Rabu, 09 September 2009

Dari Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesastraan di Samarinda

Undangan ini dibawa oleh teman saya yang penggagas Studio Kata, Tri Wahyuni untuk menghadiri Seminar Nasional Sastra dari Balai Bahasa Kaltim. Dari Bontang yang diundang saya dan Tri Wahyuni. Ini adalah undangan kedua dari instansi yang berhubungan dengan sastra di Kaltim selama saya bermukim di Bontang. Dulu saya pernah mendapat undangan dari Dewan Kesenian Kaltim melalui ketuanya A Rizani Asnawi untuk menghadiri diskusi sastra di Samarinda sekitar tahun 2001 tetapi karena kesibukan sebagai karyawan belum sempat hadir.

 

Kali ini saya usahakan hadir karena memang saya ingin mengenal para aktivis sastra di Kaltim. Sayapun menulis paper tentang peran media. Paper ini sebenarnya artikel saya yang menyoroti peran media yang saya kirimkan ke Tribun Kaltim tetapi tidak dimuatnya. Saya edit sedikit dan saya kirim saja ke panitia. Tak dinyana ternyata paper tersebut diterima untuk pemakalah pembanding. Ya sudah menikmati saja diskusi sastra di Samarinda.

 

Seminar sastra bertempat di ruang Serba Guna Kantor Gubernur Kaltim, Jl. Gadjah Mada No1, Samarinda. Awalnya saya prediksi yang hadir hanya kelompok kecil karena biasanya seminar sastra tidak terlalu menarik minat publik. Ternyata yang hadir banyak sekali. Ketua Panitia yang juga ketua Balai Bahasa, Pardi pada saat memberi sambutan menyebut jumlah 470 undangan yang datang. Kalau tidak ditutup maka bisa 1000-an, katanya. Saya datang saat acara akan dimulai dan langsung dituntun panitia duduk di depan. Yang hadir guru, seniman, budayawan dan kebanyakan alumni fakultas sastra.

 

Acara diawali dengan pentas musikalisasi puisinya Korrie Layun Rampan oleh para siswa SMA 2 Samarinda. Seminar dibuka oleh asisten Gubernur Kaltim, Yansen. Setelah seremonial pidato pembukaan dilakukan pembagian buku yang baru saja diterbitkan Balai Bahasa, yaitu Buku Tata Bahasa Kutai, Kamus Bahasa Bauna-Indonesia, Ikhtisar Sastra Indonesia di Kalimantan Timur dan Biografi Pengarang kalimantan Timur. Saya sebagai salah satu wakil dinatara banyak wakil yang menerima bingkisan buku tersebut.

 

Pembicara pertama Dr. Suroso, dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan gaya akrab dan enaknya mengawali seminar. Judul makalahnya Budaya Baca Tulis dan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Dia membuka fakta yang telah dipublikasikan oleh Taufik Ismail, kenapa minat baca rendah, buku sastra tak berkembang. Dia ingin memperbaikinya dari sekolah supaya para murid SMA seperti waktu zaman Belanda, melalap 25-an judul buku novel dalam setahun. Guru bahasa harus mempunyai terobosan supaya sastra disukai murinnya. Guru bahasa harus juga sebagai penulis puisi, cerpen, novel sehingga dapat memberi contoh tentang karya sastra. Bukan sekedar berteori sastra. Pembicara kedua Dr. Surya Silli dari Universitas Mulawarman dengan makalah Penggunaan Bahan Ajar & Kegiatan Otentik dalam Pengajaran Bahasa Asing. Ketua Balai Bahasa, Pardi Suratno mengetengahkan pengalamannya dalam makalah Bengkel Sastra Media Alternatif dalam Mendekatkan Siswa Terhadap Sastra.

 

Pada sesion kedua, Ahmad Ridhani (Unmul) dengan makalah Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sunaryo Broto (Pupuk Kaltim Bontang) dalam Peran Media dalam Mengembangkan sastra di Kaltim, Yudianti Herawati (Kantor Bahasa Kaltim) dengan makalah Sastra Lokal dan Pengajaran Sastra dan Winarti (Kantor Bahasa Kaltim) dengan makalah Surat Kabar sebagai Sarana Pembelajaran Bahasa.

Selasa, 08 September 2009

Peran Media dalam Menumbuhkan Kantong Sastra di Kaltim*)

Media mempunyai peranan penting dalam apresiasi karya sastra karena melalui media karya sastra dapat dinikmati publik, bisa diapresiasi publik dan bisa dikritik publik juga. Hal ini akan menimbulkan ”kedinamisan” dalam diskusi karya sastra. Bagaimana hal ini bisa terjadi tanpa adanya media?

 

Kondisi Media di Kaltim

Setelah bermukim sekitar 17 tahun di Bontang, Kaltim, saya merasakan iklim yang tidak kondusif dalam berkarya sastra karena minimnya dukungan media lokal. Hampir tidak ada –kalau boleh dikatakan tidak ada- rubrik seni dan budaya di koran lokal Kaltim.

 

Hal yang membuat saya merasa “tidak nyaman” dalam membaca koran daerah adalah sangat terasanya tidak ada kapling untuk lembaran sastra dan budaya secara kontinyu. Untuk pemuatan essay sastra, berita budaya atau cerpen masih kadang ada tetapi tidak kontinyu. Cerpen dicampur dengan artikel lainnya bahkan bercampur dengan iklan.

 

Sebelumnya saya mengikuti koran daerah di Yogya dan Jawa Tengah yang secara rutin menyediakan kaplingnya untuk lembaran sastra dan budaya karena saya bermukim di daerah tersebut. Hal ini dapat menumbuhkan kantong sastra di daerah. Sudah sangat dikenal di Semarang, Yogya, Tegal dengan dengan Komunitas Sastra Negeri Poci dan daerah sekitarnya dkenal sebagai kantong sastra. Beda sekali dengan di Kaltim yang belum tumbuh kantong sastranya meski saya yakin, potensi ke arah itu sangat besar. Hanya tak ada medianya.

 

Sewaktu Rendra ke Kaltim dalam pentas Rambateraterata sekitar tahun 2001, saya menulis di Kaltim Post yang berjudul Rendra dan Perkembangan Sastra Kaltim. Saat itu saya menyoroti peran media massa yang tak memberikan ruang pada perkembangan sastra Kaltim, bahkan saya menyontohkan kondisi Jogja dan Jawa Tengah sebagai salah satu kantong sastra daerah bisa berkembang sangat baik berkat dukungan sekian media massanya dengan menyediakan lembar sastra dan budaya.

 

Sebenarnya perhatian koran daerah terhadap karya sastra sudah ada tetapi belum banyak. Sekedar contoh untuk menyebut koran 2 daerah dengan oplah cukup besar, Kaltim Post (KP) dan Tribun Kaltim (TK). KP pernah memuat liputan pentasnya Rendra Rambateraterata sekitar tahun 2001. Belum lama TK memuat tulisan 4 seri dari Tribun Sastra Community pada tanggal 17-20 Juni 2009. Tulisan berjudul Menumbuhkan dunia sastra dan seni di Kaltim membahas tentang upaya untuk menumbuhkan dunia sastra dan seni di Kaltim.

 

Sebelumnya sangat jarang ada pembahasan sastra sampai diadakan diskusi dan ditulis berseri di media massa. Memang ada satu dua tulisan artikel tetapi hanya seperti lewat saja. Tanpa tanggapan dari pembaca lain. Hal ini tidak saya jumpai sewaktu ada event kunjungan beberapa penggiat sastra nasional ke Kaltim. Nama-nama sastrawan yang pernah ke Kaltim, diantaranya Emha Ainun Nadjib, Rendra, Hamzad Rangkuti, Taufik Ismail dll sampai penulis yang novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang baru ngetop, Habiburrahman El-Shirazi. Dengan  kedatangan para sastrawan tersebut, di media massa local hampir tak ada jejaknya. Yang ada hanya berita kecil dan sepertinya tidak penting. Tidak ada halaman khusus –misalnya pada hari Minggu- yang berisi lembaran sastra dan kebudayaan seperti media masa nasional dan beberapa media massa local yang peduli. Atau halaman khusus wawancara dengan para sastrawan tersebut.

 

Emha Ainun Nadjib baca puisi di Samarinda dan Bontang sekitar tahun 1995 dan Rendra mementaskan Rambateraterata di gedung Koperasi Pupuk Kaltim sekitar tahun 2001 saja hampir tak banyak media local yang memuat beritanya. Terlebih resensinya. Teatre Grandrik pernah beberapa kali pentas di Bontang tetapi tak banyak yang tahu. Leo Christy pernah juga pentas di Bontang dengan penonton yang sangat sedikit dan tak ada beritanya di harian lokal. Hamzad Rangkuti pada Mei 2009 ke Bontang dengan diskusi kecil tentang sastra dan menulis, tanggapan media datar-datar saja. Hanya ada berita kecil sekali saja. Jangan berharap ada resensinya atau kolom apresiasinya. Belum berderet pameran lukisan atau pertunjukan seni lainnya. Pertunjukan Teatre Timur, Teatre Yupa dan kiprah Untung Erha sudah banyak dalam aktivitas teatre tetapi tak banyak yang mengapresiasi dengan publikasi. Dengan adanya nama nasional saja kurang dapat tanggapan dari media terlebih kalau pelakunya semuanya local.

 

Kantong Sastra di Kaltim

Yang dimaksud dengan kantong sastra di sini adalah semacam komunitas yang peduli terhadap karya sastra. Di situ ada kegiatan berkarya, berdiskusi tentang sastra. Sekedar informasi, sebenarnya ada beberapa komunitas pecinta sastra yang sudah tumbuh meski kehidupannya juga belum menggembirakan. Di Samarinda, ada Jaring Penulis Kaltim, Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) dengan salah satu penggiatnya oleh Amien Wangsitalaja, di Bontang, baru tumbuh Studio Kata yang dimotori Abdul Hakim dan Tri Wahyuni dan juga ada Club Buku CB33 dan KKPKT (Korps Karyawan Pupuk Kaltim) di komunitas Pupuk Kaltim dengan anggotanya diantaranya Sunaryo Broto, Ezrinal Azis dan Manik Priandani yang belum lama mengundang cerpenis Hamzad Rangkuti. Di Tenggarong ada Kosa Kata. Tak lupa juga adanya kegiatan Forum Lingkar Pena Kaltim yang dimotori Muthi Masfufah.

 

Di dunia maya, bila kita mencari di Google maka ada beberapa blog tentang sastra Kaltim, diantaranya Jurnal Kembang Kemuning, Panjipatah, Penyair Nusantara Kaltim, Arungnala miliknya cerpenis Nala Arung.

 

Sekitar tahun 90-an ada tradisi Sastra Purnama yang mengadakan kegiatan sastra di daerah-daerah setiap tahun yang digalang oleh Hamdani. Dalam salah satu kegiatannya, Bontang pernah menjadi tuan rumah. Acaranya diskusi sastra, baca puisi. Di situ ada nama Hamdani, Mugni Baharuddin dll. Juga nama-nama lain, diantaranya Jumrie Obeng, Tatang Dino Hero, Herman A Salam, Safrudin Pernyata, Rizani Asnawi

 

Tetapi karena kurangnya dukungan media sehingga kita sulit mencari dan membaca karya-karya mereka. Beberapa penulis Kaltim yang terkenalpun sulit mencari jejaknya. Padahal, jelas akan banyak lagi penulis yang dikenal bila karya-karyanya dimuat di media massa.

 

Pentingnya Dukungan Media

Kalau masalah seberapa banyak dukungan masyarakat akan pentingnya kegiatan sastra, jelas tak sebanyak dunia intertainment tetapi jelas ada. Di beberapa tempat memang komunitas ini tidak terlalu meriah kegiatannya tetapi tetap eksis karena kecintaan pelakunya. Media sastra tetap masih dibutuhkan dalam menjawab kebutuhan, seperti beberapa contoh. Novel Namaku Taweraut dari Ani Sekarningsih adalah upaya untuk menjelaskan kondisi anthropologi masyarakat Suku Asmat di Papua melalui media sastra. Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih dari Habiburrahman juga upaya memasyarakatkan kegiatan beragama melalui media sastra. Novel Para Priyayinya Umar Kayam adalah gambaran sejarah tentang kondisi masyarakat pada saat konflik politik sekitar tahun 1965 melalui media sastra. Ada juga istilah jurnalisme sastrawi yang diusung Majalah Tempo. Sastra tetap masih dibutuhkan.

 

Saya yakin meskipun belum ada ruang di media massa lokal, para penikmat seni ini tetap menulis sastra di file pribadinya. Beberapa penerbitan lokal juga menerbitan beberapa karya yang berbau sastra. Sekedar menyebut contoh, Kumpulan Cerpen Bingkisan Petir, Kumpulan Cerpen Nala Arung Balada saripin dan KD, Kumpulan Puisi Balada Manusia Indistri dll. Coba klik di Google, banyak tulisan yang berbau sastra dipublikasikan melalui blog pribadi maupun komunitas.

 

Dengan adanya dukungan media ini sangat penting. Karena dukungan ini bisa menumbuhkan iklim bersastra. Katakanlah ada satu ruang lembaran sastra pada edisi Minggu. Biasanya di situ ada cerpen, puisi dan essay tentang sastra. Awalnya bisa saja tak banyak yang mengisi tetapi bila terbit terus dan khalayak mulai tahu kalau ada ruang untuk memuat karya maka akan merangsang mereka untuk menulis. Di Kaltim juga ada nama-nama sastrawan yang sudah terbiasa menulis, antara lain Korrie Layun Rampan. Ada Amien Wangsitalaja, Shantined, Herman A Salam dll yang bisa menjadi penggiat sastra.

 

Atau dengan cara networking dan bekerja sama dengan para penggiat sastra di komunitas sastra di beberapa daerah di Kaltim pasokan bahan juga bisa diatasi. Coba hitung berapa komunitas atau kantong sastra di Balikpapan, Samarinda, Bontang, Tenggarong, bila satu komunitas sastra berpartisipasi dalam satu edisi sudah bisa mencover edisi awal lembaran sastra dan kebudayaan. Bola ini akan bergulir. Terlebih bila ada apresiasi atau resensi seperti Sutardji Calzoum Bachrie yang mengasuh lembaran sastra di Kompas atau semacam Umbu Randu Paranggi dengan Persada Study Club di Yogya yang telah melahirkan banyak sastrawan.

 

Mengutip Kompas.com, 28 Agustus 2008 memuat laporan dari Samarinda. Pengelola media cetak di Kalimantan Timur didorong untuk melestarikan budaya sastra melalui rubrik khusus. Sebab, sampai sekarang belum ada yang menyediakan halaman khusus untuk sastra atau bahasa antara lain puisi, cerita pendek, dan fiksi.

"Kami berharap tiap minggu ada rubrik khusus itu," kata Kepala Kantor Bahasa Kaltim Pardi Suratno di Samarinda. Bahkan lembaganya bersedia memberi honor bagi penulis yang karyanya termuat di media cetak. Menurutnya, rubrik sastra sangat berguna untuk memasyarakatkan pemakaian bahasa Indonesia. Di samping itu juga memacu munculnya generasi baru penulis dan mendiskusikan persoalan berbahasa yang baik dan benar.

Kerja Sama Antar Institusi atau penerbitan sendiri

Kerja sama antar institusi? Why not? Antar institusi yang peduli pada sastra sebaiknya bekerja sama. Bisa Balai Bahasa Kaltim, komunitas sastra dan media. Masing-masing mengambil perannya sendiri.  Penerbitan atau media massa menyediakan halamannya untuk lebar sastra dan budaya, komunitas sastra mengisi halaman yang telah disediakan dan Kantor Bahasa bisa menyediakan support fasilitas dan dana –kalau ada. Dengan kerja sama antara institusi ini kesinambungan dan karya sastra dapat lebih diapresiasi masyarakat luas. Bila sudah rutin ada di media dan masyarakatnya bisa menikmati maka akan merangsang generasi berikutnya untuk melahirkan karya sastra.

Dengan dukungan media massa local dapat memungkinkan apresiasi sastra lebih luas. Bagi Koran daerah, tinggal membuka lembaran sastra budaya dan mempersilakan pembaca untuk berpartisipasi. Syukur menyediakan apresiasinya.

Atau menerbitkan karya sastra dalam bentuk buku. Tetapi hal ini harus ditunjang dengan distribusi yang baik supaya dibaca publik. Penerbitan buku bila tak ada yang membaca juga tak terlalu berarti. Hanya menjadi tempat dokumentasi. Bila ada dukungan media maka penerbitan buku bisa dipublikasikan dalam resensi buku melalui media.

Semoga upaya menumbuhkan kantong sastra di Kaltim dapat cepat terwujud dengan dukungan media.

*) Disampaikan dalam Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesastraan 2009, Samarinda 6 Agustus 2009

**) Penulis adalah karyawan Pupuk Kaltim, penikmat sastra, aktif di komunitas Club Buku CB33 dan Studio Kata, Bontang. Alamat rumah Jl. Gladiol No6 PC VI Komplek Pupuk Kaltim, Bontang. Email: sbroto@pupukkaltim.com, HP 0811551451, situs: sbroto.multiply.com

Kamis, 03 September 2009

Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesastraan 2009




Seminar Sastra Nasional dan Kebahasaan bertempat di ruang Serba Guna Kantor Gubernur Kaltim, Jl. Gadjah Mada No1, Samarinda. Diselenggarakan oleh Balai Bahasa Kaltim. Dihadiri 470 undangan terdiri dari para guru, sastrawan, pengamat, budayawan dll.

Dalam sesion ini saya menyampaikan makalah Peran Media dalam mengembangan sastra Kaltim. Media massa belum banyak berperan dalam mempublikasikan karya sastra.