Jumat, 07 Desember 2007

Artikel : Menanti Tumbuhnya Kantong Sastra di Kaltim

 

Menarik sekali artikel dari sastrawan nasional asal Kaltim, Korrie Layun Rampan di Kaltim Post, 5 September 2007 berjudul Segitiga Sastra di Wilayah Borneo. Segitiga sastra yang dimaksud adalah tumbuh dan berkembangnya eksistensi sastra di wilayah Borneo dan Kalimantan. Istilah Borneo dalam kaca mata Korrie meliputi Negara Brunei Darussalam, Malaysia Timur (Labuan, Serawak dan Sabah) dan wilayah Kalimantan mencakup empat provinsi, termasuk Kaltim (Kalimantan Timur).

 

Beberapa hari sebelumnya saya juga mengikuti tulisan beliau di koran yang sama tanggal 1 September 2007 berjudul Mencari Akar Kebudayaan Kalimantan dan di Tribun Kaltim pada waktu yang sama berjudul Provinsi Borneo Raya. Hal itu menunjukkan kepedulian beliau terhadap kebudayaan Kalimantan, termasuk juga sastranya.

 

Sekitar tahun 2003, Korrie juga menulis tentang Peningkatan Kualitas Penulisan Seni Sastra di Kaltim yang dimuat Kaltim Post sebanyak tiga seri dari tanggal 15 Juni 2003. Korrie mengawali tulisan dengan Lintasan Sejarah sastra di Kaltim dan mengatakan bahwa peran media massa cukup besar. Pada tulisan kedua, Korie menyebut bahwa Sastra di Kaltim tidak menampakkan pembaharuan dan pada tulisan ketiga menyoroti bahwa pemerintah daerah kurang menghargai karya sastra.

 

Sebelum ini belum pernah saya jumpai tulisan lengkap seperti dituliskan oleh Korrie. Bahwa banyak nama-nama sastrawan Kaltim yang disebutkan Korrie tetapi sedikitpun saya tak mengenal karyanya. Hanya sedikit saja yang dapat saya jumpai tulisannya. Di antaranya Djumrie Obeng (ada beberapa bukunya yang beredar di toko buku), Mugni Baharuddin (Pernah bertemu pada acara Sastra Purnama di Bontang), Syafril Teha Noer (karena menjadi wartawan di Kaltim Post), Tatang Dino Hero (karena harian Suara Kaltim) dll. Selebihnya sangat jarang saya jumpai tulisannya. Semua terjadi mungkin karena keterbatasan saya membaca beberapa karya sastra di Kaltim dan juga intensitas pergaulan dengan kalangan sastrawan Kaltim.

 

Dari tulisan Korrie tersebut  saya menjadi tahu bahwa sudah lama sekali kepedulian terhadap perkembangan sastra di Borneo-Kalimantan dihembuskan. Salah satunya dalam Dialog Borneo-Kalimantan di Miri, Serawak, 27-29 November 1987. Dialog tersebut merupakan kegiatan independent yang berada di bawah payung Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara). Ada hal yang menggembirakan. Dalam Dialog Borneo-Kalimantan IX, Agustus 2007 di Brunei Darussalam pada Dialog Borneo-Kalimantan X di Kaltim, tahun 2009 akan diberikan Hadiah Sastra Sultan Hassanah Bolkiah untuk para penulis sastra di wilayah segitiga sastra.

 

Saya memang belum pernah bertemu langsung dengan bapak Korrie yang sekarang menjadi politikus tersebut. Tapi jauh sebelumnya sewaktu masih kuliah di Yogyakarta saya sudah mengenal tulisannya. Dan belakangan setelah bermukim di Bontang saya jadi tahu ternyata beliau asli Kaltim. Hal ini memberi harapan saya akan bisa tumbuhnya kantong sastra di Kaltim. Sebelumnya saya agak pesimis kalau hal itu bisa tumbuh.

 

Karya Sastra di Kaltim

Untuk mendukung harapan Korrie akan tumbuhnya karya sastra yang berkualitas di Kalimantan -khususnya Kaltim- perlu membuat iklim yang kondusif untuk tumbuhnya sastra di Kaltim.

 

Iklim yang kondusif itu apa? Sebenarnya banyak hal tetapi yang utama adalah dukungan apresiasi dan publikasi. Apresiasi bisa melalui kompetisi dan hadiah-hadiah atau perhatian yang signifikan pada pelaku sastra. Diadakan beberapa lomba atau penerbitan untuk antologi sastra. Penerbitan ditandai dengan penerbitan buku atau adanya tempat atau kapling lembaran sastra di koran setempat.

 

Sebuah kenyataan, sebatas publikasi di media bahwa hampir tak ada karya sastra di Kaltim. Media massa yang ada –Kaltim Post, Tribun Kaltim, Swara Kaltim, Balikpapan Post, Samarinda Post-- belum memberikan ruangan khusus untuk pemuatan karya sastra dari penulis Kaltim. Kaltim Post belakangan menyediakan sedikit ruangannya tetapi nampaknya belum optimal. Tidak seperti media massa nasional yang biasanya mempunyai ruang khusus sastra dan budaya pada hari Minggu dengan redaktur budayanya yang mengulasnya. Di Republika ada pemuatan cerpen, puisi dan kritik sastra pada satu halaman penuh. Di Kompas, ada rubrik Bentara yang memuat karya sastra seperti essay, puisi, cerpen dll. Di Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Jawa Pos begitu juga. Di beberapa koran daerah seperti Suara Merdeka dari Jawa Tengah, Bernas, Kedaulatan Rakyat dari Jogjakarta, Pikiran Rakyat dari Bandung juga menyediakan halamannya untuk ruang sastra. Di beberapa daerah lain saya kira juga begitu.

 

Kenapa di Kaltim belum? Ada dua kemungkinanya. Pertama, tak ada tulisan berbau sastra yang masuk. Kedua, redaktur tak ada yang concern pada masalah sastra sehingga tak menyisakan ruang. Bila kemungkinan pertama yang ada, kita wajib prihatin terhadap perkembangan sastra di Kaltim. Siapa yang salah? Para calon sastrawan atau media massa? Tak perlu diperdebatkan.

 

Yang utama adalah saling mendorong untuk membuat iklim berkarya di Kaltim. Senimannya harus mempunyai semangat berkarya yang tinggi. Media massa sebaiknya memberi ruang dengan pemuatan karya sastra pada halamannya. Lembaga atau institusi harus menciptakan iklim bersastra di Kaltim dengan berbagai lomba atau memanfaatkan even-even tertentu membuat iklim berkarya. Tanpa itu, akan perlu waktu yang lebih lama untuk menikmati sastra Kaltim yang bernas. Nama Kaltim pun tak akan ada dan mewarnai perkembangan sastra nasional.

 

Bila media massa tak ada dukungan biasanya dari institusi pendidikan. Meskipun bukan sebuah kepastian, tetapi pada beberapa daerah perkembangan sastra biasanya seiring dengan adanya institusi perguruan tinggi yang ikut mendorong perkembangan sastra.

 

Mungkin tidak secara langsung, tetapi biasanya ada semacam apresiator dari perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya. Di Jogja misalnya, ada Fakultas Sastra UGM dan FKIP di Universitas Negeri Jogjakarta. Dari situ memungkinkan munculnya “provokator” pembuat iklim bersastra. Di Jogja ada nama-nama Umar Kayam (alm), Bakdi Sumanto, Rahmat Djoko Pradopo, Faruk HT, Iman Budi Santosa, Darmanto Jatman (pindah ke Semarang), Rendra, Putu Wijaya dll. Di Jakarta ada nama Sapardi Djoko Damono.

 

Di beberapa kota yang disebutkan di atas, rata-rata mempunyai perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya. Sedang di Kaltim, dengan Universitas Mulawarman-nya belum ada Fakultas Sastra. Yang ada hanya Fakultas FKIP jurusan Bahasa Indonesia yang sampai sekarang belum terdengar gaung sastranya.  

 

Tetapi bila kemungkinan kedua yang muncul, kita hanya bisa menghimbau pada media massa untuk peduli pada perkembangan sastra di Kaltim. Siapa yang dapat mengapresiasikannya selain para redaktur media. Siapa yang dapat mempublikasikan karya-karya sastra selain redaktur media?

 

Bisa saja media lain seperti pementasan, lomba, penerbitan buku dll tetapi yang paling jelas dan luas dampaknya adalah pemuatan di media massa.

 

Penulis merasa mendapat ruang geraknya dan pembaca lain dapat mengapresiasikannya. Lebih baik lagi kalau disertai ulasan seperti pengantarnya Sutardji C Bachri di Kompas atau HB Yasin di Majalah Indonesia sewaktu awal-awal mengapresiasi karya sastra. Bahkan saat itu saya andaikan seperti tumbuhnya kantong-kantong sastra di daerah dengan dukungan koran daerah.

