Media mempunyai peranan penting dalam apresiasi karya sastra karena melalui media karya sastra dapat dinikmati publik, bisa diapresiasi publik dan bisa dikritik publik juga. Hal ini akan menimbulkan ”kedinamisan” dalam diskusi karya sastra. Bagaimana hal ini bisa terjadi tanpa adanya media?
Kondisi Media di Kaltim
Setelah bermukim sekitar 17 tahun di Bontang, Kaltim, saya merasakan iklim yang tidak kondusif dalam berkarya sastra karena minimnya dukungan media lokal. Hampir tidak ada –kalau boleh dikatakan tidak ada- rubrik seni dan budaya di koran lokal Kaltim.
Hal yang membuat saya merasa “tidak nyaman” dalam membaca koran daerah adalah sangat terasanya tidak ada kapling untuk lembaran sastra dan budaya secara kontinyu. Untuk pemuatan essay sastra, berita budaya atau cerpen masih kadang ada tetapi tidak kontinyu. Cerpen dicampur dengan artikel lainnya bahkan bercampur dengan iklan.
Sebelumnya saya mengikuti koran daerah di Yogya dan Jawa Tengah yang secara rutin menyediakan kaplingnya untuk lembaran sastra dan budaya karena saya bermukim di daerah tersebut. Hal ini dapat menumbuhkan kantong sastra di daerah. Sudah sangat dikenal di Semarang, Yogya, Tegal dengan dengan Komunitas Sastra Negeri Poci dan daerah sekitarnya dkenal sebagai kantong sastra. Beda sekali dengan di Kaltim yang belum tumbuh kantong sastranya meski saya yakin, potensi ke arah itu sangat besar. Hanya tak ada medianya.
Sewaktu Rendra ke Kaltim dalam pentas Rambateraterata sekitar tahun 2001, saya menulis di Kaltim Post yang berjudul Rendra dan Perkembangan Sastra Kaltim. Saat itu saya menyoroti peran media massa yang tak memberikan ruang pada perkembangan sastra Kaltim, bahkan saya menyontohkan kondisi Jogja dan Jawa Tengah sebagai salah satu kantong sastra daerah bisa berkembang sangat baik berkat dukungan sekian media massanya dengan menyediakan lembar sastra dan budaya.
Sebenarnya perhatian koran daerah terhadap karya sastra sudah ada tetapi belum banyak. Sekedar contoh untuk menyebut koran 2 daerah dengan oplah cukup besar, Kaltim Post (KP) dan Tribun Kaltim (TK). KP pernah memuat liputan pentasnya Rendra Rambateraterata sekitar tahun 2001. Belum lama TK memuat tulisan 4 seri dari Tribun Sastra Community pada tanggal 17-20 Juni 2009. Tulisan berjudul Menumbuhkan dunia sastra dan seni di Kaltim membahas tentang upaya untuk menumbuhkan dunia sastra dan seni di Kaltim.
Sebelumnya sangat jarang ada pembahasan sastra sampai diadakan diskusi dan ditulis berseri di media
Emha Ainun Nadjib baca puisi di Samarinda dan Bontang sekitar tahun 1995 dan Rendra mementaskan Rambateraterata di gedung Koperasi Pupuk Kaltim sekitar tahun 2001 saja hampir tak banyak media local yang memuat beritanya. Terlebih resensinya. Teatre Grandrik pernah beberapa kali pentas di Bontang tetapi tak banyak yang tahu. Leo Christy pernah juga pentas di Bontang dengan penonton yang sangat sedikit dan tak ada beritanya di harian lokal. Hamzad Rangkuti pada Mei 2009 ke Bontang dengan diskusi kecil tentang sastra dan menulis, tanggapan media datar-datar saja. Hanya ada berita kecil sekali saja. Jangan berharap ada resensinya atau kolom apresiasinya. Belum berderet pameran lukisan atau pertunjukan seni lainnya. Pertunjukan Teatre Timur, Teatre Yupa dan kiprah Untung Erha sudah banyak dalam aktivitas teatre tetapi tak banyak yang mengapresiasi dengan publikasi. Dengan adanya nama nasional saja kurang dapat tanggapan dari media terlebih kalau pelakunya semuanya local.
Kantong Sastra di Kaltim
Yang dimaksud dengan kantong sastra di sini adalah semacam komunitas yang peduli terhadap karya sastra. Di situ ada kegiatan berkarya, berdiskusi tentang sastra. Sekedar informasi, sebenarnya ada beberapa komunitas pecinta sastra yang sudah tumbuh meski kehidupannya juga belum menggembirakan. Di Samarinda, ada Jaring Penulis Kaltim, Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) dengan salah satu penggiatnya oleh Amien Wangsitalaja, di Bontang, baru tumbuh Studio Kata yang dimotori Abdul Hakim dan Tri Wahyuni dan juga ada Club Buku CB33 dan KKPKT (Korps Karyawan Pupuk Kaltim) di komunitas Pupuk Kaltim dengan anggotanya diantaranya Sunaryo Broto, Ezrinal Azis dan Manik Priandani yang belum lama mengundang cerpenis Hamzad Rangkuti. Di Tenggarong ada Kosa Kata. Tak lupa juga adanya kegiatan Forum Lingkar Pena Kaltim yang dimotori Muthi Masfufah.
Di dunia maya, bila kita mencari di Google maka ada beberapa blog tentang sastra Kaltim, diantaranya Jurnal Kembang Kemuning, Panjipatah, Penyair Nusantara Kaltim, Arungnala miliknya cerpenis Nala Arung.
Sekitar tahun 90-an ada tradisi Sastra Purnama yang mengadakan kegiatan sastra di daerah-daerah setiap tahun yang digalang oleh Hamdani. Dalam salah satu kegiatannya, Bontang pernah menjadi tuan rumah. Acaranya diskusi sastra, baca puisi. Di situ ada nama Hamdani, Mugni Baharuddin dll. Juga nama-nama lain, diantaranya Jumrie Obeng, Tatang Dino Hero, Herman A Salam, Safrudin Pernyata, Rizani Asnawi
Tetapi karena kurangnya dukungan media sehingga kita sulit mencari dan membaca karya-karya mereka. Beberapa penulis Kaltim yang terkenalpun sulit mencari jejaknya. Padahal, jelas akan banyak lagi penulis yang dikenal bila karya-karyanya dimuat di media
Pentingnya Dukungan Media
Kalau masalah seberapa banyak dukungan masyarakat akan pentingnya kegiatan sastra, jelas tak sebanyak dunia intertainment tetapi jelas ada. Di beberapa tempat memang komunitas ini tidak terlalu meriah kegiatannya tetapi tetap eksis karena kecintaan pelakunya. Media sastra tetap masih dibutuhkan dalam menjawab kebutuhan, seperti beberapa contoh. Novel Namaku Taweraut dari Ani Sekarningsih adalah upaya untuk menjelaskan kondisi anthropologi masyarakat Suku Asmat di Papua melalui media sastra. Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih dari Habiburrahman juga upaya memasyarakatkan kegiatan beragama melalui media sastra. Novel Para Priyayinya Umar Kayam adalah gambaran sejarah tentang kondisi masyarakat pada saat konflik politik sekitar tahun 1965 melalui media sastra. Ada juga istilah jurnalisme sastrawi yang diusung Majalah Tempo. Sastra tetap masih dibutuhkan.
Saya yakin meskipun belum ada ruang di media massa lokal, para penikmat seni ini tetap menulis sastra di file pribadinya. Beberapa penerbitan lokal juga menerbitan beberapa karya yang berbau sastra. Sekedar menyebut contoh, Kumpulan Cerpen Bingkisan Petir, Kumpulan Cerpen Nala Arung Balada saripin dan KD, Kumpulan Puisi Balada Manusia Indistri dll. Coba klik di Google, banyak tulisan yang berbau sastra dipublikasikan melalui blog pribadi maupun komunitas.
Dengan adanya dukungan media ini sangat penting. Karena dukungan ini bisa menumbuhkan iklim bersastra. Katakanlah ada satu ruang lembaran sastra pada edisi Minggu. Biasanya di situ ada cerpen, puisi dan essay tentang sastra. Awalnya bisa saja tak banyak yang mengisi tetapi bila terbit terus dan khalayak mulai tahu kalau ada ruang untuk memuat karya maka akan merangsang mereka untuk menulis. Di Kaltim juga ada nama-nama sastrawan yang sudah terbiasa menulis, antara lain Korrie Layun Rampan. Ada Amien Wangsitalaja, Shantined, Herman A Salam dll yang bisa menjadi penggiat sastra.
Atau dengan cara networking dan bekerja sama dengan para penggiat sastra di komunitas sastra di beberapa daerah di Kaltim pasokan bahan juga bisa diatasi. Coba hitung berapa komunitas atau kantong sastra di
Mengutip Kompas.com, 28 Agustus 2008 memuat laporan dari Samarinda. Pengelola media cetak di Kalimantan Timur didorong untuk melestarikan budaya sastra melalui rubrik khusus. Sebab, sampai sekarang belum ada yang menyediakan halaman khusus untuk sastra atau bahasa antara lain puisi, cerita pendek, dan fiksi.
"Kami berharap tiap minggu ada rubrik khusus itu," kata Kepala Kantor Bahasa Kaltim Pardi Suratno di Samarinda. Bahkan lembaganya bersedia memberi honor bagi penulis yang karyanya termuat di media cetak. Menurutnya, rubrik sastra sangat berguna untuk memasyarakatkan pemakaian bahasa
Kerja Sama Antar Institusi atau penerbitan sendiri
Kerja sama antar institusi? Why not? Antar institusi yang peduli pada sastra sebaiknya bekerja sama. Bisa Balai Bahasa Kaltim, komunitas sastra dan media. Masing-masing mengambil perannya sendiri. Penerbitan atau media massa menyediakan halamannya untuk lebar sastra dan budaya, komunitas sastra mengisi halaman yang telah disediakan dan Kantor Bahasa bisa menyediakan support fasilitas dan dana –kalau ada. Dengan kerja sama antara institusi ini kesinambungan dan karya sastra dapat lebih diapresiasi masyarakat luas. Bila sudah rutin ada di media dan masyarakatnya bisa menikmati maka akan merangsang generasi berikutnya untuk melahirkan karya sastra.
Dengan dukungan media massa local dapat memungkinkan apresiasi sastra lebih luas. Bagi Koran daerah, tinggal membuka lembaran sastra budaya dan mempersilakan pembaca untuk berpartisipasi. Syukur menyediakan apresiasinya.
Atau menerbitkan karya sastra dalam bentuk buku. Tetapi hal ini harus ditunjang dengan distribusi yang baik supaya dibaca publik. Penerbitan buku bila tak ada yang membaca juga tak terlalu berarti. Hanya menjadi tempat dokumentasi. Bila ada dukungan media maka penerbitan buku bisa dipublikasikan dalam resensi buku melalui media.
Semoga upaya menumbuhkan kantong sastra di Kaltim dapat cepat terwujud dengan dukungan media.
*) Disampaikan dalam Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesastraan 2009, Samarinda 6 Agustus 2009
**) Penulis adalah karyawan Pupuk Kaltim, penikmat sastra, aktif di komunitas Club Buku CB33 dan Studio Kata, Bontang. Alamat rumah Jl. Gladiol No6 PC VI Komplek Pupuk Kaltim, Bontang. Email: sbroto@pupukkaltim.com, HP 0811551451, situs: sbroto.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar