Pengantar : Sebuah Pohon Besar
Sebuah Cerita Untuk Anak
Apa yang diingat kalau kita berbicara tentang keluarga besar? Keluarga? Dalam kehidupan masyarakat Jawa yang namanya keluarga adalah bukan sekedar keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak. Tapi keluarga adalah sebuah keluarga besar. Kalau perlu sampai 2-3 generasi di atas kita. Itu masih ada sangkut pautnya. Hal itu tak sepenuhnya salah karena kita ada, harus ada yang mendahului. Dan itu generasi sebelum kita. Terlebih lagi kehidupan sebuah generasi adalah proses dari generasi sebelumnya. Tak bisa kehidupan yang ada sekarang ini terjadi secara tiba-tiba. Ada proses yang mengawalinya. Dan itu yang memproses adalah generasi sebelum kita. Untuk itu kita patut mengucapkan terima kasih pada generasi sebelum kita.
Soekarno tidak lahir mendadak. Dia berhasil karena atas usaha bapaknya, Rd. Sukemi menyekolahkan anaknya pada HBS di Surabaya meskipun dengan tingkat perekonomian yang sangat pas-pasan. Saat itu hanya dengan modal “kenekatan” orang tuanya mengirim Soekarno muda kost di rumah HOS Cokroaminoto. Coba kalau bapaknya tidak menyekolahkan? Tak ada nama Soekarno. Kartini begitu juga. Tak ada nama Kartini, bila bapaknya tidak langganan beberapa majalah Eropa dan buku-buku Eropa untuk bahan bacaan anaknya. Tak ada juga keluarga besar Emil Salim, bila waktu dulu bapaknya Agus Salim tak ngotot menyekolahkan dan mendidik Agus Salim. Tak ada generasi lahir mandadak.
Barangkali untuk mengenangkan dan menghormati generasi terdahulu, penulis akan mengorek kisah keluarga besar. Kisah-kisah yang terselip diantara ingatan yang terbatas atau tumpukan buku-buku kusam di lemari berdebu. Dalam setiap kisah ada sisi positif dan sisi negative. Bila sisi negative ada yang terselip itu tidak ada maksud untuk tujuan negative tetapi hanya sebagai bahan pengingat dan menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya. Atau bila ada sisi positif hal itu yang harus dicatat sebagai cermin atau kajian generasi setelahnya. Apapun perannya, mereka –para leluhur kita- termasuk berkontribusi pada proses yang terjadi sampai saat ini. Hal ini kalau tak dituliskan akan hilang ditelan zaman dan waktu.
Catatan manusia adalah terbatas. Terlebih ingatan. Begitu juga pada keluarga besar penulis. Hanya ingatan sepotong-sepotong, dengan beberapa nara sumber dan catatan Soenardjo yang rajin menuliskan dalam buku besarnya yang telah lusuh. Bu Ni juga menambahakan beberapa cerita dan tambahan data. Juga buku kecil Catatan Eyang Ronggo dengan tulisan latin dan Jawa yang rapi, Buku Ronggo Kariyo Sarono (1997). Tapi itu menjadi sumber yang berharga dari catatan sejarah keluarga besar. Meski tak cukup, tak apalah sebagai sebuah permulaan. Nanti catatan ini akan berkembang seiring dengan bertambahnya waktu. Ibarat keluarga besar itu sebuah pohon sudah tercatat sebagian akar, batang, dahan, ranting dan daun. Akarnya mungkin belum sampai akar yang menghunjam jauh di dalam tanah. Cukup akar pokoknya saja. Generasi berikutnya yang akan menambah lagi ranting pohon dengan banyak daun hingga terjadinya buah yang akan dipandang oleh banyak orang. Bukan karena apa-apa, tetapi karena buah tersebut memberi manfaat pada banyak orang. Seperti sebuah rahmatan lil alamin, bila itu tak berlebihan disebutkan.
Tak lain semua itu supaya nanti, generasi berikutnya tak terputus informasi tentang keluarganya. Mereka dapat menelusuri dan meneruskan catatan ini. Tak ada kata “missing link” pada keluarga ini yang belum seberapa “besar”. Tapi siapa tahu besok bisa beranjak “besar”.
Baiklah, catatan bisa bermula dari ini dan proses ini akan tetap berlanjut.
Daftar Isi
Pengantar : Sebuah Pohon Besar ……………………………………4
Daftar Isi ………………………………………………........................6
BAB I : Irodono dari Gayamdompo .………………………………..... 7
BAB II : Karyodikromo, Anak Irodono ………………………………..10
BAB III : Seseorang Bernama Yahyo ………………………………... 14
BAB IV : Kenangan Cucu ……………………………………………...22
BAB V : Para Putra Mbah Ronggo …………………………………..28
BAB VI : Catatan Penutup …………………………………………….40
BAB I
Irodrono dari Gayamdompo
Pada era Indonesia tempo dulu. Mungkin belum ada sebutan Indonesia karena masih memakai istilah Hindia Belanda. Ada seseorang bernama Irodrono yang lahir sekitar tahun 1829 di Gayamdompo. Dari nama dan dusun inilah sebagian sejarah keluarga lahir. Irodono bekerja sebagai Bekel Karan Kidul.
Cerita tentang Irodono dikisahkan oleh Darni. Irodono seorang yang mempunyai pembawaan halus dan berani. Dia juga mempunyai sifat nrimo (menerima). Disakiti oleh orang yang disenangi dan membuat rekayasa tetapi Irodono tidak iri dan marah. Semua diterima dengan hati lapang dan sayang pada siapapun. Disamping sifat itu, Irodono mempunya kesenangan lain yaitu suka adu jago. Kadang, Ny. Irodono diajak juga untuk melihat arena adu jago yang disediakan seperangkat gamelan Suatu hari, Irodono menang dalam adu jago dan bergembira bkan main sampai Ny. Irodono digendong sambil berjoget diiringi gamelan.
Irodono suka memberi, dan Ny. Irodono hati-hati dan setiti dalam membelanjakan uang tetapi tidak kikir, berhubungan baik dengan tetangga. Irodono suka memberi pada orang yang kekurangan. Rumah beliau lokasinya sebelah Timur rumahnya Mbah Niti, jadi sebelah Timur jalan. Rumahnya diwariskan pada salah seorang anak lelakinya, Kromodiryo yang tidak menjadi lurah tetapi kaya raya. Rumahnya pada pelatarannya ada pagar dari kayu jati dan diikat dengan tali dari rambut pohon aren, biasa disebut pager grogol jati. Senjata andalannya tumbak. Bila saudaranya kecurian harta benda, Kromodiryo dimintai tolong untuk mencari harta benda yang dicuri tersebut. Hasilnya harta yang dicuri tersebut bisa kembali.
Irodrono mempunyai anak 6 orang dan Karyodikromo merupakan anak ke empat yang merupakan ayah dari Yahyo yang nantinya disebut sebagai Ronggo Gayamdompo. Sumber catatan ini adalah buku besar yang berisi silsilah yang ditulis oleh Soenardjo sekitar tahun 1950-an.
Anak Irodrono yang lain adalah :
1. Pawiro (Karan Lor) yang mempunyai keturunan
a. Kamila
b. Umo (Bayan Karang Kidul)
c. Truna Pawiro (Mojoroto, Gayamdompo)
d. Kartodiwiryo (Karan Lor)
e. Dinem (Ngaliyan, Karanganyar)
2. Kromodiryo
a. Djaya
b. Kartopawiro (Karan Lor)
c. Kramardjo (Karan Kidul)
d. Amatingsam (Karangmojo, Tasikmadu)
3. Kariyo Sentono
a. Mangun Sayono (Kebon Agung, Tasik Madu)
b. Pariyem
c. Mangun Sentono (Karan Kidul)
d. Iman Dimedjo (Suruh, Tasik Madu)
e. Sudarmin (Moeh) (Karang Kidul)
4. Karyodikromo
- Sukimin/Hardjopawiro (Lahir 1885, Sawahan, Tegal Gedhe, Karanganyar)
- Yahyo/ Karyosarono (Lahir Th. 1888, Karan Kidul)
- Ny. Wongso (Ibunya Bani, Njenggotan)
- Ny. Martodikromo, (Tepus, Sewurejo, Kec. Mojogedang)
- Ny. Kartodikromo, (Karan Lor)
- Katiman (Karan Kidul, meninggal saat muda)
- Katimin Niti Pawiro, (bapaknya Ir. Mulyono MSc, Karan Kidul)
- Ny. Ngapilah Suto Pawiro (Bandul, Kel. Bolong, Karanganyar)
5. Singopawiro
a. Salikun (Karan Lor)
b. Singo (Karan Lor)
c. Dunuk (Popongan)
d. Karyo Maridin (Karan Lor)
e. Iroiyah (Karan Lor)
f. Sopawiro (Karan Lor)
6. Wongsodikromo (Njenggotan, Ngadiluwih, Matesih)
a. Wiryo Untung
Belum ada catatan lain yang menginformasikan kehidupan nama-nama di atas. Kita ingat saja periodisasinya. Sekitar tahun 1829 sewaktu Irodrono lahir di Yogyakarta (sekitar 90 km dari Gayamdompo) sedang terjadi Perang Diponegoro (1825-1830). Bisa dibayangkan kehidupan sekitar tahun tersebut.
BAB II
Karyodikromo, Anak Irodrono
Ada seorang yang bernama Karyodikromo. Nama kecilnya tak ketahuan. Tak banyak catatan tentangnya. Juga tak bisa ditemui namanya di buku ensiklopedia. Pada tahun 1938 usianya sekitar 75 tahun, jadi lahirnya sekitar tahun 1863. Tahun itu di Indonesia –tepatnya- Hindia Belanda sedang diperjuangkan politik etik yaitu politik balas budi dari penjajah Belanda. Nampaknya sejak adanya Perang di Jawa (Perang Diponegoro 1825-1830) dan perang Paderi di Sumatra, keuangan Belanda dikuras habis untuk membiayai perang tersebut. Setelah itu Belanda habis-habisan untuk mengisi uang kasnya dengan politik Tanam Paksa dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Masyarakat dipaksa menanam kopi, tebu, tembakau dll. Hasil pertanian tersebut dibeli dengan paksa oleh VOC yang lalu memasarkan di Eropa dan menjadi sumber kas penting pemerintah Belanda. Dengan politik tanam paksa di negeri Belanda sendiri banyak kritikan terhadap pelaksanaan tanam paksa yang sama sekali mengabaikan segi kemanusiaan sekitar tahun 1848. Diantara yang mengritik adalah Van Hoevell dan kaum liberal di Belanda. Lalu mulai timbul pemikiran adanya Politik Etik yaitu politik balas budi dengan menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk pribumi. Sekitar tahun itu juga Multatuli menuliskan karya besarnya Max Havelaar yang menghebohkan pemerintah Hindia Belanda. Sistem Tanam Paksa akhirnya dihapus sekitar tahun 1861-1866. Jadi lahirnya Karyodikromo pada sekitar penghapusan system Tanam Paksa.
Tidak ada informasi apakah Karyodikromo sempat sekolah saat itu. Kemungkinan besar tidak karena Yahyo sebagai anaknya pun tidak mencicipi bangku sekolah. Tak banyak orang yang bisa sekolah saat itu. Hanya para penggede dan pejabat pangreh projo yang dapat menyekolahkan anaknya. Disamping memang belum ada kesadaran untuk menyekolahkan anaknya, sekolahpun juga belum banyak.
Karyodikromo adalah seorang pemuda yang gemar bertani. Banyak sawah menghias di beberapa tempat. Profesinya sebagai Bekel (Bayan). Dia tinggal di daerah Karan Kidul, Kel. Gayam Dompo Kec. Karanganyar, Kab. Karanganyar dan mulai membesarkan anak-anaknya. Dia taat beribadah dan menjalankan sholat.
Seperti halnya keluarga Jawa, Karyodikromo juga membina keluarga dan dikaruniai 8 anak. Saat itu mempunyai anak 8 merupakan hal biasa, bahkan termasuk sedikit. Satu diantaranya bernama Yahyo –yang kelak menjadi bagian dari kesejarahan keluarga besar Karyosarono.
Sedikit informasi tentang Karyodikromo. Karyodikromo menjadi Bekel (Bayan) di Karan Kidul. Pernah digantikan sendiri oleh adiknya, Singopawiro (Karan Lor) dengan cara merebut kdudukan bekel sampai 2 tahun. Saat itu Karan masih dalam kekuasaan Belanda di Tawang Gayamdompo. Lalu Karyodikromo menjadi rakyat biasa dan kalau malam menjaga keamanan di rumah petinggi Tawang. Suatu hari Karyodikromo dipanggil oleh Tuan petinggi Tawang dan disuruh menjalankan tugas sebagai bekel kembali.
Dari Ny. Karyodikromo, ada catatan mengenai keluarganya. Bapaknya bernama Iromenggolo yang bermukim di Nggeneng, Gayamdompo, Karanganyar. Beberapa keturunan Iromenggolo, yaitu :
1. Kasan Mustar (Tawang Mangu)
a. Kasminah (dari istri pertama)
b. Soirono (dari istri pertama)
c. Suwuh (dari istri kedua)
d. Djaman (dari istri muda)
2. Setroikromo (Geneng)
a. Mariyah
b. Kromomardi (Geneng)
c. Ngadisah
d. Mariyem
3. Nitiredjo (Geneng)
a. Martotjarik (Popongan)
b. Atmo Pawiro (Nggondet, Gayamdompo)
c. Soeti
4. Ny. Karyodikromo (Karan)
Anak-anaknya tercantum di bawahnya. Diantaranya yang bernama Yahyo
5. Setro Pawiro
a. Karno
b. Sudir
c. Karti (Soerasarono) (Popongan)
d. Karsi (Grogolan, Mojogedang)
e. Soerat (sastrodihardjo) (Nggedangan, Karangpandan)
Anak-anak Karyodikromo, yaitu :
1. Sukimin/Hardjopawiro (Sawahan, Tegal Gedhe, Karanganyar)
2. Yahyo/ Karyosarono (Lahir Th. 1885, Karan Kidul)
3. Ny. Katidjah Wongso (Ibunya Bani, Njenggotan)
4. Ny. Martodikromo, (Tepus, Sewurejo, Kec. Mojogedang)
5. Ny. Kamisah Kartodikromo, (Karan Lor)
6. Katiman (Karan Kidul, meninggal saat muda)
7. Katimin Niti Pawiro/Ngatimin, (bapaknya Ir. Mulyono MSc, Karan Kidul)
8. Ny. Ngapilah Sutodikromo (Bandul, Kel. Bolong, Karanganyar)
Dari 8 bersaudara, penulis hanya akan menyeritakan Yahyo dan keturunannya.
BAB III
Seseorang yang bernama Yahyo
Nama anak kedua Karyodikromo mirip dengan nama seorang Nabi, yaitu Nabi Yahya. Mungkin dulu Karyodikromo sudah mengenal nama itu dan diberikan pada nama anaknya. Yahyo lahir tahun 1888 sebagai anak nomor dua dari 8 bersaudara. Karyodikromo saat itu berusia sekitar 20 tahunan. Saat itu adalah era kelahiran beberapa tokoh pendahulu perjuangan Indonesia seperti Tirto Adhi Suryo, Kartini, H Agus Salim, HOS Cokroaminoto, KH Achmad Dahlan dll. Tentunya Yahyo tidak realistis bila dibandingkan dengan beberapa tokoh di atas.
Siapa Yahyo? Yahyo hanya seorang pemuda desa sederhana. Dia bermukim jauh dari pusat-pusat kemajuan saat itu. Dia lahir di Karan Kidul, Gayamdompo, sebuah dusun kecil tidak jauh dari jalan raya Karanganyar-Tawangmangu. Belum ada koran, belum ada alat kemajuan. Dunianya hanya bermain dan bekerja seperti layaknya kebanyakan pemuda desa. Yahyo tidak sempat mengecap bangku sekolahan karena tidak ada sekolahan di daerah itu. Dia tumbuh seperti layaknya pemuda desa saat itu. Tetapi hal itu tak menyurutkan keinginan belajarnya. Ada salah satu teman yang merasakan bangku sekolah di daerah lain, Yahyo belajar dari teman yang sekolah tersebut. Dia juga belajar dengan siapa saja yang lebih pandai darinya agar bisa membaca dan menulis. Dia belajar apa saja tanpa mengenal lelah dan putus asa. Prinsipnya tak ada sesuatu yang tak dapat dipelajari. Dia belajar keras sampai bisa membaca dan menulis huruf Jawa. Dia mampu menulis huruf jawa dengan cengkok yang bagus. Saat itu di sekitar Surakarta Hadiningrat huruf jawa masih berperan dalam strata social masyarakat. Bisa menulis jawa dirasa belum cukup. Yahyo masih belajar membaca dan menulis huruf Latin dan Yahyo berhasil. Begitu juga dengan bahasa Arab, Yahyo belajar sampai bisa mengaji Al-Qur’an dan katam Al-Qur’an. Keinginan belajar yang kuat dan kemampuan bergaul dengan teman-temannya menjadikan pemuda Yahyo menjadi paling lancar mempelajari sesuatu diantara teman sepantaran.
Sewaktu muda Yahyo juga suka dengan laku prihatin. Dia nglakoni beberapa hal yang menjauhkan dari kehidupan hura-hura. Dia pernah melakukan topo ngalong dengan berdiam diri di pohon atau bersandar pada pohon pisang.
Yahyo muda bekerja membantu bapaknya sebagai Bekel (Bayan) dan menyambi sebagai petani. Lalu Yahyo bekerja sebagai mandor tanaman tebu PG (Pabrik Gula) Tasikmadu yang saat itu dikuasai oleh Belanda. Sekedar catatan, pabrik ini didirikan oleh KGPAA Mangkunegoro IV sekitar tahun 1871. Dia diberi bekal sebuah gerobak sapi untuk mengangkut tebu dari Karangpandan dan beberapa tempat sekitarnya ke Gayamdompo. Semacam pengepul dari beberapa darah dan dipusatkan di Gayamdompo. Setiap Bekel berkewajiban mengangkut tebu tersebut. Dari Gayamdompo, tebu baru diangkut dengan lori dan ditarik sapi atau kereta api ke PG Tasikmadu karena ada jalur rel kereta api. Yahyo membantu mengangkut tebu, membajak sawah, mengerjakan sawah dan beberapa pekerjaan petani. Hal ini yang menggembleng kemampuan teknisnya dalam mengolah tanah. Saat itu ada yang meramal bahwa ada anak seorang mandor yang akan menggantikan sebagai mandor, tetapi karena Yahyo bekerja keras dan hasilnya baik maka Yahyo diusulkan sebagai mandor tebu (Kemetir). Karena bakatnya Yahyo akhirnya menjadi mandor sementara (teideleyk). Dalam usia sekitar 20 tahunan Yahyo memulai profesi sebagai mandor tebu. Setelah kemampuannya sebagai mandor teruji lalu kariernya meningkat menggantikan mandor I (Kemetir) pada sekitar tahun 1936.
Sewaktu menjadi mandor, Yahyo pernah berselisih dengan kuli laci (membuat lacen untuk menanam benih tebu). Ada perbedaan antara hasil yang dikerjakannya dengan yang dilaporkannya. Mereka berdebat dan kuli tersebut emosional. Yahyo dipukul dari belakang dengan sabit. Yahyo tidak sakit. Tetapi tidak seberapa lama setelahnya kuli tersebut lehernya bengkak dan tak seberapa lama meninggal dunia.
Yahyo Berumah Tangga
Pada usia sekitar 23 tahunan, Yahyo menikah dengan Yati (anak Pawiro dan masih saudara sepupu). Tetapi perkawinan ini tak berusia panjang karena mendapat cobaan, lalu beliau bercerai. Mereka belum dikaruniai seorang anak. Pada saat itu juga ada peristiwa, sewaktu Yati mandi di sungai, dia kehilangan perhiasan anting (suweng) dan itu menjadi hukuman tersendiri bagi Yati. Hal itu juga menjadi pertanda bagi Yahyo bahwa memang dia harus berpisah. Yahyo menjadi sedih dan sakit hati atas perceraian yang tak dikehendakinya ini. Yahyo prihatin, dia merasa mendapat sesuatu yang tak dikehendakinya. Berhari-hari dia memikirkan hal ini karena Yahyo bukan type seseorang yang senang kawin cerai. Dia merasa bersalah dalam memilih pasangan hidup. Hari-harinya dilalui dengan hidup sendiri. Yahyo sempat menduda sampai 8 tahun.
Yahyo tetap bekerja keras sambil melakukan apa yang bisa dilakukan. Setelah beberapa waktu sampai melupakan hal tersebut, Yahyo berniat membina keluarga lagi. Dia mempunyai keinginan kalau menikah lagi ingin mendapat seseorang yang sama-sama menderita (keloro loro) karena dia merasa menderita sewaktu menjadi duda. Bagi Yahyo, bila sama-sama menderita akan dapat melalui hidup bersama di waktu yang akan datang dalam susah dan senang. Yahyo mulai membuka diri lagi. Pintu hatinya yang sementara ditutup, dia kuak lagi. Mulai melihat-lihat lagi gadis-gadis di sekitarnya. Dia lalu ditawari beberapa pilihan gadis.
Sepi, Seorang Gadis Keloro-loro, Putra Undhagi dan cucu Demang
Saat itu ada seorang yang cukup terpandang dalam segi ekonomi di daerah Pingit, Kab. Karanganyar yang bernama Sodikromo. Para tetangga dan saudara menyebut Sodikromo sebagai Mbah Ndhagi karena memang dikenal sebagai seorang tukang bangunan. Sodikromo anak seorang Demang Dantoro dari Jumapolo. Cerita ini didapat dari kakaknya Sepi, Ny. Codrono dan Mangun Prawiro. Saat itu bila sebelum Lebaran tiba, Ronggo Karyosarono nyekar ke makam Demang Dantoro. Darni dan Soenardjo pernah diajak nyekar ke makamnya.
Cerita tentang Ny. Demang Dantoro dikisahkan oleh Sudarni yang diceritai oleh Ny. Codrono. Ny. Demang mempunyai keahlian ilmu bela diri. Ny. Demang disamping sebagai ibu rumah tangga juga jualan di daerah Sine, Jawa Timur. Bila jualan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki dengan ditemani 2 orang yang membawa barang dagangannya. Saat itu belum ada kendaraan seperti bis atau mobil lainnya. Suatu hari Ny. Demang dicegat oleh 5 orang perampok. Ny. Demang tenang saja dan mengatasi para perampok dengan cara halus. Sebelum memang sudah disediakan bekal uang setengah kempil (kantong), rokok, dan makanan secukupnya. Bekal tersebut dibagi pada para perampok dan mereka menikmatinya, makan, merokok dan uang jatah. Setelah puas para perampok pulang dan tak mengganggu Ny. Demang. Cerita tentang perampok masih ada lagi. Suatu hari Ny. Demang dikeroyok perampok 12 orang. Para perampo tersebut sudah membuntuti jalan Ny. Demang yang sebelumnya sudah siap payung siem untuk menghajar para perampok. Para perampok pada lari tunggang langgang. Ny. Demang saat itu sudah memakai celana seperti celana Napoleon. Perampok belum puas hatinya. Suatu hari Ny. Demang kedatangan perampok lagi. Untuk menundukkan perampok harus menggunakan berbagai cara. Ny. Demang berpura-pura sakit perut dan ingin menyembunyikan mas picis bumbung sikil gender gong (Perhiasan emas). Atas ijin Allah, Ny. Demang selamat tidak diganggu. Para perampok pulang dengan diberi uang sekampil (sekantong).
Sodikromo, Pingit mempunyai 6 anak, yaitu :
1. Mangun Prawiro, Sabrang, Matesih (Tukang Kayu)
2. Ny. Codrono, Karang Kidul, Karanganyar (Orang tua Hadi dan kakek Haryono)
3. Karyodikromo, Sabrang, Matesih
4. Bpk. Atmo, Cangakan, Karanganyar
5. Sepi (lahir 1902, Karang Kidul)
6. Mijo (saudara tetapi beda ibu), Manggeh, Karanganyar
Ada seorang gadis bernama Sepi (Lahir sekitar 1902), anak seorang undagi (tukang kayu) yang termasuk kategori keloro-loro karena sepanjang hidupnya pada usia sekitar 15-16 tahun dia ikut pada ibu tirinya. Kehidupannya menyedihkan meskipun dia anak orang kaya.
Sepi lalu ikut kakaknya, Karyodikromo di Matesih. Dia suka membatik kain dan dijual di toko ngisor Sawo, Solo. (Kelak, Karyodikromo ini yang menjadi ayah Moediyo Wignyosubroto. Karyodikromo termasuk keluarga kaya. Saat itu saja sudah mempunyai mobil dan Wignyo sudah pandai mengemudikan mobil. Wignyo akhirnya bekerja di beberapa tempat diantaranya Matesih, Wonogiri dan Rembang. Di masa tuanya Wignyo tinggal di Jogjakarta. Anaknya 2, yang seorang bernama Sularno, meninggal sewaktu menjadi tentara di Perbatasan Malaysia dan seorang lagi bernama Aluisius Sularto sebagai pegawai negeri BKKBN di Bantul. Sularto lahir di Sabrang Matesih 13 September 1949. Sularto bertubuh tinggi besar dan berpembawaan halus. Sularto meninggal di Bantul pada 5 Nopember 1994. Anaknya yang lain Poncoatmodjo di Tegal asri dan mempunyai cucu bernama Hadi Resito).
Membangun Keluarga Lagi
Lalu Yahyo memilih menikah dengan Sepi di Matesih pada tahun 1919 dengan pertimbangan calonnya sama-sama keloro-loro. Mereka berumah tangga dan membangun rumah di Karan Kidul. Karena pilihannya sendiri Yahyo pun menyayangi istrinya. Dia bertekad membahagiakan istrinya yang sebelumnya keloro-loro (udan tangis) sampai Sepi bila menyebut Yahyo adalah bludru setliko yang artinya orang yang berperasaan sangat halus, lemah lembut seperti kain bludru yang disetrika. Dua tahun kemudian lahirlah anak pertama mereka, yang diberi nama Soekir pada tahun 1921.
Setelah berkeluarga Yahyo tetap bekerja dengan tekun. Pekerjaannya sebagai mandor I, yaitu mengawasi tanaman tebu, dari penanaman bibit sampai panen di daerah Gayamdompo, terus dijalaninya. Gajinya sekitar 15 Gulden. Saat itu ada istilah kuli setengah kenceng yang artinya seseorang yang mempunyai pekarangan tetapi tak mempunyai sawah. Ada lagi istilah, kuli kenceng yaitu seseorang yang mempunyai pekarangan dan sawah 3 pathok (1 pathok luasnya sekitar 3.500 m2). Yahyo termasuk kuli setengah kenceng. Untuk mengerjakan sawah, dia menyewa di beberapa tempat. Sawah tersebut digarap sendiri maupun dikerjakan orang lain. Dari hasil kerja kerasnya tersebut dia menjadi terpandang secara ekonomi di daerah tersebut. Bila musim panen, padi di lumbung menjadi tak cukup sampai dititipkan pada saudaranya yang rumahnya berdekatan, Niti Pawiro. Dia mempunyai sapi sekitar 25 ekor, dan kambing 15-an ekor. Yahyo lalu membeli kuda jantan pancal panggung setelah diberi tahu Karyodikromo, kakek iparnya di Sabrang, matesih. Karena penjajahan Jepang, saat itu kemajuan teknologi sudah ada sepeda dengan ban karet mati. Rumahnya berdinding seng keliling, atapnya genting dan dinding depan dengan gebyok (kikis). Ada gebyok patangaring (singgetan utk senthong, semacam sekat untuk kamar di rumah belakang). Persediaan minyak tanah 1 enceh (gentong/guci dari luar negeri) di gudang.
Kehidupan rumah tangga berjalan seperti biasa. Lalu lahirlah anak-anak mereka lainnya. Mujiyem (sekitar 1924), Soenardi (lahir 1927), Soenardjo (lahir 1929), Soenarti (lahir 1932), Darsi (lahir 1934), Darni (lahir 20 Januari 1937) dan Sri Miyati (lahir 22 Oktober 1941). Yahyo tetap bekerja seperti biasa dan membesarkan anak-anaknya.
Soekir mulai sekolah di Schakel School, Solo. Soenardi tidak sekolah karena mengalami gangguan pendengaran sewaktu masih kecil. Dia sebenarnya lahir normal tetapi sewaktu kecil mengalami kecelakaan yang menjadikan pendengaranya terganggu. Soenardjo juga mulai sekolah di Solo, tetapi Soekir sudah tamat sekolahnya. Begitu juga adik-adiknya. Semua mendapat pendidikan meskipun harus kost di kota. Prinsip Yahyo, anak itu harus mendapat pendidikan meskipun harus hidup dengan sederhana maka semua anaknya disekolahkan yang nantinya menjadi orang pintar dan hidupnya bisa cukup sejahtera
Ada sebuah peritiwa yang menyangkut salah seorang anaknya. Di pekarangan depan di dekat pohon sawo ada batu besar yang kata orang ada penunggunya. Pada suatu waktu Yahyo bermimpi bergulat dengan demit/jin penunggu salah satu batu besar itu yang bernama Nyai Tepi. Dalam pertarungan itu, Nyai Tepi kalah dan pergi ke arah Barat Daya (menuju pohon bamboo di pojokan halaman). Nyai Tepi mengancam akan memberi balasan pada suatu waktu. Yahyo tidak peduli akan ancaman tersebut. Bagi dia kepercayaan yang utama hanya pada Allah semata. Entah ada hubungan atau tidak, pada usia sekitar 1,5 tahun, anaknya kedua Muji merangkak menuju wajan –tempat untuk menggoreng- yang berisi minyak panas mendidih. Tangannya menggapai wajan tersebut dan minyak panas menyiram sebagian tubuhnya. Sebagian tubuh dan tangan kirinya melepuh dan menjadi cacat permanent.
Sekitar tahun 1941, Yahyo diangkat sebagai Ronggo. Untuk persiapan upacara pengukuhannya, Yahyo diberi uang untuk pesan 2 stel pakaian kebesaran berwarna hitam dan putih di penjahit Sadinoe, penjahit terkenal saat itu, di dekat Istana Mangkunegaran, Solo. Dengan baju kebesaranya, dan mata berbinar Yahyo dilantik sebagai Ronggo oleh KGPAA Mangkunegoro VII dihadapan pembesar Belanda di PG Tasikmadu. Sebagai Ronggo, Yahyo mendapat surat perintah, topi dan payung kebesarannya. Topipun ada 2 macam yaitu berbentuk buyuk dan topi pet putih. Pada setiap acara penting di lingkungan PG Tasikmadu, topi, pakaian dan payung itu harus dikenakan.
Pada tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia, maka suasana pabrik gula menjadi kacau. Urusan menanam tebu menjadi tak terurus. Dalam keadaan seperti itu, Yahyo menanam padi pada lahan tebu. Pabrik tak berproduksi sampai tahun 1945 dan tahun 1946 sudah dikuasai pemerintah Indonesia, pabrik mulai berproduksi lagi.
Kebakaran Rumah
Saat itu –sekitar tahun 1947- ada ternak kambing yang mati, maka malam itu anggota keluarga pada sibuk membersihkan dagingnya untuk dipanggang pada tengah malam. Saat itu makan daging merupakan sebuah kemewahan yang tak mudah meraihnya. Bukan tak kuat membelinya tetapi bukan merupakan prioritas makanan yang harus dikonsumsi. Biasanya mereka mendapat kesempatan makan daging bila ada ternaknya yang mati. Malam itu adalah malam kesibukan memasak daging dengan kayu bakar. Mereka pada berpesta sate kambing tentunya. Karena pada kecapaian dan ditambah perut kekenyangan, maka mereka lupa mematikan api sisa membakar daging. Api kalau kecil menjadi teman tetapi kalau besar menjadi musuh. Sisa api itupun menjadi merembet ke rumah dan kebakaran pun tak terhindarkan. Kebakaran tambah besar karena di situ juga ada persediaan minyak. Suasana menjadi heboh. Orang berlari kesana kemari berusaha menyelamatkan diri dan menyelamatkan harta benda yang dapat diselamatkan. Semua rumah belakang terbakar, hanya menyisakan rumah depan. Persediaan padi terbakar, bolo pecah juga terbakar. Banyak harta benda menjadi hangus karena kebakaran.
Setelah kebakaran Yahyo menjadi sedih. Kebakaran dianggap saja sebuah musibah dan harus disikapi dengan instrospeksi bahwa ke depan hidup harus lebih hati-hati. Tetapi itu tak berlangsung lama. Yahyo bekerja kembali seperti biasa. Rumah dibangun dan direnovasi lagi sekitar tahun 1951. Dindingnya yang terbuat dari kayu diganti dengan tembok. Beberapa bangunan ditambahkan.
Tahun 1955 Yahyo pensiun dan hanya bekerja di rumah saja. Waktunya dihabiskan di rumah dengan kebonnya yang luas. Sesekali mengunjungi beberapa anak yang tinggal atau sekolah di tempat lain. Yahyo tetap berkarya di desa yang dicintainya, Gayamdompo. Di masa tuanya Yahyo menikmati hari-harinya. Sekali waktu di rumahnya berkumpul anak-anak beserta cucunya. Biasanya pada saat Lebaran. Banyak kenangan tersimpan pada masing-masing anak-anak cucunya.
Yahyo atau nama tuanya Karyo Sarono meninggal dunia pada Selasa Pahing, 12 Juli 1978, jam 11.30 karena sakit tua, pada usia 96 tahun. Di masa tuanya Karyo sarono menjadi Mbah Ronggo. Nama ini begitu dikenal di daerah itu. Bila kita berkunjung dan diperkenalkan sebagai cucunya Mbah Ronggo seakan membuat orang mahfum dan menaruh hormat. Berarti ada jasa Mbah Ronggo terhadap masyarakat setempat sehingga namanya masih dihormati. Termasuk sampai pada keturunannya.
Hal yang masih bisa diingat dalam bidang kerokhanian, beliau termasuk penganut Islam yang taat beribadah. Bisa mengaji dan menulis Arab. Hal lain adalah kejujuran, kesabaran dan rasa berserah diri pada Allah SWT.
Karyo Sarono dan Sepi mempunyai anak, yaitu :
1. Soekir, (lahir 1921, Kepala Kantor Kawedanan Gondang Winangun)
2. Mudjiyem, (lahir 1924 dan meninggal dalam usia 43 tahun)
3. Soenardi, (lahir 1927, menjadi wiraswasta, tukang kayu dan tukang cukur di Matesih)
4. Soenardjo, (lahir 1929, Menjadi PNS di Kab. Karanganyar)
5. Sunarti, -Gito Sarono, (Lahir 1932, Tunggultani, Kel. Jantihardjo)
6. Sudarsi – Maryoto (Guru, tinggal di Jimus, Polanharjo, Delanggu, Klaten)
7. Sudarni – Gito Sarono (lahir 20 Januari 1937, Karan Kidul, Karangpandan)
8. Sri Miyati – Johanes Papalangi dari Toraja, Sulteng (lahir 22 Oktober 1941, Pernah tinggal di Singosari, Malang dan setelah suaminya pensiun tinggal di sekitar Tunggultani)
9. Tjiptomulyono (meninggal masih kecil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar