Telah lahir komunitas C B 33 adalah yang singkatan dari Club Buku 33. Inilah klub buku pertama di lingkungan Pupuk Kaltim (PKT). Sejarah CB 33 berawal dari kegiatan pinjam-meminjam buku diantara beberapa karyawan pecinta buku. Tergoda untuk membentuk komunitas baca dan memperluas jaringan pinjammeminjam buku, beberapa karyawan melalui bisik-bisik via email sengaja bertemu di rumah dinas Sunaryo Broto, Jl.Kecubung 33 PC PKT. Wasw
Sebagai pembedah buku, adalah H.Mudjib Utomo, penulis yang tak asing lagi di lingkungan PKT yang kebetulan adalah Kabag Data & Publikasi Humas PKT. Peserta bedah buku yang hadir antara lain Ezrinal Azis, Ketua Umum KKPKT; Edy Pratolo, Pemred Majalah Selaras ; Wijaya Laksana, Kasi Publikasi dan Dokumentasi Humas PKT; Manik Priandani, Process Engineer yang suka mengkhayal menjadi penulis dan anak semata wayangnya yang mulai menjadi pecandu buku, Tara; Kusnul Nurmanto, master ilmu lingkungan yang suka puisi; Mujab Abdullah, Kabag Biro K3LH; Yunu, Kepala Penerbit Etam Media Press KKPKT; dan Dwi Hendro Basuki, guru SD 2 YPK. Dan tentunya tuan rumah, Sunaryo Broto, mantan Pemred Selaras dan Media Pupuk Kaltim. Sayang Farabirazy Albiruni, Metalurgist yang juga penyair, berhalangan hadir karena sedang sibuk mengerjakan tugas kantor.
Diskusi dan bedah buku ini juga dihadiri oleh Hikmat Gumelar, seorang kolumnis dan budayawan asal Bandung yang menjadi tamu KKPKT. Diskusi berlangsung cair dan non-formal. Sambil menikmati kacang, pisang rebus, dan makanan kecil lain, mereka yang hadir menceritakan pengalamannya di dunia perbukuan.
Kusnul Nurmanto menceritakan koleksi bukunya yang beragam. Namun kini Kusnul lebih sering membaca buku yang ringan namun ’berkhasiat’’ alias mencerahkan. Mujab yang sempat mengkoleksi komik Gundala dan Godam pada waktu di Semarang berkisah tentang prinsip yang dipegangnya dalam hidup yaitu seperti air mengalir. Prinsip itu juga yang dipegangnya ketika membaca buku, sehingga ia membaca buku apa saja, dari A sampai Z, seperti air mengalir. Wijaya Laksana bercerita tentang kakek dari istrinya yang punya buku Satanic Verses karya Salman Rushdie yang pernah menghebohkan dunia. “Saking tebelnya kalo baca harus pakai sepatu safety, karena kalo ketimpa pasti kaki bakal remuk,“ kelakar Jay, “saya mau pinjem ga jadi-jadi, takut overweight bagasi,“ lanjut redaksi majalah Media PKT ini. Jay juga bercerita tentang pengalaman masa SD kala suka meminjamkan koleksi buku Perpustakaan miliknya, yang kemudian raib satu
persatu (karena tidak kunjung dikembalikan oleh peminjam). Manik bercerita tentang kemalasannya dalam membaca buku-buku “berat“ sehingga memilih membaca novel-novel dan tulisan-tulisan ringan. Bacaan berat dibaca sekali-sekali, dan membutuhkan waktu empat kali lebih lama dibandingkan membaca bacaan ringan dan romantis. Edy Pratolo berkisah tentang kesukaan membaca dan menulis yang dipunyai sejak kecil. Buku pertama yang ditamatkannya di usia 6 th adalah Lima Sekawan, “Memburu Kereta Api Hantu.“ Hobinya menulis diilhami oleh esai-esai Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir. Sunaryo Broto yang pernah aktif di majalah “Balairung“ UGM dan mendirikan majalah mahasiswa Teknik Kimia Entropi, sewaktu mahasiswa bercerita kesenangan membaca sudah dari kecil dengan membaca majalah Si Kuncung, Bobo, Hai, Panyebar Semangat dan beberapa novel anak-anak terbitan Balai Pustaka. Dia bercerita betapa asyiknya membaca novel-novel Pramudya Ananta Toer. Semakin buku itu dianggap misterius dan dilarang, membuatnya makin penasaran dan mencari sampai ketemu buku yang dimaksud. Buku Bumi Manusia banyak menginsipirasi untuk menulis. Dari suka membaca buku, akhirnya tertarik untuk menulis. Menurut Hukum Broto I, kaidah yang berlaku umum untuk penulis adalah membaca sampai overflow dan kemudian menuangkannya dalam tulisan.
Lain halnya dengan pimpinan redaksi Media PKT, Bung Mudjib. Bapak yang satu ini mempunyai ketertarikan membaca sejak kecil. Baik itu buku otobiografi sampai novel dewasa. Dia sangat terkesan dengan penulis asing yang kemudian jadi orang “Bali“: Ketut Tantri. Walau kala itu masih SD, dia sudah berani membaca Revolusi Di Nusa Damai! Bagi ketua KKPKT, Ezrinal Aziz, dongeng dan cerita sudah menjadi konsumsinya sejak kecil. Hal ini terbawa ke dalam kehidupan selanjutnya, sehingga dia sangat menyukai seni dan sastra. Koleksi bukunya banyak yang berat. Dalam arti sesungguhnya (bila di-kilo-kan), juga berat dalam hal isi. “Dijamin imbang dengan Abie“, begitu seloroh Edy.
Hikmat Gumelar mendengarkan cerita-cerita komunitas CB-33 dengan antusias dan ekspresif. Setiap peserta yang sedang berbicara dan bercerita, diperhatikannya dengan seksama. Pada gilirannya, dia bercerita tentang aktivitas kebudayaannya di Bandung. Bagaimana dia beserta istri dan teman-temannya membentuk suatu kelompok independen yang mengembangkan minat baca, menulis, dan mendiskusikan hasil tulisan dalam sebuah club pecinta buku. Club tersebut bersifat mandiri. Bermula dari penerbitan dan percetakan yang dimiliki oleh Hikmat Gumelar, tulisan-tulisan anggota club tersebut diterbitkan dengan biaya yang lebih murah dibandingkan penerbit yang lain. Hikmat adalah pembaca buku apapun,“kecuali Fisika dan Kimia,“ kelakarnya. Hampir semua buku seolah-olah dibacanya.
Hal ini terlihat sewaktu menanyakan kepada Dik Tara, yang diajak ibunya, Manik, datang ke forum itu. “Apakah sudah membaca buku Totto-Chan (Si Gadis Kecil di Tepi Jendela) karangan Tetsuko Kuroyanagi?“ tanya Hikmat. Kata Tara buku itu memang bagus karena dia pernah membaca dan meminjamnya dari Perpustakaan PIKA (Persatuan Istri Karyawan) PKT. beberapa waktu lalu. Walau tidak datang pada pertemuan tanggal tiga bulan tiga, Abi (panggilan Farabirazy Albiruni) mempunyai kisah yang unik yang dikisahkan via intranet tentang bagaimana dia mendapatkan buku Das Kapital mahakarya Karl Marx. “Saya dapat buku itu gak sengaja waktu liat loakan buku di Pasar Poncol, tiba-tiba ada razia Polisi Pamong Praja. Si tukang buku yang lagi megang 3 jilid buku itu langsung nyerahin bukunya ke saya dan bilang cepet bayarin nih buku. Saya kaget sekali waktu itu dan dengan tergesa merogoh kantong kemeja. Cuma ada duit 2000 perak. Uang itu langsung disambarnya dan dia langsung kabur entah kemana. Baru setelah di bis saya liat dan kaget ternyata itu buku yang paling dilarang di masa itu. Untung aja gak ketangkep waktu bawa-bawa buku itu, bisa berabe urusannya,“ kisah bujang lokal ini (mungkin sambil terkekehkekeh).
Maka demikianlah awal sejarah berdirinya CB 33: sejumlah orang yang punya hobi sama berkumpul sekadar mengobrol utara-selatan (ngalor-ngidul, kata orang Jawa) tentang buku. CB 33 nama yang sederhana. Sesederhana tujuan dan anggota Club ini yang sekedar untuk berbagi pengalaman membaca (reading experience mungkin kata Thukul Arwana). Karena hampir semua anggota adalah pekerja yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, klub ini tak punya jadwal pertemuan tetap apalagi padat. Mengalir seperti air, prinsip Bung Mujab. Nama juga tak terlalu penting, yang penting output dari klub ini, kata Edy. Maka jadilah Club Baca 33. Mengutip ucapan Gus Pur di Republik Mimpi, “Gitu aja kok repot (cari nama dan bikin jadwal tetap)“. Enjoy saja! Siapa mau gabung? [ep/emp]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar