S |
etelah melalui sekian guyonan dan diskusi via email, undangan, revisi dan molornya waktu maka pertemuan bertajuk yang sedap-sedap di Sedap Malam akhirnya terlaksana di rumah dinas Manik Priandani, Jl. Sedap Malam No 14 PC VI PKT pada tanggal 1 Januari 2007 jam 11-an sampai selesai. Ini adalah pertemuan kedua CB (Club Buku) 33 setelah mencari sekian waktu luang. Pertemuan pertama pada saat deklarasi CB-33 pada tanggal 3-3-2007 di Jl. Kecubung 33 PC VI. Hadir dalam pertemuan kedua tersebut Ezrinal Azis beserta anaknya, Mudjib Utomo dengan anaknya, Mujab, Sunaryo Broto dan anaknya, Abdul Hakim, Kusnul Nurmanto, Wijaya Laksana, Edy Pratolo, dan Novianto. Ada beberapa teman yang karena satu dan dua hal tidak bisa datang tetapi ikut merespon diskusi buku via email.
Acara utama adalah santai-santai silaturahim setelah lama berdiskusi via email. Ada sembilan bulan lebih dan sudah puluhan buku diresensi dan dibahas via email dengan segala pernik candanya. Tuan rumah, Manik menjadi pembicara utama membahas Trilogi Buku Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata. Buku yang sudah belasan kali terbit sejak 2005 dan selama 3 pekan menjadi best seller tetap menarik untuk dibahas. Pembahasan diselingi diskusi dengan ramai karena hampir semua peserta antusias berkomentar terutama Mudjib
Manik mengaku sangat menikmati 3 buku tersebut hanya dalam 3 minggu tetapi rasanya antara buku satu dan lainnya ada yang terpisah cerita. Buku Laskar Pelangi bercerita tentang keceriaan 10 anak SD Muhammadiyah di Belitong yang dijuluki gurunya Laskar Pelangi dan perjuangan tulus seorang guru bernama Bu Muslimah. Dengan segala keterbatasannya dan daya juangnya mengatasi kendala yang ada dengan tokoh utama Ikal atau Aqil Barraq Badruddin atau Wadudh atau Andrea Hirata. Buku kedua, Sang Pemimpi bercerita tentang mimpinya semasa SMA tanpa keterkaitan dengan 9 tokoh pada Laskar Pelangi. Buku ketiga Edensor merupakan rangkaian mosaik Andrea Hirata yang bercerita tentang pengalaman jalan-jalan ala backpacker sewaktu study di Perancis ke penjuru negara Eropa dan ”kebetulan” bertemu dengan sebuah desa di Inggris dengan nama Edensor. Resensi lengkapnya ada pada http://sbroto.multiply.com. Tulisan berita singkatnya juga ada di http:// hakimborneo.blogspot.com
Ada opini lain dari teman-teman yang respek via email. Komentar-komentar ini sayang sekali bila tidak didokumentasikan. Lola Karmila, staf SDM dan juga pecinta buku yang sudah membacanya berkomentar. Menurutnya di buku pertama "Laskar Pelangi", pengarangnya masih wagu, karena dia bercerita tentang anak kecil dengan bahasa orang dewasa, jadinya enggak pas. Coba kalau dia membicarakan kepintaran seseorang dengan bahasa yang sesuai dengan usianya pada saat itu, akan menambah nilai plus untuk buku dengan cerita yang menarik dan menyentuh hati. Seperti buku Totto-Chan (Si Gadis Kecil di Tepi Jendela) karangan Tetsuko Kuroyanagi. ”Coba bandingkan gaya bahasanya, pengarangnya bertutur dengan gaya sesuai usia pada saat itu, menarik kan,” tulisnya. Di buku yang ketiga baru terasa pas, karena dia bercerita sesuai dengan usianya pada saat itu.
Kiriman Tedy Nawardin yang juga Kepala Biro Humas menarik sekali karena tugasnya banyak berkecipung pada bidang CSR (Corporate Social Responsible). Mari kita simak. ”Suatu saat saya membeli Tetralogi Laskar Pelangi (3 buku langsung). Maksudnya untuk anak saya. Di pesawat saya buka. Ada komentar teman saya ditulis di buku (Santi, adik kelas S1 dan sama-sama di S2 Komunikasi UI). Lalu saya tertarik untuk membacanya. Tidak terasa saya hanyut dalam cerita. Saya seperti berada dalam lingkungan Laskar Pelangi. Terlepas dari beberapa kekurangan dalam cara bertutur, tetapi penulis mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Keceriaan begitu mudah dialirkan. Kesedihan pun tidak tabu disampaikan. Cinta pun digulirkan meski terkesan begitu polos. Setiap buku itu punya makna bagi saya. Yang paling tersentuh, saya baca tentang karnaval 17-an. Bukan karena ekspresi kesenian yg ditampilkan, tetapi tentang semangat. Bayangkan, anak-anak "kampung" bisa mengalahkan anak-anak "mapan" sekolah PN Timah. Lalu saya membayangkan, suatu saat saya harus bisa membangun semangat anak-anak Guntung untuk mengalahkan anak-anak YPK (Yayasan Pupuk Kaltim). Saya pikir itu bisa dan harus bisa. Tinggal bagaimana keseriusan perusahaan dalam pemberdayaan masyarakat di buffer zone. Hal kedua yg menggelikan, ada pada buku ketiga ketika bertemu dengan primadona kelas bernama Katya. Prinsip Katya tentang cowok dengan pendekatan seperti Channel TV begitu berbeda dengan Ikal yg cinta mati dengan A Ling.”
Ada juga kiriman sinopsis dari anaknya Pak Agung Yogisworo, karyawan SPI PKT untuk Buku Edensor. Buku ini adalah buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi. Buku ini menceritakan kisah sang penulis saat berhasil mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Universite de Sorbonne, di Paris. Di sana, banyak kejadian-kejadian yang bisa dibilang sungguh aneh dan tidak masuk akal. Ada kejadian dimana si Ikal dan Arai bertahan hidup di sebuah terowongan pada suhu -9° karena tidak berhasil mendapat tempat tinggal. Dan ada juga dimana saat si Ikal (Andrea Hirata) bertemu dengan orang yang dia ambil namanya dan dia pakai sebagai namanya, Andrea Galliani. Banyak kejadian-kejadian yang mengagumkan yang dapat kita temukan di buku ini. Seperti saat Ikal dan Arai tersesat di negeri Balkan, mereka bertemu dengan orang asli Purbalingga yang sejak 1965 sudah di Balkan yang bernama Toha. Ada juga bagian dimana dia waktu kecil pernah punya pacar bernama A Ling. Suatu hari, A Ling pergi dari desa dan meninggalkan Ikal. Sebelum pergi, A Ling memberi sebuah buku pada Ikal tentang sebuah desa bernama Edensor. Buku itu membuat Ikal terinspirasi untuk bisa pergi ke Edensor. Suatu hari di hari yang dingin, Arai terkena penyakit parah yang bisa berbahaya saat musim dingin. Arai pun dipulangkan ke Indonesia karena hal itu. Akhirnya, Ikal memutuskan untuk ikut dosennya bernama Profesor Turnbull ke Sheffield, Inggris. Karena waktu itu Profesor Turnbull sedang tidak ada, Ikal pun memutuskan berjalan-jalan di sekitar pedesaan. Ketika itu, ia sampai di sebuah desa yang indah. Ikal dilanda dẽjắ vu. Ia seperti pernah ke tempat ini, saat bertanya kepada orang, ia akhirnya tahu nama desanya. Tahukan kawan, nama desa itu? Desa itu adalah…Edensor. Komentarnya : Menarik, seruu!!! Gokil!! Harus baca!!! Karena sangat inspiratif sekali!!
Acara kedua launching buku kumpulan puisi karya Sunaryo Broto berjudul Aku Ingin Hidup Lebih Lapang. Buku ini berisi kumpulan puisi karyanya selama menjadi karyawan di PKT Bontang sejak 1992-2007. Bukan berarti semuanya karyanya dikerjakan di Bontang. Bontang hanya tempat berlabuh untuk mengendapkan ide dan menampung luapan emosi. Puisi ditulis di beberapa tempat, antara lain di Yogya, Solo, Jakarta, Suka Bumi, Manado, Makasar, Mekkah, Medinah, Kairo, Manama, Alexandria, di atas kereta api, di ruang tunggu bandara dll. Ada sekitar 72 puisi dalam buku tersebut. Launching buku disertai baca puisi oleh pengarangnya dan Kusnul Nurmanto. Diselingi diskusi karya dan pembahasan dengan santai.
Diantara suguhan nasi uduknya Mbak Lisna yang enak banget he..he..., bakso, kacang, coctail, rengekan anak dan buku-buku tebal bertebaran kita saling berbagi pengalaman dan obsesi. Saling melontarkan ide, komentar, guyonan ditambah bumbu-bumbu cerita sedikit. Ezrinal juga menceritakan tentang tulisannya yang dikirim ke sebuah situs di internet yang sampai diterjemahkan ke beberapa bahasa di beberapa situs. Pertemuan bukan hanya sekedar membahas karya penulis tetapi latar belakangnya. Dalam kondisi apa harus menulis dan bagaimana harus menulis. Bahan baku buku hampir semuanya punya, fasilitas juga berlimpah, hanya tinggal menuangkannya saja. Suatu saat juga harus lahir sebuah buku dari komunitas ini. Hanya waktu yang membuktikan. [sb]
Pak Broto tulisannya sudah persis sama dengan laporan Utama di Mjalah Gatra atau Tempo, detail dan tidak membosankan. Salut (Kusnul Nurmanto)
BalasHapus