Kamis, 12 Januari 2012

Berbasah di Pulau Beras Basah


Di Pelabuhan Tanjung Laut

Sekali-kali meluangkan waktu melihat pemandangan sekitar Bontang. Kami bersama teman-teman kantor rekreasi ke sekitar Bontang. Dua point, kebersamaan dan kesegaran bisa didapat. Biaya juga relative lebih murah. Yang utama anak-anak senang. Lagian sudah lama tidak menikmati Beras Basah.

Kami, rombongan sekitar 34 orang bersama anak-anak, naik perahu kayu dari Pelabuhan Tanjung Laut. Perahu berkapasitas 40-an orang tersebut dicarter 1 hari dengan route Tanjung Laut, Desa Selangan Laut, Pulau Beras Basah dan makan siang di tengah laut Tanjung Laut Indah. Sewa perahu sekitar Rp1 juta. Tetapi kalau berpikir safety harus membawa pelampung sendiri karena di perahu tak tersedia pelampung sesuai jumlah penumpang. Kami meminjam pelampung milik Dep. Pelayanan Umum.

Perahu merambat pelan dari pelabuhan. Kami nikmati pemandangan rumah-rumah kayu nelayan di pinggir laut. Banyak kapal kayu yang berlabuh di situ. Ada beberapa yang sedang direpair. Kami melewati rumah makan Singapura-(pura) dengan patung merlion yang mulai ada warna hitamnya. Perahu tetap merambat pelan saja. Bunyi mesinnya begitu dominant. Ada beberapa mercu suar dan buih sebagai rambu-rambu laut. Mulai masuk ke laut lepas. Pemandangan LNG Badak mulai mengecil. Satu dua perahu kecil dengan mesin tempel melaju. Satu perahu ponton besar sedang mengangkut pasir. Angin semilir dari sisi perahu dan sinar matahari jam 9-an mulai terik.

Ada sekitar 1 jam kami sampai di Pulau Beras Basah. Sebenarnya bisa lebih cepat kalau kecepatan perahu ditambah. Tetapi, seperti kata Pak Parman, ketua panitia, laju perahu sengaja diperlambat supaya bisa menikmati, kata pengelola perahu. Dari jauh Pulau Beras Basah mulai kelihatan dengan pohon kelapa dan menara mercu suarnya sebagai ciri khasnya. Sudah ada beberapa perahu parkir di dermaga kayu. Juga banyak pengunjung bermain di pasir pinggir pulau. Saya terakhir ke Beras Basah sudah lebih dari 10 tahun lalu. Rasanya pulaunya tambah kecil. Memang sudah dibangun semacam tanggul dari batu dan semen untuk menahan abrasi air laut. Sudah ada dermaganya dari kayu. Perahu merapat ke dermaga.

Ada beberapa pengunjung yang telah duduk-duduk di situ. Beberapa di antaranya memancing. Kalau dulu hanya ada 1 bangunan rumah untuk penjaga mercu suar, sekarang sudah ada beberapa bangunan dari kayu. Ada warung-warung semi permanent dari kayu. Pohon pandan laut masih ada dan tambah rimbun. Banyak juga pohon kelapa yang bisa menambah kerimbunan. Pengunjung tambah ramai. Dalam kelompok-kelompok kecil dengan membawa bekal makanan sendiri. Warung di situ belum ada yang jualan makanan, yang ada hanya snack dan minuman ringan.

Kami lalu menggelar tikar di atas rumput di bawah pohon kelapa di pinggir laut. Anak-anak sudah tak sabar langsung berlari ke tepi laut. Para ibu dan bapaknya mengobrol di bawah hembusan angin laut yang agak panas. Anak-anak berlari mencari kerang karena ada lomba mengumpulkan kerang. Mereka juga mandi sambil bermain bintang laut.

Ada 2 jam lebih kami menikmati pulau. Berjalan mengitari pulau dan mendekat menara mercu suar. Menara ini memakai tenaga listrik tenaga surya. Terlihat panel surya di atapnya. Berjalan menyusuri pinggir pulau yang airnya mulai surut. Banyak kerang-kerang kecil, teripang atau batu karang sisa. Juga hewan kecil pong-pongan, jenis hewan berbuku kecil yang menempati cangkang kerang kecil sebagai rumahnya. Banyak bintang laut di pinggir perairan. Bila mandi di laut, tersedia tempat bilas dengan air tawar. Ada 2 pondok dengan harga Rp 5.000 per jerigen, atau Rp10.000 tanpa dibatasi jerigen.

Sekitar jam 12, kami meninggalkan pulau menuju arah Selangan. Desa Selangan tidak bisa dilayari karena laut sedang surut. Selangan adalah pemukiman penduduk yang berumah kayu di atas laut. Awalnya hanya sedikit penduduk sebagai tempat singgah nelayan sambil memelihara keramba ikan. Lama kelamaan menjadi sebuah desa di atas laut dengan rumah kayunya. Kami mau makan siang di sebuah anjungan rumah di tengah laut milik Pak Tahir, salah seorang mitra binaan Dep. PKBL yang mempunyai usaha keramba.

Di antara rintik hujan sampailah kami di pondokan Pak Tahir. Ada 2 rumah kayu dan ruang yang luas. Ada tempelan stiker logo PKT besar di dindingnya. Di pinggirnya ada lebih dari 80-an petak keramba yang berisi banyak ikan. Dari jauh pabrik LNG badak kelihatan. Di ruang terbuka tengah telah tersaji makan siang dengan menu ikan kerapu bakar. Wah! Baru bau aromanya saja sudah mengundang perut yang memang sudah keroncongan. Ditambah rintik hujan di tengah laut. Kami nikmati saja makan siang dengan lahapnya. Ikan segar yang baru saja dibakar tiada duanya rasanya nyam-nyam he..he..

Seusai makan, limbah ikan langsung dimasukkan ke keramba dan ikan dengan lahap memakan tulang-tulang ikan. Tanpa dikomando, anak-anak langsung gembira memberi makan ikan. Limbah ikan sisa makan dimasukkan ke keramba dan mereka bersorak bila ikan dengan rakus berebut memakannya. Anak-anak mengumpulkan sisa ikan sampai habis dan menunggu yang sedang makan ikan. Rasanya gimana kalau makan ikan asin ditunggu kucing di dekatnya sambil mengeong. Ini lebih dari makan ikan yang ditunggu kucing he..he..

Saya bertemu Tahir, pemilik restoran di tengah laut tersebut. Usianya sekitar 45 tahun. Sejak usia 8 tahun sudah di Bontang. Dialah salah seorang kontributor yang menjadikan Pupuk Kaltim menerima Danamon Award sebagai penyalur dana CSR sekitar 3 tahun lalu. Semua makanan yang disajikan dimasak dari darat di Bontang tetapi ikannya dibakar di pondokan. Dia bersama keluarganya bila ada pesanan ke pondokan untuk melayani pesanan. Katanya direksi dan istri sering ke tempat tersebut. “Biasanya dari bandara langsung ke sini,” kata Tahir.

Dia cerita tentang usaha ikan kerapu. Ada lebih dari 60 petak keramba di sekitar pondokannya. Ikan kerapu tersebut dieksport ke Hongkong dan Jepang. Sekali lagi dieksport. Sekitar 3 bulan sekali eksportir mengambil ikannya bila telah berukuran sekitar 1 kg per ekor. Dari keramba milik Tahir menghasilkan sekitar 3 ton ikan. Di Bontang ada sekitar 7 ton yang diekspor dalam waktu 3 bulan. Harganya? Paling murah ikan kerapu lumpur sekitar Rp170rb per kg. Paling mahal ada yang sampai Rp500 ribu per kg. Ada kerapu tikus harganya sekitar Rp370 ribu. Ada ikan jenis Napoleon. Memang, sewaktu ke Batam harga soup ikan kerapu di sebuah restaurant sekitar Rp300 ribu per porsi. Beda jauh dengan harga ikan kerapu di pasar yang hanya sekitar Rp15 ribu per kg. Kok di pasar Bontang harga ikan kerapu murah? “Itu yang rejeck atau ukurannya tidak sesuai untuk dieksport. Atau ikan hasil tangkapan nelayan yang jumlahnya relative kecil,” kata Tahir. Di sekitar pondokan Tahir juga ada beberapa rumah kayu yang berdiri dengan beberapa keramba. Juga di Desa Selangan ada belasan rumah yang memelihara keramba ikan. Sebuah peluang usaha yang menarik dengan membuka keramba.

Saya juga ketemu juga dengan penjaga pondok dan keramba, Ijai sewaktu berwudhu dengan air hujan di talang atapnya. Ijai hanya lulusan SMP sekitar 4 tahun lalu. Dia ke Bontang 4 tahun lalu dan baru 3 bulan jaga pondokan. Ada 3 orang teman yang menjaga pondok tersebut. Dia bertugas memberi makan ikan dalam keramba. Makannya ikan kecil-kecil yang didapat dari jarring. Sekitar jam 14-an penjaga ikan yang lain memeberi makan ikan kerapu dengan ikan kecil-kecil.

Di antara hembusan angin laut dan hawa dingin hujan membuat kami ingin lebih lama menikmati pondok ikan tersebut. Kami nikmati sambil mengobrol untuk menambah keakraban. Wah kalau perlu sekali-sekali menginap di sini he..he.. Tapi waktu tetap saja membatasi. Sekitar jam 15 kami pamitan. Kapal melaju pelan menuju pelabuhan. Hampir semua penumpang terlelap dalam tidurnya. Diantara hembusan angin, dingin udara hujan dan deru suara mesin, saya ingat cerita salah satu anak buah kapal. Usianya sekitar 40—an dan sudah berkeluarga. Dia baru satu hari di Bontang setelah datang dari Sorong, Papua. Dia sekeluarga suka pindah-pindah sesuai dengan pekerjaannya. Pernah merantau di Makasar dan Papua untuk beberapa tahun. Dengan kapal jenis ini dia mengarungi laut dari Papua, Makasar sampai Bontang. Berapa lama ditempuh? Bisa berminggu-minggu. Ada sekitar 20 menit menyusuri laju kapal dan sampailah di pelabuhan Tanjung Laut. (*/Sunaryo Broto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar