Bintoro-Buyut Demang Atmodikromo).

 

 

VI

Para Putra Demang

 

Demang Atmodikromo mempunyai anak 6 putra dan semuanya lahir di Karang Manis. Para putra tersebut yaitu Suparman (Darmosuwito), Suparngan (Sastro Martono), Sukinem (Ny. Suparwo),  Sukandar (meninggal sewaktu kecil), Saparman (Hadi Sumarto), Sutarman, dan Soekarno. Para putra dibesarkan di Karang manis dan sekolah di beberapa tempat yang ada sekolahnya. Maklum saat itu menjadi kemewahan tersendiri bisa sekolah. Tetapi sebagai putra Demang –terutama yang lelaki- menjadi sebuah keharusan bersekolah.

 

Sekedar informasi tentang sekolah saat itu. Informasi ini disampaikan Soenardjo dalam suatu kesempatan. Ada beberapa sekolah. SR (VolkSchool) 3 th, bahasa pengantar bahasa Jawa. Vervolkschool 2 th, berbahasa Indonesia mulai klas 4. Ada juga, Schakel School (5 th), pengantarnya menggunakan bahasa Belanda. HIS (Holandsche Inlandshe School), 7 th, dari TK dan SD. Bahasa pengantar Belanda. Kalau lulus melanjutkan ke Mulo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP, setelah lulus melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School). Sekolah ini merupakan sekolah beberapa tokoh nasional antara lain, Tirto Adi Suryo, Soekarno. Ada juga ELS (Eroupeesche Lagere School), SD untuk orang Belanda.

 

Si sulung Suparman lahir di Karang Manis sekitar tahun 1911, menjalani masa kecil di Karang Manis dan sekolah di beberapa tempat.  

 

Masa sekolah Suparman, SR 5 tahun di Masaran dan Ambachts schools 2 tahun di Tasikmadu. Sekolah tersebut untuk mendidik tukang dan dipekerjakan di pabrik gula Tasik Madu. Ada 2 jurusan, jurusan kayu dan besi. Suparman memilih kayu sesuai dengan kesukaannya.

 

Anak kedua, Soeparngan lahir pada tahun 1912. Soeparngan kecil sekolah pada Volkschool (sekolah rakyat), 3 tahun di Jetis dan 2 tahun di Tasikmadu. Setelah itu juga melanjutkan ke Ambachts schools (sekolah teknik setingkat SMP) 2 tahun, jurusan besi di Tasikmadu. Setelah lulus bekerja di pabrik gula Sondokoro, Tasikmadu selama 2-3 tahun.

 

Sukinem

Anak ketiga, Sukinem diperkirakan lahir sekitar tahun 1915-an. Menjalani masa kecilnya di Karang manis. Menikah dengan Suparwo yang bekerja sebagai mantri Polisi di Jatipuro, Karanganyar. Setelah pensiun Parwo tinggal di daerah Kembu, Waru, Kebakkramat. Pasangan ini tidak dikaruniai anak dan berpisah sekitar tahun 1960-an karena tidak mau dipoligami. Ny. Sukinem mengangkat anak (putra adiknya, Hadi Sumarto) yaitu Sukiyanto dan Sukiyani.

 

Sukinem kembali ke Karang Manis dan menempati rumah ayahnya. Mengelola sawah seluas 1 bahu dan beternak kambing. Hidup mandiri di Karang manis dengan menempati rumah bapaknya dan seorang pembantu bernama Pariyem beserta anaknya, Sutarman Lento. Belakangan Lento sempat bekerja sebagai karyawan Pos dan Giro sebagai pengantar surat tetapi akhirnya dipecat. Ny. Parwo meninggal sekitar tahun 2004 di rumah salah seorang anak angkatnya, Sukiyanto, di Badranasri, Karanganyar.

 

Sukandar

Anak keempat, Sukandar diperkirakan lahir sekitar tahun 1917-an. Menghabiskan masa kecilnya di Karang manis. Sempat bersekolah sampai SD kelas 5 dan meninggal pada usia sekitar sebelas tahun.  

 

Anak kelima, Saparman diperkirakan lahir sekitar tahun 1921-an. Saparman sekolah SR, 3 tahun di Jetis dan 2 tahun di Tasikmadu. Lulus Sekolah Rakyat beliau ingin menjadi guru. Ia menempuh ujian CVO (Cursus Voor Volksonderwiizer atau sekolah rakyat). Ia juga menempuh ujian untuk martonimpuno (pemungut pajak) dan lulus.

 

Anak keenam, Sutarman lahir 25 Agustus 1925. Masa kecilnya dihabiskan di desanya, Karang Manis. Sutarman bersekolah SR, 3 tahun di Jetis dan 2 tahun di Tasikmadu. Selesai Volkschool pada 1 Agustus 1936 dan harus pindah sekolah vervolk school di Tasikmadu bersama adiknya Soekarno dan tiap hari berjalan kaki. Sutarman melanjutkan sekolah di HIS (Hollands Inlandse School) Mardi Oetomo, Karanganyar yaitu sekolah rakyat yang berbahasa Belanda. 

 

Si ragil, Soekarno, Lahir 4 Nopember tahun 1928, mulai sekolah 1 Agustus 1933 di kelas I Volkschool di Jetis. Selesai Volkschool pada 1 Agustus 1936 dan harus pindah sekolah vervolk school di Tasikmadu. Selanjutnya Soekarno melanjutkan sekolah di HIS (Hollands Inlandse School) Mardi Oetomo, Karanganyar yaitu sekolah rakyat yang berbahasa Belanda. Tahun 1942, Soekarno melanjutkan sekolah di Mulo. Mulai tahun 1943, Soekarno sekolah di SMP Mangkunegaran sampai 3 tahun. Tahun 1946, Soekarno tamat SMP dan melanjutkan ke SMT (Sekolah Menengah Tinggi), Manahan, Solo.

 

Setamat SMA Soekarno melanjutkan kuliah ke Fakultas Pertanian UGM. Karena ketiadaan biaya kuliah hanya dijalani 6 bulan dan setelah itu menganggur. Lalu melanjutkan ke PTT dan Soekarno mulai kuliah di Bandung.

 

Beberapa putra Ki Demang yang berkeluarga dan mempunyai anak cucu akan dituliskan dalam bab tersendiri.

 

 

 

 

3 komentar:

  1. Mantabs Mas Broto... lanjuuuut !!

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Kebetulan saja mungkin ya nama Eyang saya juga Atmo Dikromo dan dulu masih ada saudara dari keraton solo hanya saja karena menikah dengan eyang sutiyem dan akhirnya hidupnya di pekalongan. saya salah satu cicit dari eyang Atmo Dikromo yang akhirnya hidup dipekalongan hehehheheee :)Salam Kenal

    BalasHapus