 

Seperti di Yogya yang sangat monumental pada tahun 70-an dengan adanya Persada Study Club di Harian Pelopor dengan “Presiden Penyair Malioboro” Umbu Landu Paranggi sebagai pengasuhnya. Saat itu sangat kondusif untuk iklim bersastra hingga ada –apa yang disebut Emha Ainun Nadjib- poros Malioboro-Gampingan-Bulaksumur untuk mengatakan ada link antara ketiga tempat tersebut dalam iklim bersastra. Malioboro mewakili para seniman jalanan, Gampingan mewakili lokasi Sekolah Tinggi Seni dan Bulaksumur mewakili UGM. Saat itu keluar nama-nama anak muda yang akhirnya menjadi wakil–wakil iklim bersastra. Nama-nama seperti Emha Ainun Nadjib, Darmanto Djatman, Ragil Suwarno, Linus Suryadi (juga Ebiet G Ade) menemukan popularitasnya juga diawali dengan publikasi tulisannya di media massa setempat.

 

Pada tahun 1990-an ada kantong-kantong sastra di daerah yang biasanya nge-link dengan peran koran daerah. Di Yogya, Bandung, Tegal, Tangerang. Ada yang cukup fenomenal seperti KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang dimotori Wowok Hesti Prabowo yang rajin mengadakan forum apresiasi sastra.

 

Adakah hal itu terasa di Kaltim? Sepengetahuan saya setelah bermukim di Bontang, Kaltim sejak tahun 1992, geliat bersastra belum nampak. Yang saya rasakan -sekedar memantau dari media massa- sangat jarang ada karya sastra muncul di koran daerah. Juga rubrik semacam agenda budaya. Kedua koran harian besar di Kaltim juga belum secara khusus menyediakan lembarannya untuk karya-karya sastra Kaltim. Satu-dua muncul tetapi masih belum terasa gregetnya. Ada beberapa nama tetapi seperti Shantined (Balikpapan) malah muncul di koran nasional.

 

Sekedar informasi, sekitar tahun 1993, menyambut kedatangan Emha Ainun Nadjib ke Bontang, saya bersama teman-teman menerbitkan Antologi Puisi Bontang yang berisi beberapa puisi karya sendiri secara terbatas. Puisi-puisi tersebut dibaca oleh penyairnya sendiri mengiringi Emha Baca Puisi. Puisi-puisi tersebut lalu saya kirim ke Harian Republika dan dimuat pada rubrik Oase dan diberi judul oleh redakturnya, Puisi dari Kalimantan. Dan puisi saya dimuat pada tulisan Puisi dari Kaltim bersama dengan puisi lain dari provinsi lain Kalimantan. Tak ada yang lain.

 

Hal ini menunjukkan betapa minimnya sastra Kaltim berpartisipasi pada Harian Nasional. Setelah itu beberapa kali baik puisi atau artikel sastra saya dimuat Suara Kaltim atau Kaltim Post tetapi tetap tak ada kelanjutan atau sambutan tulisan dari penulis lain. Tulisan langsung hilang tak berbekas. Tak ada sedikitpun gemanya.

 

Sewaktu Rendra ke Bontang, Kaltim dalam pentas drama mini kata Rambateraterata sekitar tahun 2001, saya menulis di Kaltim Post yang berjudul Rendra dan Perkembangan Sastra Kaltim. Pementasan Rendra tersebut atas inisiatif wartawan Kaltim Post Safriel Teha Noer dengan partisipasi Pupuk Kaltim. Saya sendiri –saat itu- sebagai karyawan Pupuk Kaltim yang berkontribusi terhadap dukungan Pupuk Kaltim akan pentasnya Rendra. 

 

Tulisan saya tak beda jauh dengan keprihatinan Korrie tentang kondisi sastra di Kaltim. Saat itu saya menulis bahwa kedatangan Rendra di Kaltim yang mendapat publisitas hebat di Kaltim Post sebisa mungkin harus dimanfaatkan untuk mendongkrak kondisi sastra (berkesenian?) di Kaltim.

 

Saat itu saya juga menyoroti peran media massa yang tak memberikan ruang pada perkembangan sastra Kaltim, bahkan saya menyontohkan kondisi Jogja sebagai salah satu kantong sastra daerah bisa berkembang sangat baik berkat dukungan sekian media massanya. Setelah tulisan saya dimuat, saya mendapat undangan dari Dewan Kesenian Kaltim melalui ketuanya A Rizani Asnawi untuk menghadiri diskusi sastra di Samarinda. Tetapi karena waktunya belum tepat saya tidak bisa menghadiri undangan tersebut. Saya berharap ada dokumentasi hasil diskusi yang dimuat di harian Kaltim, tetapi ternyata setelah saya cari tak ada liputannya.

 

Memang saya pernah terlibat sedikit dengan nuansa bersastra di Kaltim, sewaktu sekitar Juli 1994 dalam tajuk Sastra Purnama. Saat itu bertemu dengan Hamdani (wartawan Suara Kaltim), Mugeni Baharuddin (PNS dan penyair), Rendy (Pernah jadi kontributor Tempo) dll dan kami berdiskusi sambil baca puisi di Bontang. Setelah itu belum terdengar gemanya. Satu dua penerbitan antologi puisi terdengar tetapi publikasinya kecil dan distribusinya belum merata ke daerah lain.

 

Mungkin ada kantong sastra yang tumbuh di daerah di Kaltim tetapi gemanya belum seperti tumbuhnya kantong sastra di Jawa.

 

Ada beberapa catatan yang terjadi di Bontang. Beberapa penerbitan buku yang dimotori oleh Muthi Masfuah dari Lingkar Pena Kaltim juga perlu dicatat. Bidang yang dekat dengan sastra juga telah tumbuh dengan adanya Teater Timur dan Teater Kronis. Satu dua penulis juga lahir tetapi belum menjadi seperti kantong karya. Ada nama Maya Wulan (Bontang) yang sudah menerbitkan beberapa novel juga layak dicatat meskipun kiprah dia juga tidak melalui Kaltim tetapi lewat Yogya karena dia kuliah di sana. Sebagai pribadi-pribadi mungkin puisi itu sudah tertulis tetapi sebagai penerbitan belum menemukan apresiasinya. Sekedar berusaha –untuk menyebut salah satu contoh-, penulis dengan beberapa teman dalam waktu dekat juga akan menerbitkan buku Antologi Puisi di Bontang.

 

Kantong Sastra Kaltim, Mungkinkah?

Pertanyaan selanjutnya adalah terbentuknya kantong sastra Kaltim, mungkinkah? Sangat mungkin.  Bibit penyair saya rasa dimana pun berada pasti ada. Hanya berbeda skalanya. Dengan penduduk sekitar 2,5 jutaan dan ada komunitas perguruan tinggi rasanya akan lahir beberapa penulis. Juga kehadiran beberapa industri yang menyertakan karyawannya sebagai salah seorang pecinta sastra

 

Hal yang sangat penting adalah tempat publikasi. Dua koran besar dan banyak terbitan daerah dapat mendukung adanya iklim bersastra dengan memuat karya-karya mereka. Yang lebih penting lagi adalah semacam pembimbing untuk membuat iklim berkarya. Bapak Korrie Layun Rampan yang reputasi dan karyanya telah dikenal luas dapat berperan sebagai pembimbing. Mungkin dapat seperti Umbu di Yogya atau Ahmadun Yosi Herfanda di Republika atau Sutardji Colsum Bachri or Radhar Panca Dahana di Kompas.

 

Ada harapan lain, dibuka Penerbitan bersama berupa media massa sejenis Horison dari Mastera dan penerbitan buku-buku sastra yang dikelola para sastrawan di dalam wilayah “segitiga sastra”. Hadiah Sultan Brunei Hasanah Bolkiah juga bisa sebagai pemicu. Yang lebih penting adalah dukungan koran daerah sehingga jejak sastra sebagai sebuah karya dapat diapresiasi. Dengan adanya karya sastra –terlebih dengan setting daerah- maka daerah tersebut akan bisa dikenang oleh kalayak pembaca.

 

Kapan harus dimulai? Apa menunggu karya-karya hanya tersimpan di lipatan-lipatan buku atau tak ada geliat karya sastra dan yang ada hanya tumbuhnya industri yang menggantikan hutan-hutan yang dulu lebat. Rasanya hidup perlu keseimbangan.

 

*) Dimuat dalam 3 edisi di Kaltim Post, 25, 26, 27 September 2007

2 komentar:

  1. Salam,
    Semoga Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Sengata bisa mengawali atau menjadi bagian dari perkembangan sastra di Kaltim.

    BalasHapus
  2. Salam kembali. Betul mbak. Kami tunggu karya2 dari FLP Sangatta. Saya kenal temen2 di FLP Bontang, choirul, Muthi dll. Pernah juga jadi salah satu nara sumber, semacam talk show sewaktu kegiatan jurnalistik FLP Bontang

    BalasHapus